DRAFT NASKAH AKADEMIK UJIAN KOMPREHENSIF
PROGRAM DOKTOR (S3) MANAJEMEN PENDIDIKAN
( BAHAN URAT-ORET DAN TAMBAL SULAM )
1. Rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional adalah
a. Pemerataan dan peningkatan akses pendidikan
b. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing
c. Pednguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik
Jabarkan ditempat kerja saudara, strategi, target/sasaran dan program
JAWABAN
Kebijakan strategis yang disusun dalam rangka memperluas pemerataan dan akses pendidikan adalah sebagai berikut.
a. Memperluas akses bagi anak usia 0–6 tahun, baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai potensi yang dimiliki dan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan dalam mengikuti pendidikan di SD/MI.
b. Menghapus hambatan biaya (cost barriers) melalui pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) bagi semua siswa pada jenjang Dikdas baik pada sekolah umum maupun madrasah yang dimiliki oleh pemerintah atau masyarakat, yang besarnya dihitung berdasarkan unit cost per siswa dikalikan dengan jumlah seluruh siswa pada jenjang tersebut. Di samping itu, dilakukan kebijakan pemberian bantuan biaya personal terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin pada jenjang Dikdas melalui pemanfaatan BOS untuk tujuan tersebut. Secara bertahap BOS akan dikembangkan menjadi dasar untuk penentuan satuan biaya pendidikan berdasarkan formula (formula-based funding) yang memperhitungkan siswa miskin maupun kaya serta tingkat kondisi ekonomi daerah setempat.
c. Membentuk ”SD-SMP Satu Atap” bagi daerah terpencil yang berpenduduk jarang dan terpencar, dengan menambahkan ruang belajar SMP di SD untuk menyelenggarakan program pendidikan SMP bagi lulusannya. Untuk mengatasi kesulitan tenaga pengajar dalam kebijakan ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan guru SD untuk mengajar di SMP pada beberapa mata pelajaran yang relevan atau dengan meningkatkan kompetensi guru sehingga dapat mengajar di SMP. Selain itu, dilakukan upaya memaksimalkan fasilitas yang sudah ada, baik ruang kelas maupun bangunan sekolah dengan membuat jaringan sekolah antara SMP dengan SD-SD yang ada di wilayah layanannya (catchment areas) serta menggabungkan SD-SD yang sudah tidak efisien lagi.
d. Memperluas akses bagi anak usia sekolah 7–15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak/belum terlayani di jalur pendidikan formal untuk memiliki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan di jalur nonformal maupun program pendidikan terpadu/ inklusif bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus terutama untuk daerah-daerah yang tidak tersedia layanan pendidikan khusus luar biasa. Di samping itu, untuk memperluas akses bagi penduduk usia 13-15 tahun dikembangkan SMP Terbuka melalui optimalisasi daya tampung dan pengembangan SMP Terbuka model maupun melalui model layanan pendidikan alternatif yang inovatif.
e. Memperluas akses bagi penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan keaksaraan melalui jalur pendidikan nonformal. Perluasan kesempatan bagi penduduk buta aksara dilakukan dengan menjalin berbagai kerjasama dengan stakeholder pendidikan, seperti organisasi keagamaan, organisasi perempuan, dan organisasi lain yang dapat menjangkau lapisan masyarakat, serta PT.
f. Memfasilitasi peran serta masyarakat dalam memperluas akses sekolah menengah (SM), khususnya pada daerah-daerah yang memiliki lulusan SMP cukup besar. Di sisi lain, juga mengembangkan SM terpadu, yaitu pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan umum dan kejuruan dalam satu satuan pendidikan. Bagi siswa yang berkebutuhan khusus, dilakukan kebijakan strategis dalam melaksanakan program pendidikan inklusif.
g. Memperluas akses terhadap pendidikan di SMK sesuai dengan kebutuhan dan keunggulan lokal. Perluasan SMK ini dilaksanakan melalui penambahan program pendidikan kejuruan yang lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang berkembang. Di samping itu, dilakukan upaya penambahan muatan pendidikan keterampilan di SMA bagi siswa yang akan bekerja setelah lulus.
h. Memperluas daya tampung PT yang ada dengan memberikan fasilitasi pada perguruan tinggi untuk membuka program-program keahlian yang dibutuhkan masyarakat dan mengalihfungsikan atau menutup sementara secara fleksibel program-program yang lulusannya sudah jenuh.
i. Memperluas kesempatan belajar pada perguruan tinggi yang lebih dititikberatkan pada program-program politeknik, pendidikan tinggi vokasi dan profesi yang berorientasi lebih besar pada penerapan teknologi tepat guna untuk kebutuhan dunia kerja.
j. Memperluas kesempatan belajar sepanjang hayat bagi penduduk dewasa yang ingin meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan hidup yang relevan dengan kebutuhan masyarakat melalui program-program pendidikan berkelanjutan. Perluasan kesempatan belajar sepanjang hayat dapat juga dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai fasilitas pendidikan formal yang sudah ada sebagai bagian dari harmonisasi pendidikan formal dan nonformal.
k. Memperhatikan secara khusus kesetaraan gender, pendidikan untuk layanan khusus di daerah terpencil dan daerah tertinggal, daerah konflik, perbatasan, dan lain-lain, serta mengimplementasikannya dalam berbagai program secara terpadu.
l. Melaksanakan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), serta advokasi kepada masyarakat agar keluarga makin sadar akan pentingnya pendidikan serta mau mengirimkan anak-anaknya ke sekolah dan/atau mempertahankan anaknya untuk tetap bersekolah.
m. Melaksanakan advokasi bagi pengambil keputusan, baik di eksekutif maupun legislatif dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada pembangunan pendidikan.
n. Memanfaatkan secara optimal sarana radio, televisi, komputer dan perangkat TIK lainnya untuk digunakan sebagai media pembelajaran dan untuk pendidikan jarak jauh sebagai sarana belajar alternatif selain menggunakan modul atau tutorial, terutama bagi daerah terpencil dan mengalami hambatan dalam transportasi, serta jarang penduduk.
Kebijakan untuk pemerataan dan perluasan akses pendidikan dilakukan melalui penguatan program-program sebagai berikut:
1. Pendanaan biaya operasi Wajar Dikdas 9 Tahun; adalah kebijakan yang menempati urutan prioritas tertinggi dalam lima tahun ke depan. Hal ini sudah menjadi komitmen nasional seperti yang tertera pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. BOS dimaksudkan untuk menutup biaya minimal operasi pembelajaran yang secara minimal memadai untuk menciptakan landasan yang kokoh bagi upaya peningkatan mutu secara berkelanjutan. Dengan kebijakan BOS tersebut, pemerintah akan mewujudkan “pendidikan dasar gratis”, yang diartikan sebagai bebas biaya secara bertahap.
2. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan wajar; merupakan kebijakan strategis berikutnya, yang akan dilakukan untuk mendukung perluasan akses dikdas dalam program Wajar Dikdas. Penyediaan sarana/prasarana SD/MI/sederajat mencakup penambahan sarana untuk pendidikan layanan khusus dan rehabilitasi serta revitalisasi sarana/prasarana yang rusak. Untuk SMP/MTs/sederajat, kegiatan ini diarahkan untuk membangun unit sekolah baru (USB), ruang kelas baru (RKB), laboratorium, perpustakaan, dan buku pelajaran, yang diharapkan juga akan berdampak pada peningkatan mutu Dikdas. Pembangunan USB/RKB diutamakan pada jenjang SMP/MTs/sederajat, untuk mencapai ketuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun pada tahun 2008/2009.
3. Rekrutmen pendidik dan tenaga kependidikan; juga merupakan kebijakan strategis untuk mendukung program Wajar Dikdas 9 tahun. Rekrutmen tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kecukupan jumlah dan kualifikasi guru profesional di berbagai jenjang dan jenis pendidikan, pemerataan penyebaran secara geografis, keahlian, dan kesetaraan gender. Pemerataan secara geografis mempertimbangkan pengaturan mekanisme penempatan dan redistribusi guru, sistem insentif guru di daerah terpencil, pengangkatan guru tidak tetap secara selektif, serta tenaga pendidikan lainnya seperti pamong belajar pada jalur nonformal.
4. Perluasan pendidikan Wajar pada jalur nonformal; termasuk kebijakan strategis untuk mendukung program Wajar. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan angka partisipasi (APM/APK) Dikdas melalui program Paket A dan Paket B. Program ini sangat strategis untuk menjangkau peserta didik yang memiliki berbagai keterbatasan untuk mengikuti pendidikan formal, terutama anak-anak dari keluarga tidak mampu, daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah konflik, atau anak-anak yang terpaksa bekerja.
5. Perluasan akses pendidikan keaksaraan bagi penduduk usia >15 tahun; merupakan kebijakan dalam rangka memenuhi hak memperoleh pendidikan bagi penduduk buta aksara. Hal ini dimaksudkan mendorong penduduk usia >15 tahun untuk mengikuti kegiatan keaksaraan fungsional agar memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung sesuai dengan standar kompetensi keberaksaraan. Melalui kebijakan strategis ini diharapkan akan menurunkan jumlah penyandang tiga buta, yaitu buta aksara latin dan angka arab, buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar.
6. Perluasan akses SLB dan sekolah inklusif; merupakan kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan khusus dan pendidikan inklusif sehingga memperluas akses pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan belajar karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi bakat istimewa atau kecerdasan luar biasa.
7. Pengembangan pendidikan layanan khusus bagi anak usia Wajar Dikdas di daerah (bermasalah) terpencil, daerah berpenduduk jarang dan terpencar, daerah bencana, daerah konflik, serta anak jalanan; adalah kebijakan untuk penduduk yang kesulitan akses karena faktor sosial ekonomi, geografis, sarana transportasi dan komunikasi. Kelompok penduduk yang kurang beruntung karena terisolasi atau hambatan lainnya, mendapat pelayanan khusus, antara lain melalui SD/MI kecil/paket A, SMP/MTs kecil/paket B, SMP terbuka dan SD-SMP “satu atap”, guru kunjung dan kelas layanan khusus di SD (KLK), termasuk layanan dengan memanfaatkan TIK, seperti radio, televisi, komputer dan internet.
8. Perluasan akses PAUD; merupakan kebijakan untuk mendorong terselenggaranya pelayanan pendidikan bagi anak-anak usia 0-6 tahun baik pada jalur pendidikan formal maupun nonformal. Kegiatan Pemerintah lebih diarahkan untuk memberikan dukungan atau pemberdayaan bagi terselenggaranya pelayanan PAUD yang bermutu oleh masyarakat secara merata di seluruh pelosok tanah air. Hibah (blockgrants) atau imbal swadaya akan diberikan untuk pengembangan PAUD, PAUD model, dan berbagai bentuk integrasi PAUD ke dalam berbagai pelayanan anak usia dini lainnya.
9. Pendidikan kecakapan hidup; merupakan kebijakan strategis bagi peserta didik yang orang tuanya miskin dan orang dewasa miskin dan/atau pengangguran. Pendidikan ini akan memberikan kompetensi yang dapat dijadikan modal untuk usaha mandiri atau bekerja, mengingat masih besarnya jumlah mereka, maka kegiatan strategis ini menjadi sangat penting peranannya bagi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran.
10. Perluasan akses SMA/SMK dan SM terpadu; arah kebijakan ini lebih untuk memperluas SMK untuk mencapai komposisi jumlah SMA dan SMK yang seimbang pada tahun 2009. Perluasan SMA lebih ditekankan pada partisipasi swasta. Kebijakan ini ditempuh setelah melihat kenyataan bahwa bagian terbesar (65%) penganggur terdidik adalah lulusan pendidikan menengah (Sakernas, BPS 2004), yang dapat diartikan sebagai kurangnya keterampilan lulusan pendidikan menengah untuk masuk lapangan kerja.
11. Perluasan akses perguruan tinggi; pemerataan dan perluasan akses pendidikan tinggi menargetkan pencapaian jumlah mahasiswa meningkat dari 14,3% (tahun 2004) menjadi 18,0% pada tahun 2009. Investasi membangun institusi baru untuk pendidikan tinggi akademik (umum) lebih didorong pada peran swasta, sementara peran Pemerintah lebih pada pengembangan pendidikan vokasi dan pendidikan profesi pada perguruan tinggi yang sudah ada. Pendidikan tinggi akademik akan diperluas melalui penambahan ruang belajar, laboratorium, ruang praktikum, serta perpustakaan dalam rangka menambah daya tampung.
12. Pemanfatan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana pembelajaran jarak jauh; kegiatan prioritas ini ingin mengembangkan sistem pembelajaran jarak jauh (distance learning) di perguruan tinggi, pendidikan formal dan pendidikan nonformal untuk mendukung perluasan dan pemerataan pendidikan tinggi, pendidikan formal, dan pendidikan nonformal. Teknologi informasi dan komunikasi akan dimanfaatkan secara optimal dalam fungsinya sebagai media pembelajaran jarak jauh, dan juga untuk memfasilitasi manajemen pendidikan.
13. Peningkatan peran serta masyarakat dalam perluasan akses SMA, SMK/SM Terpadu, SLB, dan PT; kegiatan ini termasuk dalam prioritas kebijakan yang didasarkan pada beberapa pertimbangan: pertama, bahwa kemampuan keuangan pemerintah masih terbatas untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan yang seluas-luasnya sementara itu ada potensi yang cukup besar pada masyarakat; kedua, kecenderungan arah pembangunan pendidikan yang ingin lebih banyak melibatkan partisipasi swasta di segala aspek penyelenggaraan, termasuk investasi, pengelolaan, dan pengawasan; ketiga, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pemerintah Pusat akan lebih banyak memainkan perannya sebagai fasilitator pelayanan publik yang bertugas membuat kebijakan-kebijakan strategis, yang antara lain dilakukan melalui pengendalian dan penjaminan mutu, pengembangan standar-standar, akreditasi, dan sertifikasi dalam rangka desentralisasi pendidikan. Peran yang demikian ingin mendorong terselenggaranya pelayanan pendidikan yang mandiri (otonom), baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat (swasta). Dalam pemberian bantuan operasi penyelenggaraan pendidikan, Pemerintah tidak lagi membedakan antara kepemilikan negara dan masyarakat/swasta.
Kebijakan untuk peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan dilakukan melalui penguatan program-program sebagai berikut:
1. Implementasi dan penyempurnaan SNP dan penguatan peran Badan SNP; merupakan Kebijakan strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dengan adanya SNP dan BSNP, penataan berbagai aspek yang menunjang perbaikan mutu akan disusun, diuji coba dan diterapkan serta dikembangkan secara bertahap pada setiap satuan, jenis, jenjang, dan jalur pendidikan nasional.
2. Pengawasan dan penjaminan mutu secara terprogram dengan mengacu pada SNP; untuk mewujudkan sistem pengawasan dan penjaminan mutu secara berkelanjutan. Karena itu perlu dikembangkan dan dikelola mekanisme pengawasan dan pengendalian mutu pendidikan yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Kegiatan utamanya antara lain: pembentukan BAN-SM, BAN-PNF, BAN-PT; menyusun dan menetapkan mekanisme pengawasan dan penjaminan mutu pendidikan; menyusun dan menetapkan mekanisme pengawasan; evaluasi; dan ujian nasional untuk mengukur ketercapaian standar pendidikan yang telah ditetapkan; serta pengembangan kapasitas pengelolaan pendidikan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, serta satuan pendidikan.
2. Survai benchmarking mutu pendidikan terhadap standar internasional; bertujuan untuk membandingkan kemampuan peserta didik Indonesia dengan anak di negara-negara lain dalam kemampuan/keterampilan matematika, sains, dan membaca sehingga mutu dan daya saing tingkat internasional peserta didik dapat ditingkatkan secara kompetitif.
3. Perluasan dan peningkatan mutu akreditasi oleh BAN-SM, BAN-PNF dan BAN-PT; akreditasi merupakan kebijakan strategis dalam penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dalam rangka peningkatan mutu dan relevansi pendidikan di setiap satuan pendidikan, kabupaten/kota, dan provinsi. Hasil penilaian akreditasi digunakan sebagai salah satu faktor untuk menentukan bentuk dan besarnya bantuan yang perlu diberikan kepada satuan pendidikan dan pemerintah daerah.
4. Pengembangan guru sebagai profesi; merupakan kebijakan yang strategis dalam rangka membenahi persoalan guru secara mendasar. Sebagai tenaga profesional, guru harus memiliki sertifikat profesi dari hasil uji kompetensi. Sesuai dengan usaha dan prestasinya, guru akan memperoleh imbal jasa, insentif, dan penghargaan, atau sebaliknya, disinsentif atas tidak terpenuhinya standar profesi oleh seorang guru. Pendidikan profesi guru dan sistem sertifikasi profesi pendidik akan dikembangkan baik untuk calon guru (pre service) maupun untuk guru yang sudah bekerja (in service). Standar profesi guru akan dikembangkan sebagai dasar bagi penilaian kinerja guru yang dilakukan secara berkelanjutan atas dasar kinerjanya baik pada tingkat kelas maupun satuan pendidikan.
4. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan nonformal; kebijakan yang strategis dalam rangka membenahi persoalan pendidik dan tenaga kependidikan nonformal. Sebagai tenaga profesional yang harus memiliki sertifikat profesi dari hasil uji kompetensi, sesuai dengan usaha dan prestasinya untuk memperoleh imbal jasa, insentif, dan penghargaan, atau sebaliknya, disinsentif atas tidak terpenuhinya standar profesi. Standar profesi pendidikan nonformal (tutor dan tenaga lapangan pendidikan nonformal) akan dikembangkan sebagai dasar bagi penilaian kinerjanya, yang dilakukan secara berkelanjutan.
5. Pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan; peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan dilaksanakan dengan pemetaan profil kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dikaitkan dengan SNP, analisis kesenjangan kompetensi, serta penyusunan program dan strategi peningkatan kompetensi menuju pada tercapainya SNP.
6. Perbaikan dan pengembangan sarana dan prasarana; merupakan kegiatan strategis yang ditujukan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan yang rusak terutama pada Dikdas untuk meningkatkan keamanan/keselamatan, kenyamanan, dan kualitas proses pembelajaran. Untuk mencapai mutu pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan dikembangkan sarana dan prasarana pendidikan terutama buku pelajaran dan buku penunjang laboratorium, perpustakaan, ruang praktek, sarana olah raga, sarana ibadah, dan sarana pendidikan lainnya.
7. Perluasan pendidikan kecakapan hidup; merupakan kegiatan strategis dalam peningkatan mutu dan relevansi pendidikan yang mencakup pengembangan pendidikan kecakapan hidup yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dalam rangka pengembangan kompetensi, kepribadian, kewarganegaraan, intelektual, estetika, dan kinestik pada berbagai satuan, jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Tujuannya agar keluaran pendidikan memiliki keterampilan untuk menghadapi tantangan kehidupan yang terus berkembang secara mandiri.
8. Pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap kabupaten/kota; perluasan satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal oleh pemerintah daerah dilaksanakan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara bertahap akan dikembangkan pada setiap provinsi dan kabupaten/kota. Dalam lima tahun ke depan, diharapkan terdapat sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di setiap jenis, jenjang, dan jalur pendidikan di setiap kabupaten/kota.
9. Pembangunan sekolah bertaraf internasional di setiap provinsi/kabupaten /kota; untuk meningkatkan daya saing bangsa, perlu dikembangkan sekolah bertaraf internasional pada tingkat kabupaten/kota melalui kerja sama yang konsisten antara Pemerintah dengan pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan, untuk mengembangkan SD, SMP, SMA dan SMK yang bertaraf internasional sebanyak 112 unit di seluruh Indonesia.
10. Mendorong jumlah jurusan di PT yang masuk dalam 100 besar Asia atau 500 besar Dunia; melalui investasi yang signifikan pada sumber-sumber daya pendidikan yang utama seperti dosen, laboratorium, penelitian dan pengembangan, publikasi, perpustakaan yang memadai, serta manajemen pelayanan yang efektif dan akuntabel, sehingga pada tahun 2009 jumlah jurusan yang masuk dalam 100 besar di Asia atau 500 besar dunia dapat dicapai.
11. Akselerasi jumlah program studi kejuruan, vokasi, dan profesi; investasi dilakukan untuk pengembangan satuan pendidikan pada perguruan tinggi dan sekolah-sekolah menengah kejuruan, dan pendidikan nonformal. Pendidikan kejuruan, advokasi, profesi membutuhkan kualifikasi kompetensi untuk memasuki pasar tenaga kerja, sehingga perlu ada penguatan agar selalu dapat mengacu dan memenuhi tuntutan lapangan kerja, standar kualifikasi kerja, profesionalisme, dan produktifitas kerja yang terus berkembang dalam memenuhi standar nasional dan internasional.
12. a. Peningkatan jumlah dan mutu publikasi ilmiah dan HAKI; kegiatan ini berkaitan dengan peran perguruan tinggi yang memiliki otonomi keilmuan dengan melakukan penelitian dan pengembangan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perguruan tinggi didorong untuk mampu memberikan pemikiran dan temuan/inovasi yang bermanfaat, baik untuk kepentingan pembangunan maupun untuk pengembangan pengetahuan.
12. Peningkatan kreativitas, entrepreneurship, dan kepemimpinan mahasiswa; Pemberian bekal kepemimpinan serta jiwa entrepreneur yang memadai bagi mahasiswa yang mandiri untuk menghadapi tantangan dan kemajuan iptek, serta peka terhadap peluang dan perubahan.
13. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan; kegiatan ini berupa pengembangan sistem, metode, dan materi pembelajaran dengan menggunakan TIK. Kegiatan ini juga akan mengembangkan sistem jaringan informasi sekolah, infrastruktur dan SDM untuk mendukung implementasinya, baik untuk kepentingan manajemen pendidikan maupun proses pembelajaran. Dengan menggunakan TIK dalam pendidikan siswa pada sekolah reguler, warga belajar pada pendidikan nonformal dan siswa yang memerlukan layanan pendidikan khusus, secara adil dapat memperoleh pendidikan yang bermutu dan relevan.
Kebijakan dalam rangka peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik pendidikan secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Peningkatan sistem pengendalian internal berkoordinasi dengan BPKP dan BPK; untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang bersih efektif, efisien, produktif dan akuntabel. Sistem pengendalian internal sangat penting dikembangkan guna mendeteksi penyimpangan secara dini dan menumbuhkan tanggung jawab melalui proses evaluasi diri. Sistem ini tidak hanya dikembangkan dalam pengelolaan pendidikan di tingkat pusat, tetapi hingga tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan pembangunan pendidikan juga ditingkatkan.
2. Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat Inspektorat Jenderal; pada tahapan ini, menetapkan program pengembangan aparat pengawas, menjadi fokus utama di samping pengembangan sistem pengawasan Inspektorat Jenderal Depdiknas. Standar kompetensi auditor telah disusun dan direncanakan digunakan sebagai standar untuk mengukur kompetensi auditor dan mendisain pengembangan kompetensi melalui pendidikan formal atau nonformal. Pengembangan sistem pengawasan dilakukan melalui pengembangan teknik pengawasan dan pendekatan pengawasan. Audit kinerja sebagai suatu teknik pengawasan dan kemitraan sebagai suatu pendekatan audit yang dikembangkan untuk meningkatkan kapasitas pengawasan yang lebih baik. Pada saat ini audit kinerja dilaksanakan pada pengawasan perguruan tinggi.
3. Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat perencanaan dan penganggaran; kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas nasional dalam perencanaan, pengelolaan, dan penyelenggaraan pelayanan pendidikan berbasis kinerja, melalui: (a) perbaikan kapasitas untuk merancang dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program-program Renstra Diknas 2005-2009; (b) pengembangan strategi manajemen kurikulum, bahan ajar dan manajemen pembelajaran untuk identifikasi, advokasi, dan penyebarluasan praktek-praktek terbaik (best practices) dalam pengelolaan pendidikan tingkat kabupaten/kota dan/atau satuan pendidikan; dan (c) mengembangkan sistem kerja sama untuk perencanaan, pengelolaan, dan monitoring kinerja sistem pendidikan secara menyeluruh. Program pengembangan kapasitas pusat/provinsi bertujuan untuk memberikan bantuan teknis, monitoring kinerja, dan manajemen strategis kepada kabupaten/kota dan satuan pendidikan.
4. Peningkatan kapasitas dan kompetensi managerial aparat; untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan pendidikan perlu dilakukan pengembangan kapasitas aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Pengembangan kapasitas para pengelola pendidikan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengembangan kapasitas pengelola pendidikan pada tingkat pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) dan pengelola pelayanan pada tingkat satuan pendidikan. Pengembangan kapasitas pengelola dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan pengelola dalam pelayanan pendidikan yang efektif, inovatif, efisien, dan akuntabel.
5. Peningkatan ketaatan pada peraturan perundang-undangan; beberapa kegiatan untuk mendorong dan mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi peningkatan kedisiplinan, kinerja, dan akuntabilitas seluruh aparat pengelola pendidikan, melalui peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara.
6. Penataan regulasi pengelolaan pendidikan dan penegakkan hukum di bidang pendidikan; menjawab berbagai permasalahan dan tantangan masa depan pendidikan, instrumen peraturan perundang-undangan, kebijakan, pedoman, standar, dan aturan pelaksanaan teknis lainnya menjadi prioritas yang tidak kalah penting untuk terus disempurnakan dan dikembangkan serta penegakkan hukum di bidang pendidikan ditingkatkan.
7. Peningkatan citra publik; di samping terus melakukan dan memantau program, kebijakan, dan kegiatan pembangunan nasional, Depdiknas juga perlu melakukan sosialisasi kepada publik tentang apa yang direncanakan, yang telah dilakukan, dan bagaimana melakukan perbaikan. Selain untuk melakukan sosialisasi, paparan kepada publik juga dapat menjadi sarana peningkatan citra Depdiknas dan Sisdiknas itu sendiri. Melalui paparan tersebut, diharapkan ada masukan dari seluruh masyarakat, khususnya pemerhati pendidikan nasional.
8. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pengelola pendidikan; pada era desentralisasi pendidikan ada gejala penurunan kualitas dan kompetensi pengelola pendidikan baik yang berada di pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan. Untuk ini, berbagai bentuk dan model pendidikan dan pelatihan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut akan dikembangkan.
9. Pelaksanaan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan KKN; sebagai wujud pelaksanaan Inpres Nomor 5, maka Departemen Pendidikan Nasional telah menyusun Tim Rencana Aksi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi dengan Surat Mendiknas Nomor 027/P/2005. Rencana aksi ini dilakukan dengan melibatkan secara aktif unit utama Departemen untuk secara dini merencanakan aktifitas kegiatan untuk mencegah dan memberantas korupsi. Selanjutnya diikuti dengan kegiatan monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan, atas pelaksanaan rencana aksi yang telah ditetapkan.
10. Intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh Inspektorat Jenderal; kegiatan ini dilakukan melalui pengawasan dini yaitu pengawasan oleh Inspektorat Jenderal untuk memeriksa program dan kegiatan yang akan berjalan dari unit kerja di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, dan bertujuan untuk mendeteksi program yang telah disusun, apakah dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan, dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
11. Intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh Itjen, BPKP, dan BPK; kegiatan intensifikasi pengawasan dilakukan dengan meninggalkan konsep pengawasan internal tradisional, dimana akuntansi dipandang sebagai perhatian utama pengawasan internal, menuju konsep pengawasan modern, dimana pengawasan merupakan bagian dari manajemen yang menuntut peran yang lebih daripada sebagai kontrol tetapi juga sebagai supervisor. Penggunaan dan pengembangan teknik pengawasan juga menjadi prioritas dalam program pengawasan Inpektorat Jenderal. Pengawasan kinerja menjadi tekanan pengawasan sesuai dengan basis pengelolaan keuangan negara yang berdasarkan kinerja. Kegiatan ekstensifikasi dilakukan melalui peningkatan jumlah aparat pengawasan (auditor pendidikan), perluasan jumlah sasaran pengawasan, dan lama hari pengawasan.
12. Penyelesaian tindak lanjut temuan-temuan pemeriksaan Itjen, BPKP, dan BPK; pengawasan tidak akan ada maknanya apabila pemeriksaan tidak ditindaklanjuti. Untuk itu diperlukan pemantauan terhadap tindak lanjut yang telah dilakukan oleh obyek pemeriksaan, untuk mengetahui apakah tindak lanjut yang dilaksanakan telah sesuai dengan rekomendasi pemeriksa. Selanjutnya ditentukan pencapaian jumlah dan kualitas atas tindak lanjut/penyelesaian temuan tersebut.
13. Pengembangan aplikasi SIM secara terintegrasi (keuangan, aset, kepegawaian, dan data lainnya); sangat disadari bahwa data-data (keuangan, program, aset, SDM, dan sebagainya) yang ada saat ini seolah-olah saling terpisah. Padahal seyogyanya data itu merupakan bagian yang terintegrasi dan tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Membangun sistem yang dapat mengintegrasikan semua data yang dibutuhkan dalam mengelola Departemen menjadi hal yang sangat mendesak untuk dilakukan. Selain untuk memperkecil terjadinya kesalahan manusia (human error), sistem tersebut dapat mengurangi pengulangan kegiatan pencatatan.
Implementasi di Satuan Pendidikan, contoh SMA dapat dijelaskan seperti dalam matrik berikut ini
Program Pendidikan Menengah
1. Pemerataan dan Perluasan Akses
a. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan dilakukan melalui pembangunan USB, RKB, laboratorium, perpustakaan, buku pelajaran buku nonteks pelajaran/bacaan lainnya dan sarana belajar. Perluasan USB SMA akan lebih diarahkan untuk lebih banyak dilakukan oleh penyelenggara pendidikan swasta dengan tetap memperhatikan standar nasional pendidikan.
b. Sejalan dengan itu, penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang lebih merata, bermutu, serta penyediaan biaya operasional pendidikan dan beasiswa kepada anak yang kurang beruntung tetapi berprestasi, juga akan dilakukan untuk mendukung perluasan.
c. Untuk daerah yang mampu mencapai APM SMP di atas 95% dan bermutu, pemerintah mendorong daerah tersebut untuk proaktif melakukan inisiasi program dan fasilitasi pendidikan universal 12 tahun dalam rangka memperluas partisipasi pendidikan menengah. Target pada tahun 2009 sekurang-kurangnya satu kabupaten/kota setiap provinsi melakukan perintisan pendidikan universal 12 tahun.
d. Pengembangan model layanan alternatif pendidikan akan dilakukan khusus untuk daerah terpencil, daerah pedalaman, dan daerah tertinggal sebagai fasilitas untuk menampung lulusan SMP di daerah tersebut. Perluasan penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang dilaksanakan dengan menggunakan berbagai bentuk SMK, yaitu SMK besar di kawasan Industri, SMK kelas jauh di pesantren/institusi lain, SMK di daerah perbatasan, SMK kecil di daerah terpencil dan perdesaan, SMA terbuka, dan sekolah menengah terpadu.
e. Target APS pendidikan menengah diusahakan mencapai 69,91% atau sebesar 7,5 juta orang pada tahun 2009, naik dari 56,04% pada tahun 2005. APK SMA/SMK/Paket C/MA/SMALB sebesar 52,2% (tahun 2005) akan ditingkatkan menjadi 68,20% pada tahun 2009, termasuk peningkatan APK SMLB.
f. Program pemerataan dan perluasan akses pendidikan juga diusahakan agar dapat menurunkan angka putus sekolah, angka mengulang kelas, dan meningkatnya proporsi siswa SMA/SMK/MA/MAK dan yang sederajat yang lulus ujian nasional.
g. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja menengah di sektor manufaktur, industri pengolahan, konstruksi, pertambangan, perdagangan, jasa kemasyarakatan, pariwisata, TIK, pertanian, serta teknologi dan seni (konservatori budaya) pemerintah akan meningkatkan jumlah peserta didik SMK, yang diproyeksikan akan meningkat secara signifikan sampai dengan tahun 2009.
2. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
a. Pemerintah mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi, bahan ajar, model pembelajaran, dan sistem evaluasi/penilaian menuju standar nasional dan internasional. Semua bagian dari sistem dan muatan pembelajaran dikembangkan untuk mencapai pembelajaran yang bermakna dan efektif. Pada jenjang pendidikan menengah, penekanan muatan kecakapan dasar (basic learning contents) mendapat porsi yang menurun, sedangkan muatan akademik dan keterampilan hidup meningkat.
b. Dalam rangka meningkatkan mutu buku pendidikan, pemerintah akan mengembangkan buku pendidikan yang bermutu dengan melakukan peningkatan sistem penilaian perbukuan.
c. Dalam rangka pendidikan kecakapan hidup, pemerintah akan melaksanakan berbagai kegiatan yang mendukung tumbuhnya pribadi siswa, yang berjiwa kewirausahaan, kepemimpinan, beretika, serta memiliki apresiasi terhadap estetika dan lingkungan hidup.
d. Guna mendorong siswa berprestasi, pemerintah juga akan melaksanakan program pembinaan dan fasilitasi untuk mempersiapkan anak-anak yang berprestasi istimewa mengikuti kompetisi tingkat nasional/internasional seperti olimpiade sains dan matematika bagi siswa SMA, sedangkan bagi siswa SMK berprestasi mengikuti promosi keterampilan siswa (PKS) tingkat nasional, Asian Skill Competition (ASC) tingkat regional dan World Skill Competition (WSC) tingkat internasional.
e. Terkait dengan peningkatan mutu juga perlu dilakukan perbaikan kondisi ruang belajar. Berdasarkan data tahun 2003, jumlah ruang belajar yang rusak ringan pada SMA sekitar 4.400 ruang dan SMK sekitar 4.800 ruang, serta yang rusak berat pada SMA sekitar 1.600 ruang dan SMK sekitar 3.000 ruang.
f. Pemerintah juga akan melakukan peningkatan jumlah SMK secara proporsional termasuk upaya penataan bidang keahlian dan program studi di SMK serta fasilitas magang agar relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Penataan ini dilakukan agar lulusan sekolah menengah kejuruan dapat makin memadai untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja.
g. Pengembangan mutu dan keunggulan sekolah menengah juga diarahkan untuk mendorong sekolah potensial menuju kategori di atas SNP. Sekolah seperti ini akan terus dikembangkan menjadi sekolah berkeunggulan nasional dan internasional. Pengembangan sekolah berkeunggulan pada pendidikan menengah ditargetkan paling tidak satu SMA/SMK pada masing-masing kabupaten/kota menjadi sekolah berkeunggulan lokal dan internasional pada tahun 2009. Pemerintah akan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk pengembangan keunggulan lokal, dan dengan luar negeri dalam pengembangan kurikulum dan standar kompetensi untuk mengembangkan kompetensi lulusan agar dapat bersaing secara global. Salah satu orientasi pencapaian standar internasional adalah mendorong sekolah untuk dapat memperoleh sertifikat ISO.
h. Pengembangan mutu dan keunggulan sekolah menengah juga disertai dengan program peningkatan kualitas jasmani dan pengembangan sekolah sehat. Dengan demikian, dapat tercipta siswa yang sehat dan bugar, serta sekolah yang memenuhi standar sekolah sehat.
i. Untuk mengantisipasi banyaknya lulusan SMA yang tidak dapat meneruskan ke pendidikan tinggi, pendidikan kecakapan hidup akan diberikan pada siswa SMA. Untuk peserta yang berasal dari keluarga miskin tetapi berpotensi, pemerintah akan memberikan subsidi beasiswa.
j. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah kejuruan dilakukan dengan mengembangkan program studi/jurusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, antara lain teknologi pengolahan dan pengemasan makanan, teknologi otomotif modern, telematika, hotel dan restoran, bidang kelautan, seni etnik dan kerajinan, industri manufaktur, serta teknologi pertanian nilai tinggi. SMK di setiap daerah juga didorong untuk mengembangkan program studi yang berorientasi pada keunggulan lokal, baik pada aspek keterampilan maupun kewirausahaan. Pendidikan kewirausahaan akan diberikan untuk membekali lulusan SMK mampu mengembangkan sendiri lapangan kerja bagi dirinya. Pengembangan kecakapan berwirausaha akan dilakukan seluas-luasnya untuk mendorong tumbuhnya wiraswastawan sebanyak-banyaknya, yang selain menjadi wahana kemandirian berusaha bagi pelaku-pelakunya, juga memberikan dampak makro yang sangat positip bagi pengembangan ekonomi nasional.
k. Dengan mempertimbangkan pesatnya perkembangan pemanfaatan TIK dalam berbagai sektor kehidupan, pemerintah akan terus mengembangkan pemanfaatan TIK untuk sistem informasi persekolahan dan pembelajaran termasuk pengembangan e-Learning. Hingga tahun 2009, langkah-langkah yang akan dilakukan adalah (a) merancang dan membuat aplikasi database, yang menyimpan dan mengolah data dan informasi persekolahan, manajemen persekolahan, muatan (content) pembelajaran; (b) merancang dan membuat aplikasi pembelajaran berbasis portal, web, multimedia interaktif, yang terdiri atas aplikasi tutorial dan learning tool; (c) mengoptimalkan pemanfaatan TV edukasi sebagai materi pengayaan dalam rangka menunjang peningkatan mutu pendidikan; dan (d) mengimplementasikan pemanfaatan TIK secara bertahap untuk memudahkan manajemen pendidikan pada SMA dan SMK dan sekaligus untuk mendukung proses pembelajaran di seluruh wilayah Indonesia.
3. Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Citra Publik
Peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan daya saing dilakukan dalam kerangka sistem dan mekanisme yang sama dalam isu-isu partisipasi masyarakat, MBS (DP/KS), pengembangan kapasitas, dan pengembangan EMIS. Perluasan partisipasi masyarakat akan didorong lebih luas dengan melibatkan dunia usaha dan industri dalam pengelolaan pendidikan kejuruan.
Mengingat pendidikan menengah belum menjadi program wajib belajar, partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan akan diupayakan, baik dalam rangka perluasan maupun peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu, kemampuan dan kemauan untuk melakukan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel, sangat strategis untuk memberikan citra kelembagaan yang positip, yang selanjutnya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pengelola. Masyarakat juga diharapkan untuk proaktif dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi anggaran penyelenggaraan pendidikan.
2. Pendidikan Non Formal merupakan bagian pendidikan yang strategis di Indonesia. Jelaskan konsep, pengertian, sistematika dan sebagainya
JAWABAN
Konsep
a. Pendidikan formal adalah pendidikan yang sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya, termasuk kedalamnya ialah kegiatan studi yang beririentasi akademis dan umum, program spoesialisasi, dan latihan professional yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus
b. Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan termasuk didalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan dan media massa
c. Pendidikan Non formal, ialah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, diluar system persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu didalam mencapai tujuan belajarnya.
Istilah-istilah yang berkembang secara internasional diantaranya, Pendidikan sepanjang hayat ( life long education ), Pendidikan pembaharuan ( recurrent education ), pendidikan abadi ( permanent education ), pendidikan masyarakat ( community education ), pendidikan perluasan ( extension education ), pendidikan massa ( mass education ), pendidikan social ( social education ), pendidikan orang dewasa ( adult education ) dan pendidikan berkelanjutan ( Contiuning education )
Pendidikan nonformal mempunyai kedudukan yang strategis dalam system pendidikan di Indonesia, karena Tujuan Pendidikan non formal adalah mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai-nilai yang memungkinankan bagi seseorang atau kelompok untuk berperan serta secara efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaannya, masyarakat dan bahkan negaranya.
Tujuan secara khusus, berdasarkan UUSPN 20/2003 dan PP 73/1991 adalah
a. Melayani warga masyarakat supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya
b. Membelajarkan masyarakat agar memiliki pengetahuan, keterampilan fungsional dan sikap untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, atau melanjutkan studi ke tingkat dan atau jenjang pendidikan yang lebih tingi
c. Menyediakan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan potensi lingkungan yang tidak dapat dipenuhi oleh pendidikan formal
d. Memberikan kesempatan belajar bagi warga masyarakat yang karena sesuatu hal tidak dapat mengikuti pendidikan formal.
Satuan Pendidikan Non Formal
a. Keluarga, terdiri atas pendidikan untuk keluarga dan pendidikan oleh keluarga
b. Lembaga Kursus
c. Lembaga Pelatihan
d. Kelompok Belajar
e. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat ( PKBM )
f. Majelis Ta’lim
g. Satuan Pendidikan yang sejenis
Lingkup program pendidikan nonformal
a. Pendidikan Anak Usia Dini, Kelompok belajar, TPA
b. Pendidikan Keaksaraan Fungsional
c. Pendidikan Kesetaraan
d. Pendidikan Kecakapan Hidup
e. Pengarusutamaan Jender
f. Pendidikan kepemudaan
g. Pendidikan usia Lanjut
h. Pendidikan dan pelatihan kerja
i. Pendidikan Jarak jauh
Keunggulan pendidikan Non formal
a. Biaya lebih murah dibandingkan pendidikan formal
b. Program pendidikan lebih berkaitan dengan kebutuhan masyarakat
c. Memiliki program yang fleksibel
Kelemahan pendidikan non formal
a. Kurangn ya kordinasi, karena keragaman dan luasnya program yang diselenggarakan oleh berbagai pihak
b. Tenaga pendidik dan sumber belajar masih kurang
c. Motivasi belajar peserta didik relative rendah
d. Para lulusan pendidikan Non formal dianggap lebih rendah statusnya di bandingkan lulusan pendidikan Formal
3. Pendidikan Dasar (SD) merupakan bagian yang sangat penting untuk pendidikan di tingkat menengah ( SMA ) dan pendidikan tinggi. Jelaskan landasan filosofis dan landasan ilmiahnya.
JAWABAN
Belajar dari negara-negara baru di bidang industri (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, bahwa untuk meningkatkan pembangunan suatu bangsa diperlukan apa yang disebut critical mass di bidang pendidikan. Konsep ini mengupayakan adanya suatu persentase penduduk dengan tingkat pendidikan tertentu yang harus disiapkan oleh suatu bangsa agar pembangunan ekonomi dan sosial dapat meningkat cepat, karena adanya dukungan sumberdaya manusia yang berkualitas dan memadai.
Program pendidikan dasar 9 tahun merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan critical mass tersebut. Program ini dilaksanakan untuk mewujudkan suatu masyarakat Indonesia yang terdidik, minimal memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar yang esensial. Kemampuan dasar ini diharapkan dapat digunakan para lulusan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau dijadikan bekal untuk menjalani hidup dan menghadapi kehidupan dalam masyarakat. Kemampuan dasar dibutuhkan dalam rangka bersosialisasi, termasuk melakukan interaksi, kompetisi, berorganisasi, di antara warga masyarakat, kelompok, dan antar bangsa.
Esensi Pendidikan dasar adalah “paspor” bagi setiap peserta didik untuk mengembangkan dirinya di masa depan, termasuk memasuki pendidikan menengah dan pendidikan Tinggi, dan bekal dasar untuk dapat hidup layak dalam hidup bermasyarakat dimanapun diduinia ini. Oleh karenanya, program belajar pendidikan dasar harus mengembangkan potensi peserta didik secara terpadu dan sinergis. Pola pendidikan di tingkat dasar harus dilakukan secara terpadu, karena secara psikologis perkembangan kemampuan kognisi, kemampuan sosio-emosional, kemampuan pengembangan moral dan perkembangan fifik peserta didik usia pendidikan dasar secara terpadu dan saling ketergantungan.
Jenjang pendidikan dasar merupakan jenjang terbaweah dari system pendidikan nasional, seperti yang ditetapkan dalam UU 20/2003. Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengasmbangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan di tingkat menengah dan pendidikan tinggi.
Pendidikan dasar merupakan peletak dasar sebagai pendidikan untuk tahap-tahap berikutnya karena dengan mengikuti gagasan konsep belajar sepanjang hidup, pendidikan dasar memberikan tekanan kepada belajar untuk mengetahui ( learning to know ), belajar untuk bekerja ( learning to do ), belajar menjadi dirinya sendiri ( learning to be ) dan belajar hidup bersama ( learning to live together), yang semuanya ini merupakan bekal untuk terus belajar di jenjang pendidikan lebih lanjut.
Untuk sampai kepada gagasan konsep belajar sepanjang hidup tersebut, maka standar kompetensi, terutama sedangkan standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan Dasar, harus meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut, diantaranya untuk :
SD/MI/SDLB*/Paket A
1. Menjalankan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan anak
2. Mengenal kekurangan dan kelebihan diri sendiri
3. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungannya
4. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi di lingkungan sekitarnya
5. Menggunakan informasi tentang lingkungan sekitar secara logis, kritis, dan kreatif
6. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif, dengan bimbingan guru/pendidik
7. Menunjukkan rasa keingintahuan yang tinggi dan menyadari potensinya
8. Menunjukkan kemampuan memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari
9. Menunjukkan kemampuan mengenali gejala alam dan sosial di lingkungan sekitar
10. Menunjukkan kecintaan dan kepedulian terhadap lingkungan
11. Menunjukkan kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa, negara, dan tanah air Indonesia
12. Menunjukkan kemampuan untuk melakukan kegiatan seni dan budaya lokal
13. Menunjukkan kebiasaan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang
14. Berkomunikasi secara jelas dan santun
15. Bekerja sama dalam kelompok, tolong-menolong, dan menjaga diri sendiri dalam lingkungan keluarga dan teman sebaya
16. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis
17. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung
b. Jelaskan pula bahwa konsep pendidikan umum merupakan dasar bagi pendidikan bidang studi.
Konsep pendidikan umum dalam pengertian sempit di tingkat satuan pendidikan biasanya merujuk kepada konsep mata pelajaran umum yaitu mata pelajaran yang termasuk Kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia, serta Kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian, dengan tujuan masing-masing, sbb. :
1. Kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia bertujuan: membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Tujuan tersebut dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga, dan kesehatan.
2. Kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian bertujuan: membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani.
Sedangkan pendidikan bidang studi, biasanya diarahkan kepada Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dengan tujuan sebagai berikut. :
Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bertujuan: mengembangkan logika, kemampuan berpikir dan analisis peserta didik. Pada satuan pendidikan SD/MI/SDLB/Paket A, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal yang relevan.
Jadi sebelum peserta didik memahami dan dapat mengembangkan logika, kemampuan berpikir secara analisis maka peserta didik tersebut harus dibekali dengan dua kelompok mata pelajaran umum tadi.
c. Jelaskan bagaimana tata kelola pendanaan dan sarana/prasarana pendidikan agar produktif ?
JAWABAN
Pendanaan pendidikan nasional disusun dengan mengacu pada aturan perundangan yang berlaku, kebijakan Mendiknas, program-program pembangunan pendidikan dan sasarannya, serta implementasi program dalam dimensi ruang dan waktu.
Mengingat terbatasnya anggaran pemerintah untuk pendidikan, strategi pembiayaan pendidikan nasional dalam lima tahun ke depan disusun dalam skala prioritas.
Penetapan prioritas pembangunan pendidikan didasarkan pada
(a) keberpihakan Pemerintah terhadap anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung karena faktor-faktor ekonomi, geografi, dan sosial—untuk memperoleh pendidikan yang bermutu;
(b) tuntutan prioritas karena adanya perubahan kebijakan pendidikan, termasuk dalam pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara pada setiap satuan, jenjang dan jenis pendidikan baik pada jalur formal maupun nonformal, serta untuk menjawab komitmen internasional dan kepentingan nasional; dan
(c) prediksi perkembangan kemampuan keuangan negara dan potensi kontribusi masyarakat terhadap pendidikan.
Kebijakan desentralisasi pendidikan menuntut peningkatan kemampuan daerah dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus dapat menyusun strategi pembiayaan untuk dapat mencapai target-target program yang disusun dalam perencanaan pembangunan pendidikan untuk lima tahun ke depan.
Selanjutnya, pemerintah daerah harus menjabarkan program-program pemerintah pusatyang harus dilaksanakan di daerah dalam rencana strategis lima tahun (Renstrada) 2005-2009.Berdasarkan Renstrada, pemerintah daerah membuat perencanaan pembiayaan pembangunan pendidikan untuk lima tahun ke depan untuk mencapai target-target program di daerahnya hingga tahun 2009.
Strategi pembiayaan disusun dengan memperhitungkan proyeksi (a) pendapatan asli daerah (PAD); (b) dana perimbangan yang meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK); (c) dana otonomi khusus dan penyeimbang; dan (d) perkiraan alokasibelanja pemerintah pusat berupa dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan (DTP).
Sumber pendanaan lainnya yang dapat diperhitungkan adalah bantuan luar negeri, khususnya untuk pembiayaan program-program prioritas.
Karena keterbatasan keuangan pemerintah pusat dan juga kendala daerah meningkatkanPAD, kesenjangan pendanaan ( ) di daerah akan sangat mungkin terjadi. Terjadinya kesenjangan itu diakibatkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan pendanaan untuk mencapai target-target program yang telah ditentukan. Untuk menutup kesenjangan pendanaan, pemerintah daerah harus
memperhitungkan sumber-sumber pendanaan lain yang mungkin dapat diupayakan, seperti bantuan luar negeri (donor) dan kontribusi masyarakat yang harus ditelaah per program. Semua kemungkinan skenario pembiayaan tersebut harus tertuang dalam Renstrada 2005-2009, sebagai pedoman pelaksanaan program pembangunan pendidikan di daerahnya, dalam rangka mendukung pencapaian target-target nasional program pembangunan jangka menengah 20052009.
STRATEGI PEMBIAYAAN
Pembiayaan pembangunan pendidikan disusun dalam rangka melaksanakan ketentuan perundangan serta kebijakan Pemerintah dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Pembiayaan pendidikan dalam kurun waktu 20052009, disusun dalam rangka melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut
(1) memperjelas pemihakan terhadap masyarakat miskin dan/atau masyarakat kurang beruntung lainnya;
(2) memperkuat otonomi dan desentralisasi pendidikan; dan
(3) memberikan insentif dan disinsentif bagi (a) perluasan dan pemerataan akses pendidikan, (b) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan secara berkelanjutan, dan (c) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelola pendidikan.
Pemihakan terhadap masyarakat miskin dilakukan dengan menghilangkan berbagai hambatan biaya bagi orangtua peserta didik, dalam rangka meningkatkan jumlah peserta didik SD dan SMP yang berasal dari keluarga miskin sehingga wajib belajar 9 tahun dapat diselesaikan. Hambatan tersebut terdiri atas tiga jenis pembiayaan pendidikan yang selama ini dibebankan kepada orangtua peserta didik, yaitu biaya operasi satuan pendidikan, biaya pribadi, dan biaya investasi. Dengan semakin kecilnya hambatan biaya khususnya bagi keluarga miskin, diharapkan seluruh anak usia sekolah dapat mengikuti pendidikan paling tidak sampai dengan pendidikan dasar sembilan tahun. Pemerintah secara bertahap membebaskan seluruh beban biaya operasi satuan pendidikan negeri dan swasta menuju pendidikan dasar bebas biaya. Walaupun orangtua siswa dibebaskan dari biaya operasi satuan pendidikan, masih banyak keluarga miskin yang tidak mampu memenuhi biaya pribadi untuk anaknya sehingga tidak dapat pergi ke sekolah. Untuk mengantisipasi menurunnya APK SMP karena hambatan biaya pribadi, Pemerintah menyediakan bantuan beasiswa yang disalurkan melalui biaya satuan pendidikan ke sekolah untuk menutup biaya pribadi bagi siswa miskin agar tidak terhambat masuk sekolah.
Hambatan biaya lainnya adalah biaya investasi seperti lahan, prasarana pendidikan, lingkungan sekolah yang dapat mendorong terwujudnya mutu proses pembelajaran di sekolah. Biaya investasi tersebut difokuskan pada perbaikan prasarana dan sarana pendidikan (gedung, ruang kelas, dan sarana belajar) yang mendesak untuk direhabilitasi agar dapat melindungi guru dan siswa melaksanakan proses belajar dengan baik.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, antara lain mengatur sistem pembiayaan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Menurut UU tersebut sumber keuangan APBD adalah PAD, DAU, dan dana bagi hasil (DBH). Dengan mempertimbangkan kemampuan yang berbeda antara daerah, DAU diberikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Selain itu, melalui instrument pendanaan DAK, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, setiap departemen membantu pembiayaan pembangunan sektornya di daerah. Ketiga pola pembiayaan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat keuangan daerah, baik dalam rangka pelaksanaan kebijakan khusus yang menjadi prioritas nasional (pola DAK), maupun kewenangan pusat yang dilimpahkan dan ditugaskan ke daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan).
Fungsi pembiayaan pendidikan dalam kerangka desentralisasi dan otonomi pendidikan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan penyelenggaraan urusan pendidikan. Seperti disebutkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sektor pendidikan adalah salah satu yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah. Depdiknas akan terus membantu provinsi dan kabupaten/kota dalam pembiayaan pembangunan sektor pendidikan melalui ketiga pola pendanaan itu untuk mengatasi kekurangan kemampuan pembiayaan bagi sector pembangunan pendidikan, sampai tercapainya kondisi pemerintah daerah mampu memenuhi kebutuhan pembiayaan melalui peningkatan PAD, dan/atau peningkatan alokasi DAU.
Bersamaan dengan itu, komitmen dan kemampuan kabupaten/kota dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan terus ditingkatkan melalui pengembangan kapasitas. Bantuan pembiayaan dan pengembangan kapasitas pada prinsipnya diarahkan untuk makin memperkuat pelaksanaan desentralisasi dan kemandirian pemerintah kabupaten/kota (otonom). Pelaksanaan desentralisasi di bidang pendidikan harus terus mendorong pemerintah daerah (dinas pendidikan) dan satuan pendidikan untuk dapat mencapai otonomi pengelolaan pendidikan. Pemerintah bersama pemerintah provinsi akan mengambil peran sebagai mitra pemerintah kabupaten/kota dalam pembiayaan
dengan pola dekonsentrasi, tugas pembantuan dan pembiayaan bersama Dana dekonsentrasi pemerintah pusat diberikan kepada provinsi untuk membiayai pelaksanaan kewenangan pusat yang dijalankan oleh provinsi sebagai wakil pemerintah di daerah. Penggunaan dana dekonsentrasi dalam rangka pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan, termasuk kegiatan evaluasi, akreditasi, sertifikasi dan pengembangan kapasitas.
Dana Alokasi Khusus (DAK) dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar nasional yang diharapkan.
Penggunaan DAK antara lain untuk pembiayaan dalam rangka pelaksanaan kegiatan rehabilitasi bangunan SD yang rusak berat yang akan diselesaikan pada tahun 2008, dan pembangunan sarana untuk memperluas akses dalam rangka menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Pemberian DAK memerlukan dana pendamping dari daerah yang bersangkutan sekurang-kurangnya 10% dari besarnya DAK. Tujuan menyertakan dana pendamping adalah untuk menumbuhkan rasa kepemilikan daerah atas aset yang dibangun dengan bantuan DAK tersebut.
Dana tugas pembantuan bertujuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan pemerintah yang ditugaskan kepada daerah. Pelaksanaan kewenangan yang harus berupa kegiatan fisik itu dijalankan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang ditetapkan oleh gubenur, bupati/walikota. Sementara itu, pembiayaan bersama merupakan komitmen antara pemerintah dan pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota dilakukan sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing.
Fungsi Insentif dan Disinsentif bagi PeningkatanAkses, Mutu, danTata Kelola
Pembiayaan pendidikan harus mampu menjadi insentif dan disinsentif bagi upaya peningkatan akses, mutu, dan tata kelola. Kapasitas pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam mengelola sumber-sumber daya pendidikan sangat menentukan keberhasilan peningkatan akses, mutu, dan tata kelola. Fungsi insentif dan disinsentif bagi peningkatan akses, mutu , dan tata kelola akan dilakukan oleh pemerintah pusat untuk mendorong tumbuhnya prakarsa, kreativitas, dan aktivitas pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam meningkatkan kapasitasnya untuk meningkatkan akses,mutu, dan tata kelola.
Insentif dan disinsentif diberikan dalam bentuk hibah berdasarkan kriteria seperti tujuan yang akan dicapai dalam pemenuhan standar nasional pendidikan, serta manfaat yang diperoleh.
Pembiayaan pembangunan pendidikan dalam rangka pemerataan dan perluasan
akses; peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing; dan penguatan tata kelola,
akuntabilitas, dan citra publik, bersumber pada APBN,APBD dan dana masyarakat.
PEMBIAYAAN PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH:
MASALAH DAN PROSPEK
1. Latar Belakang
Kondisi umum sektor pendidikan di Indonesia ditandai oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM), sekitar 58% dari tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau kurang. Pada saat yang sama, hanya 4% dari tenaga kerja yang berpendidikan tinggi.
Prospek peningkatan kualitas SDM di masa yang akan datang pun terlihat suram. Rata-rata angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi masih relative rendah (56% untuk SLTP, 32% untuk SLTA dan 12% untuk perguruan tinggi).
Dalam kondisi demikian itulah otonomi daerah (termasuk di dalamnya sector pendidikan) dilaksanakan. Di era otonomi daerah, urusan pendidikan dari tingkat TK hingga SLTA menjadi tanggung jawab daerah, hanya perguruan tinggi yang masih dipegang Pusat.
2. Otonomi Daerah: Apa yang Berubah dan Apa yang Terjadi?
2.1. Pola Pembiayaan Sektor Pendidikan
Perubahan kewenangan pengelolaan pendidikan dengan segera mengubah pola pembiayaan sektor pendidikan. Sebelum otonomi daerah, praktis hanya pembiayaan sekolah dasar (SD) yang menjadi tanggung jawab Pemda, sedangkan SLTP dan SLTA (dan juga perguruan tinggi) menjadi tanggung jawab Pusat. Pembiayaan SLTP dan SLTA dilakukan melalui Kanwil Depdiknas (di tingkat propinsi) dan Kandepdiknas (di tingkat kabupaten/kota). Setelah diberlakukannya otonomi daerah, sebagaimana disinggung di atas, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA menjadi tanggung jawab Pemda. Antara Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas Pendidikan propinsi tidak ada hubungan hierarkhis, sedangkan propinsi masih tetap mengemban amanat sebagai perwakilan pemerintah pusat. Dengan konfigurasi kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat tidak lagi punya “tangan” di daerah untuk mengimplementasikan program-programnya. Implikasinya, setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan melalui koordinasi dengan Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan kabupaten/kota.
Dengan konfigurasi kelembagaan yang seperti itu pula, pola pembiayaan pendidikan mengalami perubahan yang cukup mendasar. Daerah memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan dari Pusat (dan Propinsi) tetap dimungkinkan, tetapi juga harus melalui mekanisme APBD, atau paling tidak tercatat di dalam APBD kabupaten/kota.
2.2. Analisis Terhadap APBD 245 Kabupaten/Kota Tahun 2002
Tantangan pertama yang harus dihadapi oleh para pengelola pendidikan adalah masalah pendanaan. Sebagai ilustrasi, rendahnya kualitas gedung sekolah, terutama SD, merupakan salah satu dampak keterbatasan kemampuan pemerintah dalam memobilisasi dana untuk sektor pendidikan. Di sisi lain, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memberi beban yang sangat berat bagi pemerintah.
Studi terhadap 245 kabupaten/kota menunjukkan bahwa realisasi anggaran masih jauh dari yang diharapkan. Pada tahun 2002, rata-rata persentase anggaran pembangunan terhadap APBD hanya 3,14%. Bahkan, persentase tertinggi hanya mencapai 10%, masih sangat jauh dari target 20% yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas.
Di atas kertas, Pemda memang memiliki beberapa sumber keuangan daerah, seperti dana perimbangan (DAU, DAK dan Dana Bagi Hasil), pendapatan asli daerah (PAD) dan pinjaman. Tapi pada kenyataannya, rata-rata peranan PAD dalam APBD hanya sekitar 7%. Sementara itu, rata-rata tertimbang rasio dana perimbangan terhadap pengeluaran rutin adalah 1,4 yang menunjukkan bahwa tidak banyak dana perimbangan yang bisa digunakan untuk keperluan di luar anggaran rutin.
Jelas bahwa Pemda memiliki tanggung jawab yang besar dan bersifat jangka panjang di sektor pendidikan, tetapi tidak memiliki sumber dana yang cukup dan stabil untuk mendanai. Jika situasinya tidak berubah, Daerah tidak akan mampu memenuhi 20% anggaran untuk pendidikan seperti yang diamanatkan UU Sisdiknas dan pada gilirannya ada risiko terjadi penurunan kualitas SDM sebagai dampak otonomi daerah.
Beberapa plot dan berikut ini akan memberi gambaran lebih lengkap tentang alokasi APBD untuk sektor pendidikan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dilihat dari sisi nilai pengeluaran pembangunan sektor pendidikan maupun persentase pengeluaran pendidikan terhadap total pengeluaran pembangunan, tidak ada perbedaan komitmen antara kabupaten dengan kota. Dari semua model regresi dalam analisis ini, variabel “kabkot” (yang merupakan dummy variable untuk status sebagai kabupaten atau kota) pengaruhnya selalu tidak signifikan terhadap pengeluaran pembangunan sektor pendidikan atau persentase pengeluaran pembangunan untuk sektor pendidikan. Sementara itu, analisis terhadap total pengeluaran APBD, total dana perimbangan dan PAD menunjukkan bahwa ketiga variabel tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai pengeluaran untuk sektor pendidikan, tetapi tidak signifikan pengaruhnya terhadap persentase pengeluaran pembangunan sector pendidikan.
Jadi, jika komitmen suatu daerah terhadap sektor pendidikan dilihat dari persentase pengeluaran sektor pendidikan bukan nilai absolutnya), maka terlihat bahwa tidak ada jaminan bahwa daerah-daerah yang lebih kaya akan mengalokasikan prosi dana yang lebih besar untuk pembangunan sektor pendidikan.
3. Masalah Alokasi Dana APBN
Persoalan utama berkaitan dengan target anggaran pendidikan 20 persen adalah masalah kemampuan finansial (affordability) pemerintah. Jadi, kurang lebih, yang dimaksud sebagai anggaran pendidikan di sini adalah apa yang dikenal sebagai anggaran pembangunan (bukan anggaran rutin). Kemampuan fiskal bisa dilihat dari struktur pengeluaran APBN, misalkan APBN 2004. Untuk tahun 2004, sekitar 15 persen dari APBN akan digunakan untuk keperluan belanja pegawai, 19 persen untuk membayar cicilan bunga hutang, dan 31 persen untuk transfer ke daerah. Itu merupakan jenis-jenis pengeluaran yang tak terhindarkan, baik karena “terlanjur” maupun karena ketentuan perundang-undangan. Pos tak terhindarkan itu total memakan sekitar 65 persen dari APBN.
Pertama, alokasi di bawah 20 persen untuk pendidikan hingga saat ini tidak dengan serta-merta bisa dianggap sebagai penyimpangan terhadap konstitusi. Dalam kondisi tekanan fiskal seperti sekarang ini, siapa pun pemerintahnya, target 20 persen itu tidak akan bisa tercapai.
Kedua, siapa pun yang berjanji akan mengalokasikan anggaran 20 persen untuk pendidikan dalam jangka pendek, dia pasti akan dengan terpaksa mengingkari janjinya.
Di luar masalah kemampuan finansial, ada sejumlah pertanyaan seputar ketentuan normatif tersebut.
Pertama, menyangkut dasar penentuan target anggaran. Angka persen sangat mekanistik, dan tidak menjamin kecukupan anggaran. Mengapa? Karena ketentuan tersebut tidak didasari oleh sebuah perhitungan yang teliti tentang kebutuhan anggaran, khususnya perhitungan biaya satuan (unit cost). Akibatnya, angka 20 persen itu menjadi sangat relatif, bisa cuk up, bisa kurang, bisa juga “berlebih”. Meskipun terlihat “aneh”, kemungkinan “kelebihan” dana tersebut sangat mungkin terjadi.
kedua, yakni terkait dengan otonomi daerah. Kalau berbicara tentang alokasi APBN, berarti kita sedang berbicara tentang pengeluaran pemerintah pusat. Seperti beberapa kali disinggung di bagian terdahulu, di era otonomi daerah ini, kewenangan pusat di sektor pendidikan sangat terbatas, yakni di bidang kurikulum dan penetapan standar, selain tanggung jawab untuk pengelolaan perguruan tinggi. Itu pun dengan catatan bahwa peran pemerintah di tingkat perguruan tinggi lebih banyak di bidang regulasi dan pengawasan. Di luar itu, khususnya dalam pengelolaan Wajib Belajar, menjadi tanggung jawab daerah.
Kalau pusat akan mengalokasikan langsung ke sekolah-sekolah, pasti akan muncul masalah mistargeting. Salah satu kelemahan utama pusat adalah ketidakmampuannya mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan di tingkat mikro (sekolah). Kalau disalurkan melalui pemerintah daerah, untuk kemudian pemda mengalokasikan ke sekolah-sekolah, ini seperti pola lama. Sense of belonging pemda untuk kasus-kasus seperti ini terbukti scara umum rendah, kontrol masyarakat juga minim, sehingga kemungkinan penyimpangan menjadi sangat terbuka. Lagipula, kalau akhirnya dialokasikan melalui Pemda, mengapa anggaran itu tidak langsung dialokasikan ke daerah saja (melalui mekanisme dana perimbangan) tanpa perlu melalui instansi pusat?
Ada ide untuk menggunakan Dewan Pendidikan yang merupakan institusi multistakeholder di tingkat kabupaten/kota untuk menyalurkan dana itu. Padahal, institusi yang relatif baru tersebut belum teruji akuntabilitas dan efektifitasnya sejauh ini.
4. Alternatif Solusi di Tingkat Pusat: Perluasan DAK Sektor Pendidikan
Salah satu alternatifnya adalah, dana 20 persen APBN untuk pendidikan untuk dialokasikan kepada daerah melalui mekanisema DAK (dana alokasi khusus).
Dengan mekanisme DAK, rantai panjang dari pusat ke daerah yang rawan KKN akan bisa dipangkas. Dengan mekanisme DAK, tertutup kemungkinan Pemda untuk mengalokasikan dana itu untuk keperluan di luar sektor pendidikan. Selain itu, pusat juga masih memiliki kewenangan untuk melakukan kontrol dalam batas-batas wajar terhadap penggunaan dana tsb.
Masalahnya adalah hingga saat ini peraturan yang ada hanya mengizinkan penggunaan DAK untuk keperluan pembangunan fisik. Padahal untuk pendidikan keperluan non-fisik yang berorientasi pada peningkatan kualitas juga tak kalah penting. Selain itu, DAK juga mensyaratkan adanya “dana pendamping” dari Pemda. Itu jelas tidak cocok kalau akan digunakan sebagai mekanisme penyaluran dana 20% APBN. Kalau begitu, kenapa tidak peraturannya saja yang diubah?
5. Alternatif Solusi di Tingkat Daerah: Sistem “Earmarking”
Dari sisi pembiayaan pendidikan di daerah, idenya adalah bagaimana mencari sumber pembiayaan pendidikan yang memiliki dua karakteristik dasar. Pertama, cukup dan stabil bagi sektor pendidikan di daerah untuk memenuhi target 20% anggaran untuk pendidikan. Kedua, berada dalam kewenangan Pemda, sehingga memungkinkan dijadikan “kebijakan fiskal” di daerah (dinaikkan/diturunkan jika dianggap perlu). Salah satu alternatif yang mungkin adalah menerapkan sistem earmarking. Pada prinsipnya, dalam sistem earmarking ada suatu sumber penerimaan yang secara transparan dan konsisten dialokasikan untuk keperluan sektor pendidikan. Sumber penerimaan tersebut harus merupakan sumber penerimaan yang berada dalam kewenangan Pemda.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat, selain dengan transfer dana dari Pusat ke Daerah, sektor pendidikan dibiayai dengan property tax (analog dengan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia) yang merupakan pajak daerah. Jadi, tinggi-rendahnya tariff property tax ditentukan oleh besar-kecilnya kebutuhan pendanaan pendidikan di daerah tersebut. Jika suatu daerah ingin pembangunan pendidikannya lebih baik dibandingkan daerah lain, secara sadar mereka tahu bahwa itu artinya mereka harus membayar property tax yang lebih tinggi.
Ada beberapa keuntungan diterapkannya sistem earmarking ini. Pertama, kebijakan perpajakan daerah ada di tangan Pemda (dalam koridor UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Kedua, ada “mekanisme transaksi” yang jelas antara pemungut pajak dengan wajib pajak. Dalam banyak kasus, masyarakat Indonesia mau membayar cukup besar untuk keperluan sektor publik jika mereka yakin bahwa uang tersebut digunakan dengan baik. Dengan kata lain, dengan sistem ini ada potensi untuk memobilisasi dana yang lebih besar untuk sektor pendidikan. Selain itu, sistem ini juga lebih accountable. Masyarakat mudah melihat penggunaannya, yakni dengan mengkaitkan antara penerimaan pajak tertentu dengan anggaran pendidikan. Meskipun demikian, ada beberapa aspek yang seringkali dipandang sebagai kelemahan sistem earmarking, yakni adanya spillover effect. Pembangunan pendidikan di suatu daerah bisa juga dinikmati oleh penduduk dari daerah lain. Hal ini bias menimbulkan masalah ketidakadilan, karena artinya penduduk suatu daerah juga membiayai pendidikan penduduk daerah lain.
Akan tetapi, patut dicatat bahwa spillover effect terindikasi hanya terjadi di kotakota besar. Selain itu, bagi kepentingan nasional hal ini tidak buruk. Artinya, masalah ini sebenarnya bisa dinegosiasikan, misalkan melalui mekanisme inter-governmental transfer sebagai kompensasi, baik yang berupa transfer antar daerah maupun dari Pusat ke Daerah.
Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab sebelum mengimplementasikan sistem earmarking ini. Pertanyaan-1: Apakah daerah mampu menanggung pengeluaran pembangunan sektor pendidikan dengan sumber penerimaannya sendiri, khususnya dari Pajak Daerah?
Meskipun demikian ada beberapa daerah yang sebenarnya mampu, dengan catatan sector pendidikan dijadikan prioritas pembangunan. Beberapa kota besar seperti Medan, Padang, Yogyakarta dan Surabaya memiliki penerimaan pajak daerah yang nilainya lebih dari lima kali anggaran pembangunan pendidikan.
Pertanyaan-2: Jenis penerimaan apakah yang akan di-earmark untuk dialokasikan bagi sektor pendidikan? Paling tidak ada dua jenis pajak daerah yang sesuai, yakni Pajak Hotel dan Restoran (untuk kota) atau Pajak Pengambilan Bahan Galian C (untuk kabupaten). Kedua jenis pajak daerah ini biasanya nilainya cukup signifikan di masingmasing wilayah.
Yang tidak boleh dilupakan adalah sebuah proses yang transparan dan demokratis jika ada dearah yang ingin menerapkan ide ini. Masyarakat secara luas harus dilibatkan agar kebijakan ini mendapatkan dukunngan politik dan finansial dari berbagai pihak, khususnya masyarakat sebagai stakeholder kunci sektor pendidikan.
4. Analisis secara evaluative masalah-masalah pendidikan yang ada di Indonesia, kemudian buatlah Visi-misi dan strategi pendidikan jika kita menjadi seseorang ……….. ( tokoh politik, Gubernur, Menteri dsb )
JAWABAN
1. Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP).
Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya adalah, jelas ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia. Ditinjau secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai masalah itu dapat dikategorikan dalam
2 (dua) masalah yaitu :
Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan.
Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraaan guru, dan sebagainya.
2. Masalah Mendasar : Sekularisme Sebagai Paradigma Pendidikan
Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Tapi perlu diingat, sekularisme itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti “iman” dan anti “taqwa”. Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah privat dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekular, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai perilaku individu).
Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus.
Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.
Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.
Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya.
Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kacaunya kurikulum ini tentu saja berawal dari asasnya yang sekular, yang kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguasaan tsaqâfah Islam dan pembentukan kepribadian Islam.
Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang pandai yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan tsaqâfah Islam. Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang tetap saja ‘buta agama’ dan rapuh kepribadiannya? Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai tsaqâfah Islam dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi, di sisi lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan teknologi.
Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan, dan jasa) diisi oleh orang-orang yang relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, Depag), tidak mampu terjun di sektor modern.
Jadi, pendidikan sekular memang bisa membikin orang pandai, tapi masalah integritas kepribadian atau perilaku, tidak ada jaminan sama sekali. Sistem pendidikan sekular itu akan melahirkan insan pandai tapi buta atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, yang dihasilkan adalah orang pandai tapi korup. Profesional tapi bejat moral. Ini adalah out put umum dari sistem pendidikan sekular. Mari kita lihat contoh negara Amerika atau negara Barat lainnya. Ekonomi mereka memang maju, kehidupan publiknya nyaman, sistim sosialnya nampak rapi. Kesadaran masyarakat terhadap peraturan publik tinggi. Tapi, perlu ingat bahwa agama ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum tapi agama tidak boleh bersifat publik. Hari raya Idul Adha tidak boleh dirayakan di lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon. Pelajaran agama tidak saja absen di sekolah, tapi murid-murid khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan sholat 5 waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan anak sekolah bebas, asal tidak melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi dalam kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah agama.
Sistem pendidikan yang material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.
3. Masalah-Masalah Cabang
Masalah-masalah cabang yang dimaksud di sini, adalah segala masalah selain masalah paradigma pendidikan, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Masalah-masalah cabang ini tentu banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :
3.1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
3.2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3.3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
3.4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
3.5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut
3.6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
3.7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
4.Solusinya4.1. Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Ini sangat penting dan utama.
Solusi masalah mendasar itu adalah merombak total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas sekularisme diubah menjadi asas Islam, bukan asas yang lain. Bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
4.2. Solusi Masalah-Masalah Cabang
Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, sistem pendidikan di Indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, antara lain :
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan gutu,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Untuk mengatasi masalah-masalah cabang di atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan gutu, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
VISI. MISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN
Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Makna Insan Indonesia Cerdas Komprehensif
Makna Insan Indonesia Kompetitif
Cerdasspiritual
• Beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul.
Kompetitif
• Berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan
• Bersemangat juang tinggi
• Mandiri
• Pantang menyerah
• Pembangun dan pembina jejaring
• Bersahabat dengan perubahan
• Inovatif dan menjadi agen perubahan
• Produktif
• Sadar mutu
• Berorientasi global
• Pembelajar sepanjang hayat
Cerdasemosional & sosial
• Beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya.
• Beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang:
– membina dan memupuk hubungan timbal balik;
– demokratis;
– empatik dan simpatik;
– menjunjung tinggi hak asasi manusia;
– ceria dan percaya diri;
– menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara; serta
– berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara.
Cerdasintelektual
• Beraktualisasi diri melalui olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
• Aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif.
Cerdaskinestetis
• Beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insan yang sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil, dan trengginas.
• Aktualisasi insan adiraga.
MISI PENDIDIKAN
MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG MAMPU MEMBANGUN INSAN INDONESIA CERDAS KOMPREHENSIF DAN KOMPETITIF.
1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
5. Jelaskan posisi pendidikan Indonesia dalam kompleksitas
JAWABANKOMPLEKSITAS persoalan dunia pendidikan pada negara-negara dunia ketiga, sepertinya statis dari waktu ke waktu. Demikian halnya yang terjadi di Indonesia, persoalan pendidikan belum beranjak menuju perubahan yang cukup signifikan. Orientasi pendidikan tetap menjadi perdebatan klasik dan selalu dipertanyakan. Sistem pendidikan yang ada di negara-negara berkembang pada umumnya memang merupakan gambaran dari kondisi sosial ekonomi serta politik bangsanya, demikian halnya yang terjadi di Indonesia. Bahkan bila kita mencermati terminologi Clifford Geertz, dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia sedang mengalami involusi. Manusia-manusia Indonesia yang bergulat dalam bidang pendidikan bukan makin cerdas, berwawasan luas, berdedikasi, kreatif, jujur dan adil atau beretos kerja tinggi. Pendidikan di Indonesia, dalam waktu yang lama, mengalami kemunduran, mengerut atau mungkret.Sedangkan menurut Suparinah Sadli, psikolog UI, perbaikan pendidikan yang selama ini kita lakukan terasa hanya tambal sulam. Kita belum menyentuh masalah yang prinsip, yakni masalah-masalah yang harus diperbaharui. Kita seakan-akan hanya jatuh cinta pada hal-hal baru, tetapi tidak membuat perbaikan, mulai dari masalah-masalah yang mendasar (Prisma 2, 1981).
Pendidikan diyakini sebagai instrumen untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Meminjam istilah Paulo Freire, “Sebagai sarana penyadaran manusia pada realitas kediriannya”. Pendidikan pun diyakini dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan dan status sosial seseorang. Pada perjalanannya, pendidikan terus menerus mengalami devolusi berkaitan dengan kepentingan konstelasi ekonomi politik (economic political interest) yang dikenal dengan globalisasi.
Dominasi globalisasi dalam penciptaan kapitalisme pendidikan di Indonesia nampak begitu jelas. Perguruan Tinggi Negeri harus didivestasikan (di-BHMN-kan). pengalokasian anggaran 20 persen bagi subsidi pendidikan oleh pemerintah, sampai sekarang belum terbukti. Bahkan yang terjadi adalah kenaikan biaya pendidikan yang memberatkan rakyat. Imbasnya, industrialisasi dan komersialisasi pendidikan pun terjadi. Pendidikan menjadi barang mahal, tak terjangkau oleh masyarakat bawah, bahkan pendidikan menjadi komiditas atau barang dagangan. Logikanya, siapa mampu membayar, dia yang akan menikmati dan mendapatkan pendidikan layak. Hanya mereka yang punya kapital besar (capital power) yang bisa mengenyam pendidikan.
Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Data yang dilaporkan oleh The World Economic Forum Swedia (2000), menyebutkan bahwa Indonesia hanya menempati urutan ke – 37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Masih dari lembaga yang sama, Indonesia hanya menjadi follower teknologi dari 53 negara di dunia.
Keadaan itu juga dipertegas oleh Balitbang (2003), bahwa dari 146.052 SD di Indonesia hanya delapan saja yang terakui dunia dalam kategori The Primary Years Program. Dari 20.918 SMP di Indonesia, ternyata juga hanya delapan yang terakui dunia dalam kategori The Middle Years Program, dan dari 8.036 SMA hanya tujuh sekolah saja yang terakui dunia dalam kategori The Diploma Program.
Dari data – data di atas, kita dapat mengetahui secara jelas ada masalah dalam sistem pendidikan Indonesia. Apa saja masalah – masalah itu?
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Seperti yang kita ketahui, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedung – gedungnya telah rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap dan banyak yang rusak, laboratorium tidak standar, serta pemakaian teknologi informasi tidak memadai. Bahkan yang lebih parah, masih banyak sekolah kita yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, dan tidak memiliki laboratorium.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia sangat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk melaksanakan tugasnya sebagaimana tertuang dalam pasal 39 UU No. 20/2003, yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian, dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia dinyatakan tidak layak mengajar. Hal itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu, yang tingkat berpendidikan hanya sampai SPG (SMA) atau berpendidikan diploma D2 ke bawah.
Walaupun guru bukan satu – satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tetapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, guru memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yan menjadi tanggung jawabnya.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai andil dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Menurut FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan sebesar Rp 3.000.000. Tetapi lihatlah kenyataan sekarang, rata – rata gaji guru PNS Rp 1.5000.000, guru bantu Rp 460.000, dan guru honorer rata – rata Rp 10.000 per jam. Dengan pendapatan seperti itu, banyak guru yang melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, membei les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang buku/LKS, pedagang ponsel dan pulsa, pedagang mie rebus, dan sebagainya.
Keadaan yang seperti itu juga mempunyai andil untuk mempengaruhi kualitas seorang guru. Bayangkan, seandainya guru – guru di Indonesia telah sejahtera, maka mereka akan benar – benar memusatkan segala aktivitasnya untuk melaksanakan tugasnya.
4. Mahalnya Biaya Pendidikan
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada kenyataannya lebih dimaknai untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan bagian MBS selalu diisyaratkan dengan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha mempunyai akses atas modal yang besar dan luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah/Dewan Pendidikan terbentuk, segala jenis pungutan uang sekolah berkedok "sesuai keputusan Komite Sekolah". Namun, peda tingkat implementasi, pungutan tersebut tidak transparan, karena yang dipilah menjadi anggota dan pengurus Komite Sekolah/Dewan Pendidikan adalah orang – orang yang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan hanya menjadi legitimator kebijaksanaan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legimitasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tidak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Sebesar 35 – 40 % dari APBN setiap tahunnya dialokasikan untuk membayar utang, dan hal tersebut merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga menjadi 8% saja.
Koordinator LSM Education Network for Justice, Yanti Mukhtar menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti pemerintah telah melegitimasi komersialisme pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab pendidikan ke pasar. Dengan begitu, sekolah akan memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu akan mematok biaya setinggi – tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu, di samping alasan – alasan lain. Akibatnya, rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan yang berkualitas akan terbatasi.
Seperti yang dituturkan pengamat ekonomi, Revrisond Bawsir, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah lama dirancang oleh negara – negara donor lewat Bank Dunia.
Jika alasan pendidikan bernutu itu harus mahal, maka argumen itu hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan negara – negara berkembang lainnya, banyak sekolah – sekolah bermutu namun biaya pendidikan rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak harus murah atau gratis, persoalannya adalah siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Tetapi pada kenyataannya, pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Pedahal keterbatasan dana bukan alasan bagi pemerintah untuk "cuci tangan".
Diakui atau tidak, krisis multidimensional yang melanda negeri ini membuka mata kita terhadap mutu pendidikan manusia Indonesia. Pun dengan sumber daya manusia hasil pendidikan yang ada di negeri ini. Memang, penyebab krisis itu sendiri begitu kompleks. Namun tak dipungkiri bahwa penyebab utamanya adalah sumber daya manusia itu sendiri yang kurang bermutu. Jangan harap bicara soal profesionalisme, terkadang sikap manusia Indonesia yang paling merisaukan adalah seringnya bertindak tanpa moralitas.
Dalam sebuah penelitian, diuangkapkan bahwa produktivitas manusia Indonesia begitu rendah. Hal ini dikarenakan kurang percaya diri, kurang kompetitif, kurang kreatif dan sulit berprakarsa sendiri (=selfstarter, N Idrus CITD 1999). Tentunya, hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down, dan yang tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas.
Dalam sebuah seminar yang bertajuk “Seminar Nasional Kualitas Pendidikan dalam Membangung Kualitas Bangsa” salah satu pembicaranya yakni Drs Engkoswara, M.Pd., dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, menegaskan bahwa, memang dewasa ini, sepertinya pendidikan seakan mengalami kemajuan dengan pertumbuhan sarjana, pascasarjana hingga doktor di berbagai bidang dan munculnya gedung-gedung sekolah hingga perguruan tinggi yang cukup mewah. Sayangnya, hingga kini pendidikan tidak bisa diakses secara merata oleh penduduk Indonesia.
Seiring dengan itu, tokoh cendikiawan muslim, Nurcholis Madjid mengakui bahwa, di Amerika, Jepang dan negara-negara lain baik di Asia dan Eropa, perkembangan pendidikan hampir merata. Sebab, anggaran yang dialokasikan ke pendidikan besar dan berjalan lancar. Tentu saja, pendapat ini tidak begitu saja dilontarkan. Menurutnya, paling tidak 65% penduduk Indonesia berpendidikan SD, bahkan tidak tamat. Selain itu kualitas pendidikan di negara ini juga dinilai masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Tak heran jika Indonesia hanya menempati urutan 102 dari 107 negara di dunia dan urutan 41 dari 47 negara di Asia.
Cak Nur –panggilan akrab sang profesor— menegaskan dalam laporan statistik, penyandang gelar doktor (S3) di Indonesia sangat rendah. Dari satu juta penduduknya, yang bergelar S3 (diraih secara prosedur) hanya 65 orang. Amerika dari satu juta penduduknya, 6.500 orang bergelar S3, Israel 16.500, Perancis 5000, German 4.000, India 1.300 orang. Semua itu hasil dari pendidikan yang bermutu. Bolehlah kita berkaca pada Korea Selatan. Negara ini memberikan prioritas untuk majukan pendidikan. Pengadaan sandang, pangan dan papan perlu tapi pembangunan pendidikan jangan sampai dianaktirikan. Kemajuan sebuah negara sangat ditentukan tingkat pendidikan sumber daya manusianya. Contoh lainnya, Malaysia yang pada tahun 1970-an, masih mengimpor tenaga pengajar dari Indonesia. Kini, pendidikan di Malaysia jauh di atas Indonesia. Mengapa? Pemerintahnya memberikan perhatian yang sangat serius. Tidak seperti di Indonesia, pendidikan kurang diperhatikan
Memang, tak dipungkiri kalau lulusan dari lembaga pendidikan di Indonesia kurang relevan dengan kebutuhan tenaga yang diperlukan, sehingga hasilnya kurang efektif dan mendorong terjadinya pengangguran intelektual. Permasalahan masih ditambah lagi dengan minimnya fasilitas pendidikan yang memadai.
Hal ini dipertegas lagi dengan pernyataan Rektor UPI, Prof Dr M Fakry Gaffar yang mengatakan bahwa universitas atau perguruan tinggi di Indonesia belum memiliki kemampuan untuk ”bertarung” dalam persaingan global. Karena itu, produk pendidikan negara ini masih kesulitan untuk bersaing dengan produk pendidikan negara lain. Namun, rendahnya kualitas itu tidak semata-mata karena sistem pendidikannya. Siswa atau mahasiswa Indonesia pun kurang memiliki upaya dan daya juang. Begitu pula dengan kurangnya akses masyarakat pada pendidikan itu sendiri. Bisa dibayangkan di negeri ini terdapat, 80 juta usia 6-24 tahun yang menuntut kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Namun sayang jumlah sebanyak itu belum tertampung.
Paling tidak, untuk mengatasi masalah ini, menurut Engkoswara ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama adalah revitalisasi budaya bangsa. Artinya bangsa ini harus kembali berpedoman kepada Pembukaan UUD 1945, bahwa pendidikan adalah upaya utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbudaya, yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki semangat juang yang tinggi dan memiliki kreativitas pribadi yang terpuji. Kedua, mengenai manajemen pendidikan. Sistem pendidikan nasional yang disempurnakan dan disahkan pada 2003, implementasinya harus dilakukan dengan manajemen atau pengelolaan yang proporsional dan profesional, baik di tingkat makro maupun di tingkat mikro.
Lebih pada pelaksanaanya, Fakry mengajukan delapan poin paradigma pendidikan yang baru yakni openess and flexibility in learning, integrasi pendidikan ke dalam setiap aspek kehidupan manusia, responsif terhadap perubahan, total learning, learning strategies, teacher-student roles in leraning, ICT (information and communication technology) in learning process serta learning content and learning outcome.
Dengan delapan poin itu, paling tidak akan menjadi dasar agenda pendidikan ke depan yakni, pembahasan kurikulum, pembaruan dalam proses pembelajaran, pembenahan manajemen pendidikan nasional, pembenahan pengelolaan guru dan mencari serta mengembangkan berbagai sumber alternatif pembiayaan pendidikan.
Tentu saja semua itu tak lepas dari anggaran biaya. Dalam hal ini, anggaran pendidikan kudu memadai dan harus diupayakan secara sungguh-sungguh agar anggaran pendidikan negeri ini sekurang-kurangnya mencapai 20% dari APBN ataupun APBD. Dan yang paling penting adalah, lembaga pendidikan sebaiknya bebas pajak. Bahkan bila perlu ada pajak untuk pendidikan.
Menyikapi hal ini, Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo dalam sebuah pidatonya di acara peringatan Hari Pendidikan Nasional menegaskan sesuai Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa Pemerintah berkewajiban memenuhi hak setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan, memberdayakan dan memberadabkan kehidupan bangsa sesuai amanat konstitusi dan Undang-undang Sisdiknas, dalam rangka mentransformasikan Indonesia menuju peradaban modern yang canggih, madani dan unggul.
Sebagai wujud nyatanya, pemerintah telah mengupayakan secara terus menerus perluasan dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan agar memenuhi kebutuhan pengembangan masyarakat, dan pembangunan kepemerintahan yang baik atau good governance. Hal ini dituangkan dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional, untuk kurun waktu 2004 – 2009. Renstra ini merupakan acuan bagi seluruh jajaran penyelenggara pendidikan, baik pemerintah pusat maupun daerah, serta masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan pendidikan sampai dengan 2009.
Konon, rencana strategis ini disusun dengan mempertimbangkan aspek legalitas, aspek prioritas, aspek perimbangan kewenangan pusat dan daerah dan melalui proses identifikasi masalah terhadap kondisi nyata pendidikan dewasa ini, baik pusat maupun daerah, yang selanjutnya dirumuskan dalam prioritas kebijakan pembangunan untuk kurun waktu lima tahun ke depan.
Dan sudah 61 tahun merdeka, mampukah kualitas pendidikan dapat diandalkan? Jawabanya, kembali lagi, bahwa mutu pendidikan, Indonesia ketinggalan jauh, di banding dengan negara-negara tetangga. Tentu saja, merosotnya mutu pendidikan, tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. Selama ini dan cenderung masih berlangsung hingga sekarang, perhatian pemerintah untuk memajukan pendidikan kurang. Dan selagi pembangunan pendidikan ditempatkan diurutan ke sekian. Maka jangan berharap Indonesia mampu tampil di era globalisasi yang terus menggerus dunia ini.
LANGKAH PERBAIKAN
Mengingat kompleksitas masalah pendidikan dan urgensi perbaikan yang harus dilakukan segera, setidaknya ada beberapa langkah yang dapat dilakukan.
Pertama, perumusan secara jelas filosofi pendidikan. Ini akan menjadi kompas dalam menjalankan konsep dan praktik pendidikan sehari-hari. Selama puluhan tahun penyelenggaraan pendidikan, kita gamang dalam menerjemahkan konsep ke dalam praktik. Salah satu faktor determinan yang menyebabkannya adalah ketiadaan filosofi yang dapat dijadikan visi dalam mendidik siswa/mahasiswa seperti apa yang ingin dihasilkan. Pancasila sebagai dasar negara dan semangat batin (grundnorm) bangsa, patut untuk dijadikan sandaran perumusan filosofi pendidikan bangsa.
Penjabaran selanjutnya, semangat pendidikan pembebasan layak untuk dikaji dan dikembangkan secara konseptual. Semangat pembebasan mengandung makna perjuangan dalam penemuan dan penegakan kebenaran. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sarana untuk memajukan budaya dan peradaban manusia. Pendidikan yang membebaskan melakukan kajian dan refleksi keadaan lingkungannya, masyarakatnya, karena pendidikan pembebasan tidak mengalienasi (mengasingkan) kelas dari realitas. Pendidikan pembebasan menyiram kesadaran kritis kepada para peserta didiknya di tengah sistem sosial dan global yang eksploitatif terhadap kaum lemah.
Kedua, peserta didik dan pendidik adalah tokoh sentral dalam dunia pendidikan. Artinya, maju-mundurnya dunia pendidikan Indonesia sangat tergantung pada bagaimana kondisi dan kualitas dari peserta didik dan pendidiknya. Untuk itu, pembicaraan dan pembuatan kebijakan mengenai pendidikan haruslah melibatkan dan menempatkan subjek pendidikan ini dalam porsi yang sepantasnya. Jangan sampai subjek pendidikan, yaitu peserta didik dan pendidik justru dijadikan objek, seperti yang kerap terjadi selama ini. Selain itu, relasi dosen-mahasiswa/guru-murid, sebagai sesama subjek pendidikan, sepantasnya berada dalam iklim egaliter yang proporsional. Dengan demikian, diperlukan suatu usaha kolaboratif berbagai pihak untuk bersama-sama melakukan transformasi relasi akademis mereka agar menjadi lebih demokratis.
Ketiga, pendidikan haruslah bersifat sosial. Hal ini mengandung dua makna, pertama pendidikan tidak bisa dilepaskan dari wacana masalah-masalah sosial yang berkembang dalam masyarakat. Sepatutnya dunia pendidikan senantiasa mengetengahkan persoalan-persoalan sosial di tengah di ruang-ruang kelas. Para dosen-mahasiswa, guru-murid, jadi terkondisikan untuk memahami berbagai persoalan masyarakat dan lingkungannya, sekaligus termotivasi untuk mencari solusi dengan menggunakan ilmu yang dimilikinya.
Makna kedua, dunia pendidikan, terutama dunia pendidikan tinggi, tetap memiliki tanggung jawab sosial kepada nasib masyarakat dan bangsanya. Ini merupakan antitesa dari mainstream pendidikan, yang merupakan imbas dari pendidikan ala orde baru, melepaskan masalah pendidikan dari persoalan sosial politik. Akibatnya, pendidikan menjadi ahistoris. Kebenaran ilmiah menjadi steril, diterima sebagaimana adanya, sebagai sesuatu yang sudah tidak dapat diperdebatkan lagi. Jika ini dibiarkan terus, dunia pendidikan tetap akan menjadi menara gading yang berjarak dengan realitasnya.
Alih-alih teori-teori sosial dapat progresif dan solutif, dalam menara gading kaum intelektual sebenarnya tidak tahu persis seperti apa situasi-kondisi dan problematika masyarakat. Pendidikan telah menjadi bagian dari main problem itu sendiri. Kita menyaksikan bagaimana proses dehumanisasi, konflik sosial, dominasi dan kekerasan berbasis gender, berbagai bentuk diskriminasi rasial dan keyakinan agama, marginalisasi terhadap kaum miskin dan kaum pinggiran, penggusuran kaum miskin, serta berbagai bentuk ketidakadilan sosial lainnya. Ironisnya, ilmu-ilmu sosial bahkan tak sanggup berbuat apa-apa ketika di depan mereka terjadi kejahatan terhadap anak-anak, jumlah anak yang dilacurkan meningkat, jumlah anak yang terlempar dari pendidikan melonjak. Ilmu-ilmu sosial seperti tidak peduli dan menjadi tidak relevan terhadap berbagai proses dehumanisasi yang justru semakin meningkat.
Keempat, pembangunan pendidikan jangka panjang. Harus disadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi yang buahnya tidak bisa langsung dipetik esok hari. Persoalan bangsa ini adalah tidak terbiasa untuk berpikiran strategis dan tidak terbiasa konsisten dalam menjalankan kebijakan-kebijakan perencanaannya. Pembangunan pendidikan jangka panjang dan konsistensi dalam menjalankannya cukup menjelaskan mengapa kondisi Malaysia saat ini mulai berlari meninggalkan Indonesia, padahal pada tahun 70-an mereka masih belajar dari universitas-universitas kita. Untuk itu, kita harus bekerja keras dalam merumuskan perencanaan strategis pendidikan yang baik dan matang dalam jangka waktu 20-30 tahun ke depan dan konsisten menjalankannya. Itu semua harus diawali dengan perumusan filosofi pendidikan sebagai landasan yang jelas dan kokoh sehingga dapat menentukan arah pendidikan yang mau dituju secara jelas dan terarah.
Kelima, inovasi dalam bidang pendidikan yang melibatkan :
1. Guru Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai. Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam proses pendidikan seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan tata usaha serta masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri. Dengan demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini seperti diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai dokter, sebagi motivator dan lain sebagainya. (Wright 1987)
2. Siswa Sebagai obyek utama dalam pendidikan terutama dalam proses belajar mengajar, siswa memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses belajar mengajar, siswa dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan intelegensia, daya motorik, pengalaman, kemauan dan komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa terjadi apabila siswa juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan, walaupun hanya dengan mengenalkan kepada mereka tujuan dari pada perubahan itu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, sehingga apa yang mereka lakukan merupakan tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan dengan konsekwen. Peran siswa dalam inovasi pendidikan tidak kalah pentingnya dengan peran unsur-unsur lainnya, karena siswa bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran pada sesama temannya, petunjuk, dan bahkan sebagai guru. Oleh karena itu, dalam memperkenalkan inovasi pendidikan sampai dengan penerapannya, siswa perlu diajak atau dilibatkan sehingga mereka tidak saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga mengurangi resistensi seperti yang diuraikan sebelumnya.
3. Kurikulum Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi kurikulum sekolah meliputi program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh karena itu kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pelaksanaan inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama dengan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa mengikuti program-program yang ada di dalamya, maka inovasi pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pembahruan pendidikan, perubahan itu hendaknya sesuai dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti dengan pembaharuan pendidikan dan tidak mustahil perubahan dari kedua-duanya akan berjalan searah.
4. Fasilitas Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak bisa diabaikan dalam dalam proses pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam pembahruan pendidikan, tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Fasilitas, terutama fasilitas belajar mengajar merupakan hal yang esensial dalam mengadakan perubahan dan pembahruan pendidikan. Oleh karena itu, jika dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan, fasilitas perlu diperhatikan. Misalnya ketersediaan gedung sekolah, bangku, meja dan sebagainya.
5. LingkupSosialMasyarakat. Dalam menerapakan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak, baik positif maupun negatif, dalam pelaklsanaan pembahruan pendidikan. Masyarakat secara tidak langsung atau tidak langsung, sengaja maupun tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa melibatkan masyarakat sekitarnya, inovasi pendidikan tentu akan terganggu, bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu atau dilibatkan. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan sebaliknya akan membantu inovator dan pelaksana inovasi dalam melaksanakan inovasi pendidikan.
6. Komponen-komponen pendidikan sangat penting , mengapa, bagaimana kedudukannya dan solusinya
JAWABAN
Komponen-komponen pendidikan, terutama jika hal tersebut diterapkan dalam satuan pendidikan, adalah bagian dari system persekolahan yang saling terkait dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Komponen-komponen tersebut secara umum terdiri dari :
a. Perencanaan dan evaluasi pendidikan
Tingkat Satuan pendidikan diberikan kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu satuan pendidikan.
Satuan pendidikan diberikan wewenang untuk melakukan evaluasi khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal, yang dilaksanakan oleh warga untuk memantau proses pelaksanaan dan mengevaluasi hasil dari program yang telah dilaksanakan.
b. Kurikulum
Kurikulum yang berlaku saat ini, adalah Kurikulum satuan Pendidikan ( KTSP ) dengan rambu-rambu yang diberikan BSNP dan berlaku secara nasional. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Panduan pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk :
(a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
(b) belajar untuk memahami dan menghayati,
(c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
(d) belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan
(e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
c. proses belajar mengajar
Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama satuan pendidikan. Satuan Pendidikan diberi kebebasan memilih strategi, metoda dan teknik-teknik pembelajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik pelajaran, siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di satuan pendidikan.
d. Ketenagaan
Pengelolaan ketenagaan ( tenaga pendidik dan tenaga kependidikan ) mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekruietmen, pengembangan, reward dan funishment, hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja dapat dilakukan oleh satuan pendidikan, kecuali yang menyangkut upah/gaji
e. sarana/prasaran pendidikan
Pengelolaan dan kegiatan perawatan preventif sarana/prasarana pendidikan mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan sampai pengembangan dilakukan oleh satuan pendidikan, karena yang paling mengetahui kebutuhan sarana/prasarana, baik kecukupan, kesesuaian maupun kemutakhirannya adalah satuan pendidikan itu sendiri
f. pembiayaan/keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan anggaran sudah sepantasnya dilakukan oleh satuan pendidikan. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa Satuan pendidikanlah yang paling memahami kebutuhannya sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan anggaran sudah seharusnya dilimpahkan ke satuan pendidikan. Satuan Pendidikan juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menghasilkan penghasilan, sehingga tidak tergantung pada pemerintah
g. Pelayanan siswa/kesiswaan
Pelayanan siswa,mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan atau memasuki dunia kerja didesentralisasikan kepada satuan pendidikan dengan intensitas yang lebih tinggi
h. Hubungan sekolah dan masyarakat
Esensi hubungan satuan pendidikan dengan masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan financial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan tersebut adalah hubungan yang intensif dan kemitraan
i. Budaya/iklim sekola
Budaya sekolah/iklim sekolah yang kondusif, merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses pembelajaran yang efektif. Lingkungan yang aman dan tertib, optimism dan harapan ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah contoh-contoh budaya sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa.
Masing-masing komponen pendidikan tersebut, kedudukan, fungsi, peran dan berbagai solusinya saling terkait, tidak dapat dipisahkan, dan direkat dalam sebuah kopling renggang pendidikan. Konsep “coupling renggang” pada awalnya dikemukakan Karl Weick (Hall & Hord, 2006). Coupling dimaksud adalah pengikat antara satu komponen dengan komponen lain yang saling bergantung dan terhubung dalam suatu sistem,semisal system pendidikan.
Dalam argumen Weick, ada bagian atau komponen tertentu yang terikat kuat dalam sebuah sistem, dan kadang ditemukan coupling merenggang akibat aus setelah dipakai atau pengikatannya yang belum kuat. Coupling yang renggang bila terkadi pada mesin kendaraan akan berbahaya bagi perputaran mesin kendaraan tersebut, yang selanjutnya membahayakan orang-orang yang mengendarainya.
Sebagaimana dalam sistem kerja mesin kendaraan, sistem kerja pendidikan juga mengalami hal yang sama. Maksudnya, kalau sistem mesin bisa merenggang coupling-nya, dalam sistem pendidikan bisa juga terjadi. Kalau kerenggangan coupling pada mesin kendaraan dapat menimbulkan bahaya, maka kerenggangan pada coupling komponen-komponen dalam sistem pendidikan lebih-lebih lagi. Pasalnya, sistem mesin kendaraan hanya membawa sejumlah penumpang, seperti jumlah penumpang pesawat yang hanya puluhan atau ratusan. Namun sistem pendidikan membawa banyak orang dalam suatu wilayah atau bahkan negara. Lantas, bagaimana dengan coupling komponen-komponen sistem pendidikan kita saat ini? Adakah terjadi kerenggangan coupling-nya? Bagaimanakah memperbaiki kerenggangan itu agar tidak membahayakan para “penumpang” yang mengendarai sistem pendidikan kita? Untuk menjawab pertanyaan itu, pertama sekali perlu mengurut komponen pendidikan, baik komponen utama maupun komponen tambahan, dari sistem pendidikan kita. Dalam sistem pendidikan kita, cukup banyak komponennya, baik pada level makro maupun level mikro. Pada level makro, misalnya, ada komponen-komponen berupa visi pendidikan, standard, kebijakan pemerintah terhadap pendidikan, dan lain-lain. Karena komponen itu diputuskan dengan melibatkan banyak komponen antara lain, pihak eksekutif dan legislatif, maka mereka juga termasuk komponen yang mempengaruh couplingpendidikan. Sedangkan pada level mikro adalah komponen-komponen pendidikan yang terlibat dalam implementasi program pendidikan di lapangan. Guru, kepala sekolah, kurikulum, biaya, masyarakat dan fasilitas adalah komponen utama yang berada pada levelini.
Kalau dicermati saat ini, tidak sedikit coupling komponen itu mengalami kerenggangan di berbagai level. Sebagai contoh, antara pihak Pemerintah dengan pihak legislatif belum memiliki komitmen kuat untuk mewujudkan dana pendidikan sebagaimana diundang-undangkan sebanyak 20 persen. Nasib serupa dialami UU no. 14/2005 tentang sertifikasi guru. Hal ini menandakan renggangnya coupling dalam bentuk komitmen pada level makro. Lemahnya coupling pada level makro tersebut berimplikasi pada lemahnya level mikro.
Proses penyelenggaraan pendidikan dengan dana terbatas menjadi tidak seperti diharapkan. Pendidikan dilaksanakan apa adanya, untuk tidak menyebutkan asal jalan saja. Pelaksanaan kurikulum, misalnya, terhambat oleh ketidakcukupan fasilitas pendukungnya, seperti koleksi perpustakaan, kemampuan guru yang sinkron dengan kurikulum, dan sebagainya. Akibatnya, banyak pihak mengambinghitamkan kurikulum ketika tak tercapai seperti yang diharapkan. No child left behind
Kenyataan di Indonesia mengingatkan akan Undang-Undang NCLB (No Child Left Behind) pada waktu pertama sekali diimplementasikan di Amerika Serikat tahun 2002. Tingginya ekspektasi dari pemberlakuan UU yang didelegasikan oleh Pemerintah Federal itu, membuat para guru mengeluh. Sampai ada yang memplesetkan NCLB menjadi No Cow Left Behind. Namun Pemerintah Amerika Serikat sudah memperkirakan akan timbul masalah-masalah demikian pada tahap implementasi NCLB. Makanya berbagai respon sudah disiapkan sebagai bentuk tanggung jawabnya. Anggaran dikucurkan pada jumlah memadai untuk membantu pelaksanaannya, setelah mendapat persetujuan para anggota dewan. Sekolah diwajibkan untuk memberikan kepastian agar setiap anak benar-benar belajar. Guru diberikan tunjangan tambahan dan fasilitas pendukung lainnya pada level memadai. Orangtua (wali murid) diberikan informasi secara terus-menerus dan ditawarkan pilihan jika anak-anak mereka membutuhkan les tambahan gratis. Jadi semua pihak dilibatkan secara intensif untuk mewujudkan ekspektasi dari NCLB. Setelah beberapa tahun diterapkan dengan segenap kerja serba ekstra, barulah guru-guru menyadari dampak positif dari pelaksanaan NCLB tersebut. Hasil-hasil penelitian tentang implementasi NCLB menunjukkan bahwa betapa banyak siswa meningkat prestasinya (US. Department of Education, 2007). Termasuk juga para siswa dari kalangan minoritas dan yang sebelumnya dianggap “bermasalah” dalam belajar. Nampak sekali betapa kuatnya coupling antar komponen dari berbagai level dalam pendidikan mereka.
Kalau membandingkan dengan cara kerja di negeri kita, pastilah banyak orang menangkis dengan jurus klasik; “jangan bandingkan dengan negara maju.” Padahal di sisi lain, kita ingin maju dan cara-cara demikian bisa dilakukan. Syaratnya, coupling semua komponen dalam sistem pendidikan kita dipererat
7. Jelaskan kewenangan dan tanggung jawab secara makro, messo dan mikro perihal ketenagaan dan pendanaan pendidikan
JAWABAN
Kebijakan Otonomi Daerah dimaksudkan untuk mencapai sasaran-sasaran; peningkatan pelayanan publik melalui pengembangan kreativitas masyarakat dan aparat daerah, kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan, menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dan menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah. Otonomi daerah merupakan cerminan dari; demokratisasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, yang disesuaikan dengan potensi dan keanekaragaman Daerah. Ditandai oleh perubahan mendasar dari pemerintahan yang sentralistik-otoriter-birokratik yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun ke pemerintahan yang partisipatoris-demokratik.
Sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat plural dan dengan kemampuan SDA dan SDM yang beraneka perbedaan antara satu daerah dengan lainnya memerlukan usaha besar dan waktu panjang untuk mewujudkan otonomi daerah.
Kewenangan pemerintah
Pemerintah pusat mempunyai kewenangan (yang masih sentralistik) di bidang; politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama [ UU No: 22/1999 pasal 7(1)] serta kewenangan dalam; perencanaan nasional dan pembangunan makro, dana perimbangan, pembangunan dan pemberdayaan SDM, pemberdayaan SDA, teknologi tinggi yang strategis, dan konservasi dan standarisasi nasional [UU No: 22/1999 pasal 7(2)].
Pemerintah berperan pula menfasilitasi penyelenggaraan otonomi daerah dengan; mengeluarkan pedoman, memberikan bimbingan, mengadakan pelatihan, memberikan arahan dan melakukan supervisi [UU No: 22/1999 pasal 112] serta mengawasi dan membatalkan peraturan daerah dan keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan yang lebih tinggi atau peraturan perundangan lainnya [ UU No: 22/1999 pasal 114].
Pemerintah propinsi mempunyai kewenangan pemerintah lintas Kabupaten/Kota serta; perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang tertentu, alokasi SDM potensial, penelitian yang mencakup wilayah propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang, budaya dan pariwisata, penanganan penyakit menular, hama tanaman dan perencanaan tata ruang propinsi [ UU No: 22/1999 pasal 9(1)].
Pemerintah propinsi dapat melaksanakan kewenangan wajib yang belum dapat dilaksanakan Kabupaten/Kota setelah ada pernyataan Kabupaten/Kota dan kewenangan wajib tertentu Kabupaten/Kota dengan kesepakatan antara Kabupaten/Kota dengan Propinsi [UU No: 22/1999 pasal 9(2)].
Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah [UU No: 22/1999 pasal 9(3)], termasuk kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah [UU No: 22/1999 pasal 1(k)].
Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan selain yang diatur dalam pasal 7(1), (2), dan pasal 9 [ UU No:22/1999, pasal 11(1)] yang telah dirinci dalam PP 25/tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah Kabupaten/Kota meliputi; pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi, dan tenaga kerja [ UU No:22/1999 pasal 11(2)].
Realitas otonomi daerah
Kewenangan yang lebih besar di daerah yang disertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM [UU No:22/ 1999 pasal 8 (1)], telah diikuti langkah-langkah penataan; kewenangan, kelembagaan, personil, dokumen dan arsip, keuangan dan aset, dan peningkatan kapasitas lembaga daerah. Tim Koordinasi (instansi) Pusat yang semula diatur dalam Kepres 52/tahun 2000, telah disempurnakan dengan Kepres 157/tahun 2000 tentang pembentukan Tim Kerja Pusat implementasi UU No: 22/1999 dan UU No; 25/1999 Tim Kerja Pusat Kepres 157 merupakan cross functional team yang mempunyai tugas dan tanggung jawab besar dalam penataan instrumen otonomi daerah serta mengawasi dan mengusulkan pembatalan perda dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan lainnya.
Sementara Tim Kerja Pusat Kepres 157 berkonsentrasi pada penataan instrumen otonomi, justeru penyelenggaraan otonomi di daerah terkendala oleh masih adanya kewenangan yang belum sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh daerah. Kekurangan tersebut tidak selayaknya direspon dengan upaya menarik kewenangan tersebut ke pemerintah yang lebih tinggi, tapi dengan memfasilitasi daerah dalam penyelenggaraan otonomi. Masih banyak Departemen/LPND yang belum menindaklanjuti amanat UU No:22 tahun 1999 pasal 112 menyiapkan; pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, supervisi. Tim Kerja Pusat Kepres 157, masih memerlukan banyak pembenahan dalam mengkoordinasikan Departemen/LPND menyiapkan instrumen pembinaan
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
1. Pendahuluan
Implementasi otonomi daerah yang direncanakan akan mulai diberlakukan pada tahun 2001 mengacu pada dua UU, yaitu: UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah.
Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang termasuk sektor pelayanan dasar ng akan mengalami perubahan secara mendasar dengan akan dilaksanakannya
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, baik dari segi birokrasi kewenangan
penyelenggaraan pendidikan maupun dari aspek pendanaannya. Sebelum PP tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah secara resmi diberlakukan pemerintah, maka antisipasi implikasi otonomi daerah terhadap sektor pendidikan hanya dapat dilakukan dengan mengacu pada UU nomor 22 dan 25 tahun 1999. Tulisan singkat ini bertujuan untuk mengkaji implikasi implementasi UU Pemerintahan Daerah dan UU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah terhadap Desentralisasi Pendidikan dengan membahas: pertama, prinsip-prinsip desentralisasi pendidikan serta bagaimana proses desentralisasi dapat mempengaruhi faktor-faktor yang akan menentukan efektifitas sekolah, dan kedua, implikasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal terhadap desentralisasi pendidikan di Indonesia.1 1 Pembahasan pendidikan dalam tulisan ini dibatasi pada tingkat pendidikan: SD, SLTP dan SLTA, dan tidak termasuk jenjang pendidikan Perguruan Tinggi.
2. Prinsip-prinsip Desentralisasi Pendidikan2
Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu: pertama,
desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan distrik), dan kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin, di Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan Sekolah. Implisit ke dalam strategi desentralisi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan yang berasal yang pemerintah dan masyarakat).
Dilain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut, maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi proses belajarmengajar.
Partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah satu faktor yang paling menentukan. Dalam kenyataannya, desentralisasi pendidikan yang dilakukan di banyak Negara merupakan bagian dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan dan tidak 2 Pembahasan mengenai konsep desentralisasi pendidikan berikut ini mengacu pada Burki, et. al. (1999), khususnya chapter 4: “Empowering Municipalities or Schools? The Decentralization of Education”.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan 3 sekedar merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi pendidikan akan meliputi suatu proses pemberian kewenangan yang lebih luas di bidang kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal dan pada saat yang bersamaan kewenangan yang lebih besar juga diberikan pada tingkat sekolah.
Tipologi Kewenangan-kewenangan Pendidikan yang Dapat Didesentralisasikan
Organisasi dan poses belajar
mengajar
Menentukan sekolah mana yang dapat diikuti seorang murid.
Waktu belajar di sekolah.
Penentuan buku yang digunakan.
Kurikulum.
Metode pembelajaran.
Manajemen guru Memilih dan memberhentikan kepala sekolah.
Memilih dan memberhentikan guru.
Menentukan gaji guru.
Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada guru.
Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada guru.
Struktur dan perencanaan Membuka atau menutup suatu sekolah.
Menentukan program yang ditawarkan sekolah.
Definisi dari isi mata pelajaran.
Pengawasan atas kinerja sekolah.
Sumber daya Program pengembangan sekolah.
Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga administratif (personnel).
Alokasi anggaran non-personnel.
Alokasi anggaran untuk pelatihan guru.
Dari pengalaman negara-negara maju (OECD) dan beberapa negara Amerika Latin yang telah melakukan desentralisasi pendidikan dapat ditarik suatu benang merah yang memberikan kesimpulan sebagai berikut. Di negara-negara yang tergabung dalam OECD, kewenangan-kewenangan dalam hal: penentuan buku pelajaran, metode pembelajaran, tanggung jawab dalam pelaksanaan rencana pengembangan sekolah cenderung berlaku di tingkat sekolah dan tidak tergantung pada tingkat desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan pengamatan di negara-negara Amerika Latin me nyimpulkan bahwa kewenangan dalam menentukan kurikulum inti tetap berada pada pemerintah pusat, demikian pula dengan kewenangan dalam melaksanakan ujian-ujian yang diberlakukan secara nasional. Kesimpulan ini berlaku secara umum di negara-negara Amerika Latin, dan tidak tergantung pada tingkat desentralisasi dalam penyelenggaran pemerintahan dari masing-masing negara.
Desentralisasi pendidikan yang terjadi di negara-negara Amerika Latin tersebut
merupakan bagian dari desentralisasi politik dan fiskal penyelenggaraan pemerintahan, dari sistem pendidikan yang sentralistik ke sistem yang memberikan kewenangan lebih besar pada pemerintah daerah dan sistem yang melibatkan partisipasi masyarakat.
Desentralisasi pendidikan diharapkan akan mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan, meskipun studi empiris tentang hal ini di negara-negara Amerika Latin belum dapat dilakukan karena keterbatasan data, Salah satu cara dalam mempersiapkan desentralisasi pendidikan adalah dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar-mengajar, khususnya dari sekolah-sekolah unggulan. Mohrman and Wohlstetter, 1994; Creemers, 1994 and Darling-Hammond, 1997 seperti dikutip Burki, et.al., 1999 menyimpulkan
bahwa sekolah unggulan memiliki karakteristik-karakteristik: kepemimpinan yang kuat, staf pengajar dengan kualifikasi dan komitmen tinggi, fokus pada proses pembelajaran, dan bertanggung jawab terhadap hasil yang dicapai (lihat Tabel 2).
Proses desentralisasi sektor pendidikan yang meliputi pemberian kewenangan yang lebih besar ke pemerintah daerah dalam alokasi anggaran dan perencanaan pendidikan di daerah, serta pemberian kewenangan yang lebih besar pada sekolah dalam manajemen guru, pendanaan, pemilihan kepala sekolah manajemen proses belajar-mengajar diharapkan akan meningkatkan kualitas pendidikan.
3. Dari Sentralisasi Menuju ke Desentralisasi Pendidikan
Sistem pendidikan yang berlaku sampai saat ini bersifat sangat sentralistis, yang dimulai dari pemberlakuan satu kurikulum secara nasional, sampai dengan peranan pusat yang sangat dominan dalam pengelolaan guru (sekolah negeri). Misalnya, Pusat sangat dominan dan menentukan dalam setiap keputusan tentang proses rekrutmen, pengangkatan, penempatan, pembinaan dan mutasi guru. Demikian pula dari aspek keuangan. Gaji guru sekolah negeri ditetapkan dan dibayarkan pemerintah, meskipun gaji guru SD pengelolaannya dilaksanakan oleh Propinsi, sedangkan gaji guru SLTP dan SLTA langsung oleh Pusat melalui KPKN.
Dari segi dana di luar gaji yang dialokasikan pemerintah ke masing-masing sekolah,
diberikan dengan cara alokasi dana dari pusat ke daerah (kabupaten/kota) berdasarkan jumlah sekolah yang ada di daerah tersebut. Mekanisme alokasi dana dilakukan dengan perhitungan sejumlah dana yang sama untuk setiap sekolah berdasarkan jenjang pendidikan, tanpa memperhitungkan jumlah murid, lokasi ataupun tingkat kemakmuran ekonomi daerah tersebut. Cara seperti ini jelas mengandung banyak kelemahan, karena tidak memperhatikan sisi pemerataan (equity) dalam pengalokasian dana ke masingmasing sekolah.
Sejalan dengan proses desentralisasi yang segera akan diimplementasikan pemerintah melalui UU nomor 22 tahun 1999 dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota serta perimbangan keuangan pusat daerah sebagai berikut:
Kewenangan Pemerintah Pusat:
Melaksanakan kewenangan-kewenangan Pemerintah dalam bidang-bidangPertahanan/Keamanan, Politik Luar Negeri, Peradilan, Fiskal/Moneter, Agama serta kewenangan bidang Pemerintahan lainnya dan/atau Kebijakan Strategis yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Pemerintah Propinsi:
Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota yang menjadi tanggung jawab Propinsi, misalnya adalah kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan disamping kewenangan bidang pemerintahan
tertentu lainnya.
Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota:
3 Bidang lainnya yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah:
(i) Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan sektoral dan nasional secara makro; (ii) Kebijakan dana perimbangan keuangan; (iii) Kebijakan sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara; (iv) Kebijakan pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia; (v) Kebijakan pendayagunaan teknologi tinggi dan strategis, serta pemanfaatan kedirgantaraan, kelautan, pertambangan dan kehutanan/lingkungan hidup; (vi) Kebijakan konservasi; (vii) Kebijakan standarisasi nasional.
4. Kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya mencakup:
(i) Perencanaan pembangunan regional secara makro;
(ii) Pelatihan kejuruan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
(iii) Pelabuhan regional;
(iv) Lingkungan hidup;
(v) Promosi dagang dan budaya/pariwisata;
(vi) Penanganan penyakit menular dan hama tanaman;
(vii) Perencanaan tata ruang Propinsi.
Mencakup semua kewenangan Pemerintahan selain kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi. Secara eksplisit dinyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, pertanian, perhubungan, perdagangan dan industri, penanaman modal, lingkungan hidup, dan pertanahan.
Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah:
Di sisi fiskal, Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah menurut UU nomor 25 tahun 1999 (UU-PKPD) mengatur pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dengan mempertimbangkan aspek pemerataan antar daerah, potensi, kondisi, kebutuhan obyektif daerah serta tatacara pengelolaan dan pengawasan pelaksanaannya.
Sumber-sumber penerimaan daerah menurut UU-PKPD meliputi: (i). Pendapatan Asli Daerah (PAD); (ii). Dana Perimbangan; (iii). Pinjaman Daerah; (iv). Lain-lain
pendapatan yang sah. Daerah melaksanakan semua kewenangannya yang berkaitan
dengan desentralisasi dengan dibiayai dari anggaran daerah.
Penerimaan daerah yang berupa PAD masih mengacu pada UU nomor 18 tahun 1997
tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dana Perimbangan terdiri dari: bagian daerah atas hasil Sumber Daya Alam, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Dana Alokasi Umum merupakan transfer dari pusat ke daerah dalam bentuk block grant, dengan kriteria alokasi berdasarkan potensi ekonomi daerah dan kebutuhan obyektif daerah.
Penggunaan Dana Alokasi Umum diserahkan sepenuhnya pada daerah.
5. Dana Alokasi Umum (DAU):
- Berfungsi sebagai dana untuk pemerataan antar daerah.
- Besarnya DAU ditetapkan minimal 25% dari penerimaan dalam negeri APBN dengan pembagian 10% untuk propinsi dan 90% untuk kabupaten/kota.
- DAU untuk suatu Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan.
Porsi Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) merupakan proporsi bobot Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan terhadap jumlah semua Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan. Bobot daerah ditetapkan berdasarkan: kebutuhan wilayah otonomi daerah dan potensi ekonomi daerah.
Khusus merupakan transfer dari pusat ke daerah yang bersifat spesifik, yang
peruntukannya ditetapkan pusat.
6. Implikasi bagi Desentralisasi Pendidikan:
Implikasi otonomi daerah bagi desentralisasi pendidikan sangat tergantung pada
pembagian kewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Jika mengacu pada UU nomor 22 tahun 1999, maka kewenangan di sektor pendidikan yang terkait dengan (i) perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan sektoral dan nasional secara makro; (ii) kebijakan pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia; (iii) kebijakan standarisasi nasional akan ditangani pusat, lainnya akan ditangani daerah, khususnya daerah kabupaten/kota.
Masih belum jelas benar interpretasi pelaksanaan desentralisasi di bidang pendidikan dengan mengacu UU nomor 22 tahun 1999. Bagaimana dengan status kepegawaian guru, apakah tetap sebagai PNS nasional atau menjadi PNS daerah? Status guru sebagai PNS pusat atau daerah akan sangat berpengaruh pada alokasi anggaran, pembiayaan melalui APBN atau APBD. Implikasi lain dari status guru adalah fleksibilitas daerah dan sekolah dalam proses rekrutmen, pengangkatan, penempatan, mutasi, pemberhentian guru, serta evaluasi atas kinerja guru.
Dari aspek kurikulum, perlu kejelasan tentang kebijakan perumusan kurikulum, apakah hanya kurikulum inti yang akan ditetapkan oleh pemerintah pusat, sedangkan muatan lokal dalam persentase yang cukup signifikan diserahkan pada masing-masing daerah atau bahkan langsung pada masing-masing sekolah. Saat ini kurikulum sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat (Kurikulum 1994), dan daerah hanya dapat mengisi bagian kurikulum yang berupa muatan lokal dalam persentase yang sangat kecil.
Dana Alokasi Khusus (DAK):
- Dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu pembiayaan kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
- Kebutuhan khusus adalah: kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus DAU, dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional Misalnya: di Jawa Barat, muatan lokal kurikulum ditetapkan mata pelajaran bahasa Sunda dan Karawitan.
Mengenai alokasi dana dari pusat ke daerah, sampai saat ini belum ada kejelasan tentang perumusan alokasi DAU dan DAK ke daerah, apakah dana yang ditransfer pusat sebagai DAU sudah mencakup alokasi anggaran rutin dan pembangunan untuk sector pendidikan? Ataukah dana yang termasuk dalam transfer DAU hanya diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran non-personnel dari sektor pendidikan, karena Guru masih akan berstatus sebagai PNS Pusat? Hal-hal seperti ini akan sangat tergantung pada keputusan untuk tetap mempertahankan status guru sebagai PNS Pusat atau mendesentralisasikan pengelolaan guru kepada daerah sepenuhnya.
Demikian pula dengan alokasi DAK ke daerah, sektor prioritas apa saja yang masih diberikan DAK ke daerah, kriteria pengalokasiannya dan apakah sektor pendidikan termasuk sektor yang akan diberikan DAK, misalnya untuk daerah-daerah dengan pencapaian standar tingkat pendidikan dibawah rata-rata nasional.
Jika dana pendidikan untuk rutin (gaji guru) dan non-rutin ditransfer sepenuhnya ke daerah melalui mekanisme DAU, maka berapa besar yang akan dialokasikan ke sector pendidikan akan tergantung pada prioritas masing-masing daerah. Prioritas alokasi dana daerah selanjutnya tergantung pada pemerintah daerah dan DPRD setempat. Mengingat sektor pendidikan merupakan salah satu sektor pelayanan dasar, masih perlu adanya suatu ketentuan standar minimal pendidikan yang harus dicapai daerah, sehingga daerah memiliki acuan yang harus dicapai dalam perencanaan sektor pendidikan.
Pertanyaan terpenting tentang arah desentralisasi pendidikan adalah sampai seberapa jauh sekolah-sekolah akan diberi kewenangan yang lebih besar menentukan kebijakankebijakan:
organisasi dan proses belajar-mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan di tingkat sekolah, dan sumber-sumber pendanaan sekolah. Desentralisasi pendidikan yang efektif tidak hanya melibatkan proses pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih besar dari pusat ke daerah, tetapi juga meliputi pemberian kewenangan yang lebih besar ke sekolah-sekolah, sehingga mereka dapat merencanakan proses belajar-mengajar dan pengembangan sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing sekolah.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000
TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN
PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
a. Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman
pelaksanaannya.
b. Penetapan standar materi pelajaran pokok.
c. Penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik.
d. Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan .
e. Penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa.
f. Penetapan persyaratan pemintakatan/zoning, pencarian, pemanfaatan,
pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar
budaya serta persyaratan penelitian arkeologi.
g. Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum
nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, dan monumen yang
diakui secara internasional.
h. Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi
pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah.
i. Pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh serta
pengaturan sekolah internasional.
j. Pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota serta kewenangan dalam bidang
pemerintahan tertentu lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
(2) Kewenangan bidang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan
pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular dan hama tanaman dan perencanaan tata ruang Propinsi.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota, Propinsi dapat melaksanakan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.
(4) Kewenangan Kabupaten/Kota di bidang tertentu dan bagian tertentu dari kewenangan wajib dapat dilaksanakan oleh Propinsi dengan kesepakatan antar Kabupaten/Kota dan Propinsi.
(5) Kewenangan Propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikelompokkan dalam bidang sebagai berikut:
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
a. Penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat
minoritas, terbelakang, dan atau tidak mampu.
b. Penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan untuk
taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
luar sekolah.
c. Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan
kurikulum, akreditasi dan pengangkatan tenaga akademis.
d. Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi.
e. Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau penataran
guru.
f. Penyelenggaraan museum propinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan,
kajian sejarah dan nilai tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya
daerah.
PROGRAM DOKTOR (S3) MANAJEMEN PENDIDIKAN
( BAHAN URAT-ORET DAN TAMBAL SULAM )
1. Rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional adalah
a. Pemerataan dan peningkatan akses pendidikan
b. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing
c. Pednguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik
Jabarkan ditempat kerja saudara, strategi, target/sasaran dan program
JAWABAN
Kebijakan strategis yang disusun dalam rangka memperluas pemerataan dan akses pendidikan adalah sebagai berikut.
a. Memperluas akses bagi anak usia 0–6 tahun, baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai potensi yang dimiliki dan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan dalam mengikuti pendidikan di SD/MI.
b. Menghapus hambatan biaya (cost barriers) melalui pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) bagi semua siswa pada jenjang Dikdas baik pada sekolah umum maupun madrasah yang dimiliki oleh pemerintah atau masyarakat, yang besarnya dihitung berdasarkan unit cost per siswa dikalikan dengan jumlah seluruh siswa pada jenjang tersebut. Di samping itu, dilakukan kebijakan pemberian bantuan biaya personal terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin pada jenjang Dikdas melalui pemanfaatan BOS untuk tujuan tersebut. Secara bertahap BOS akan dikembangkan menjadi dasar untuk penentuan satuan biaya pendidikan berdasarkan formula (formula-based funding) yang memperhitungkan siswa miskin maupun kaya serta tingkat kondisi ekonomi daerah setempat.
c. Membentuk ”SD-SMP Satu Atap” bagi daerah terpencil yang berpenduduk jarang dan terpencar, dengan menambahkan ruang belajar SMP di SD untuk menyelenggarakan program pendidikan SMP bagi lulusannya. Untuk mengatasi kesulitan tenaga pengajar dalam kebijakan ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan guru SD untuk mengajar di SMP pada beberapa mata pelajaran yang relevan atau dengan meningkatkan kompetensi guru sehingga dapat mengajar di SMP. Selain itu, dilakukan upaya memaksimalkan fasilitas yang sudah ada, baik ruang kelas maupun bangunan sekolah dengan membuat jaringan sekolah antara SMP dengan SD-SD yang ada di wilayah layanannya (catchment areas) serta menggabungkan SD-SD yang sudah tidak efisien lagi.
d. Memperluas akses bagi anak usia sekolah 7–15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak/belum terlayani di jalur pendidikan formal untuk memiliki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan di jalur nonformal maupun program pendidikan terpadu/ inklusif bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus terutama untuk daerah-daerah yang tidak tersedia layanan pendidikan khusus luar biasa. Di samping itu, untuk memperluas akses bagi penduduk usia 13-15 tahun dikembangkan SMP Terbuka melalui optimalisasi daya tampung dan pengembangan SMP Terbuka model maupun melalui model layanan pendidikan alternatif yang inovatif.
e. Memperluas akses bagi penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan keaksaraan melalui jalur pendidikan nonformal. Perluasan kesempatan bagi penduduk buta aksara dilakukan dengan menjalin berbagai kerjasama dengan stakeholder pendidikan, seperti organisasi keagamaan, organisasi perempuan, dan organisasi lain yang dapat menjangkau lapisan masyarakat, serta PT.
f. Memfasilitasi peran serta masyarakat dalam memperluas akses sekolah menengah (SM), khususnya pada daerah-daerah yang memiliki lulusan SMP cukup besar. Di sisi lain, juga mengembangkan SM terpadu, yaitu pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan umum dan kejuruan dalam satu satuan pendidikan. Bagi siswa yang berkebutuhan khusus, dilakukan kebijakan strategis dalam melaksanakan program pendidikan inklusif.
g. Memperluas akses terhadap pendidikan di SMK sesuai dengan kebutuhan dan keunggulan lokal. Perluasan SMK ini dilaksanakan melalui penambahan program pendidikan kejuruan yang lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang berkembang. Di samping itu, dilakukan upaya penambahan muatan pendidikan keterampilan di SMA bagi siswa yang akan bekerja setelah lulus.
h. Memperluas daya tampung PT yang ada dengan memberikan fasilitasi pada perguruan tinggi untuk membuka program-program keahlian yang dibutuhkan masyarakat dan mengalihfungsikan atau menutup sementara secara fleksibel program-program yang lulusannya sudah jenuh.
i. Memperluas kesempatan belajar pada perguruan tinggi yang lebih dititikberatkan pada program-program politeknik, pendidikan tinggi vokasi dan profesi yang berorientasi lebih besar pada penerapan teknologi tepat guna untuk kebutuhan dunia kerja.
j. Memperluas kesempatan belajar sepanjang hayat bagi penduduk dewasa yang ingin meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan hidup yang relevan dengan kebutuhan masyarakat melalui program-program pendidikan berkelanjutan. Perluasan kesempatan belajar sepanjang hayat dapat juga dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai fasilitas pendidikan formal yang sudah ada sebagai bagian dari harmonisasi pendidikan formal dan nonformal.
k. Memperhatikan secara khusus kesetaraan gender, pendidikan untuk layanan khusus di daerah terpencil dan daerah tertinggal, daerah konflik, perbatasan, dan lain-lain, serta mengimplementasikannya dalam berbagai program secara terpadu.
l. Melaksanakan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), serta advokasi kepada masyarakat agar keluarga makin sadar akan pentingnya pendidikan serta mau mengirimkan anak-anaknya ke sekolah dan/atau mempertahankan anaknya untuk tetap bersekolah.
m. Melaksanakan advokasi bagi pengambil keputusan, baik di eksekutif maupun legislatif dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada pembangunan pendidikan.
n. Memanfaatkan secara optimal sarana radio, televisi, komputer dan perangkat TIK lainnya untuk digunakan sebagai media pembelajaran dan untuk pendidikan jarak jauh sebagai sarana belajar alternatif selain menggunakan modul atau tutorial, terutama bagi daerah terpencil dan mengalami hambatan dalam transportasi, serta jarang penduduk.
Kebijakan untuk pemerataan dan perluasan akses pendidikan dilakukan melalui penguatan program-program sebagai berikut:
1. Pendanaan biaya operasi Wajar Dikdas 9 Tahun; adalah kebijakan yang menempati urutan prioritas tertinggi dalam lima tahun ke depan. Hal ini sudah menjadi komitmen nasional seperti yang tertera pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. BOS dimaksudkan untuk menutup biaya minimal operasi pembelajaran yang secara minimal memadai untuk menciptakan landasan yang kokoh bagi upaya peningkatan mutu secara berkelanjutan. Dengan kebijakan BOS tersebut, pemerintah akan mewujudkan “pendidikan dasar gratis”, yang diartikan sebagai bebas biaya secara bertahap.
2. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan wajar; merupakan kebijakan strategis berikutnya, yang akan dilakukan untuk mendukung perluasan akses dikdas dalam program Wajar Dikdas. Penyediaan sarana/prasarana SD/MI/sederajat mencakup penambahan sarana untuk pendidikan layanan khusus dan rehabilitasi serta revitalisasi sarana/prasarana yang rusak. Untuk SMP/MTs/sederajat, kegiatan ini diarahkan untuk membangun unit sekolah baru (USB), ruang kelas baru (RKB), laboratorium, perpustakaan, dan buku pelajaran, yang diharapkan juga akan berdampak pada peningkatan mutu Dikdas. Pembangunan USB/RKB diutamakan pada jenjang SMP/MTs/sederajat, untuk mencapai ketuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun pada tahun 2008/2009.
3. Rekrutmen pendidik dan tenaga kependidikan; juga merupakan kebijakan strategis untuk mendukung program Wajar Dikdas 9 tahun. Rekrutmen tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kecukupan jumlah dan kualifikasi guru profesional di berbagai jenjang dan jenis pendidikan, pemerataan penyebaran secara geografis, keahlian, dan kesetaraan gender. Pemerataan secara geografis mempertimbangkan pengaturan mekanisme penempatan dan redistribusi guru, sistem insentif guru di daerah terpencil, pengangkatan guru tidak tetap secara selektif, serta tenaga pendidikan lainnya seperti pamong belajar pada jalur nonformal.
4. Perluasan pendidikan Wajar pada jalur nonformal; termasuk kebijakan strategis untuk mendukung program Wajar. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan angka partisipasi (APM/APK) Dikdas melalui program Paket A dan Paket B. Program ini sangat strategis untuk menjangkau peserta didik yang memiliki berbagai keterbatasan untuk mengikuti pendidikan formal, terutama anak-anak dari keluarga tidak mampu, daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah konflik, atau anak-anak yang terpaksa bekerja.
5. Perluasan akses pendidikan keaksaraan bagi penduduk usia >15 tahun; merupakan kebijakan dalam rangka memenuhi hak memperoleh pendidikan bagi penduduk buta aksara. Hal ini dimaksudkan mendorong penduduk usia >15 tahun untuk mengikuti kegiatan keaksaraan fungsional agar memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung sesuai dengan standar kompetensi keberaksaraan. Melalui kebijakan strategis ini diharapkan akan menurunkan jumlah penyandang tiga buta, yaitu buta aksara latin dan angka arab, buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar.
6. Perluasan akses SLB dan sekolah inklusif; merupakan kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan khusus dan pendidikan inklusif sehingga memperluas akses pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan belajar karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi bakat istimewa atau kecerdasan luar biasa.
7. Pengembangan pendidikan layanan khusus bagi anak usia Wajar Dikdas di daerah (bermasalah) terpencil, daerah berpenduduk jarang dan terpencar, daerah bencana, daerah konflik, serta anak jalanan; adalah kebijakan untuk penduduk yang kesulitan akses karena faktor sosial ekonomi, geografis, sarana transportasi dan komunikasi. Kelompok penduduk yang kurang beruntung karena terisolasi atau hambatan lainnya, mendapat pelayanan khusus, antara lain melalui SD/MI kecil/paket A, SMP/MTs kecil/paket B, SMP terbuka dan SD-SMP “satu atap”, guru kunjung dan kelas layanan khusus di SD (KLK), termasuk layanan dengan memanfaatkan TIK, seperti radio, televisi, komputer dan internet.
8. Perluasan akses PAUD; merupakan kebijakan untuk mendorong terselenggaranya pelayanan pendidikan bagi anak-anak usia 0-6 tahun baik pada jalur pendidikan formal maupun nonformal. Kegiatan Pemerintah lebih diarahkan untuk memberikan dukungan atau pemberdayaan bagi terselenggaranya pelayanan PAUD yang bermutu oleh masyarakat secara merata di seluruh pelosok tanah air. Hibah (blockgrants) atau imbal swadaya akan diberikan untuk pengembangan PAUD, PAUD model, dan berbagai bentuk integrasi PAUD ke dalam berbagai pelayanan anak usia dini lainnya.
9. Pendidikan kecakapan hidup; merupakan kebijakan strategis bagi peserta didik yang orang tuanya miskin dan orang dewasa miskin dan/atau pengangguran. Pendidikan ini akan memberikan kompetensi yang dapat dijadikan modal untuk usaha mandiri atau bekerja, mengingat masih besarnya jumlah mereka, maka kegiatan strategis ini menjadi sangat penting peranannya bagi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran.
10. Perluasan akses SMA/SMK dan SM terpadu; arah kebijakan ini lebih untuk memperluas SMK untuk mencapai komposisi jumlah SMA dan SMK yang seimbang pada tahun 2009. Perluasan SMA lebih ditekankan pada partisipasi swasta. Kebijakan ini ditempuh setelah melihat kenyataan bahwa bagian terbesar (65%) penganggur terdidik adalah lulusan pendidikan menengah (Sakernas, BPS 2004), yang dapat diartikan sebagai kurangnya keterampilan lulusan pendidikan menengah untuk masuk lapangan kerja.
11. Perluasan akses perguruan tinggi; pemerataan dan perluasan akses pendidikan tinggi menargetkan pencapaian jumlah mahasiswa meningkat dari 14,3% (tahun 2004) menjadi 18,0% pada tahun 2009. Investasi membangun institusi baru untuk pendidikan tinggi akademik (umum) lebih didorong pada peran swasta, sementara peran Pemerintah lebih pada pengembangan pendidikan vokasi dan pendidikan profesi pada perguruan tinggi yang sudah ada. Pendidikan tinggi akademik akan diperluas melalui penambahan ruang belajar, laboratorium, ruang praktikum, serta perpustakaan dalam rangka menambah daya tampung.
12. Pemanfatan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana pembelajaran jarak jauh; kegiatan prioritas ini ingin mengembangkan sistem pembelajaran jarak jauh (distance learning) di perguruan tinggi, pendidikan formal dan pendidikan nonformal untuk mendukung perluasan dan pemerataan pendidikan tinggi, pendidikan formal, dan pendidikan nonformal. Teknologi informasi dan komunikasi akan dimanfaatkan secara optimal dalam fungsinya sebagai media pembelajaran jarak jauh, dan juga untuk memfasilitasi manajemen pendidikan.
13. Peningkatan peran serta masyarakat dalam perluasan akses SMA, SMK/SM Terpadu, SLB, dan PT; kegiatan ini termasuk dalam prioritas kebijakan yang didasarkan pada beberapa pertimbangan: pertama, bahwa kemampuan keuangan pemerintah masih terbatas untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan yang seluas-luasnya sementara itu ada potensi yang cukup besar pada masyarakat; kedua, kecenderungan arah pembangunan pendidikan yang ingin lebih banyak melibatkan partisipasi swasta di segala aspek penyelenggaraan, termasuk investasi, pengelolaan, dan pengawasan; ketiga, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pemerintah Pusat akan lebih banyak memainkan perannya sebagai fasilitator pelayanan publik yang bertugas membuat kebijakan-kebijakan strategis, yang antara lain dilakukan melalui pengendalian dan penjaminan mutu, pengembangan standar-standar, akreditasi, dan sertifikasi dalam rangka desentralisasi pendidikan. Peran yang demikian ingin mendorong terselenggaranya pelayanan pendidikan yang mandiri (otonom), baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat (swasta). Dalam pemberian bantuan operasi penyelenggaraan pendidikan, Pemerintah tidak lagi membedakan antara kepemilikan negara dan masyarakat/swasta.
Kebijakan untuk peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan dilakukan melalui penguatan program-program sebagai berikut:
1. Implementasi dan penyempurnaan SNP dan penguatan peran Badan SNP; merupakan Kebijakan strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dengan adanya SNP dan BSNP, penataan berbagai aspek yang menunjang perbaikan mutu akan disusun, diuji coba dan diterapkan serta dikembangkan secara bertahap pada setiap satuan, jenis, jenjang, dan jalur pendidikan nasional.
2. Pengawasan dan penjaminan mutu secara terprogram dengan mengacu pada SNP; untuk mewujudkan sistem pengawasan dan penjaminan mutu secara berkelanjutan. Karena itu perlu dikembangkan dan dikelola mekanisme pengawasan dan pengendalian mutu pendidikan yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Kegiatan utamanya antara lain: pembentukan BAN-SM, BAN-PNF, BAN-PT; menyusun dan menetapkan mekanisme pengawasan dan penjaminan mutu pendidikan; menyusun dan menetapkan mekanisme pengawasan; evaluasi; dan ujian nasional untuk mengukur ketercapaian standar pendidikan yang telah ditetapkan; serta pengembangan kapasitas pengelolaan pendidikan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, serta satuan pendidikan.
2. Survai benchmarking mutu pendidikan terhadap standar internasional; bertujuan untuk membandingkan kemampuan peserta didik Indonesia dengan anak di negara-negara lain dalam kemampuan/keterampilan matematika, sains, dan membaca sehingga mutu dan daya saing tingkat internasional peserta didik dapat ditingkatkan secara kompetitif.
3. Perluasan dan peningkatan mutu akreditasi oleh BAN-SM, BAN-PNF dan BAN-PT; akreditasi merupakan kebijakan strategis dalam penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dalam rangka peningkatan mutu dan relevansi pendidikan di setiap satuan pendidikan, kabupaten/kota, dan provinsi. Hasil penilaian akreditasi digunakan sebagai salah satu faktor untuk menentukan bentuk dan besarnya bantuan yang perlu diberikan kepada satuan pendidikan dan pemerintah daerah.
4. Pengembangan guru sebagai profesi; merupakan kebijakan yang strategis dalam rangka membenahi persoalan guru secara mendasar. Sebagai tenaga profesional, guru harus memiliki sertifikat profesi dari hasil uji kompetensi. Sesuai dengan usaha dan prestasinya, guru akan memperoleh imbal jasa, insentif, dan penghargaan, atau sebaliknya, disinsentif atas tidak terpenuhinya standar profesi oleh seorang guru. Pendidikan profesi guru dan sistem sertifikasi profesi pendidik akan dikembangkan baik untuk calon guru (pre service) maupun untuk guru yang sudah bekerja (in service). Standar profesi guru akan dikembangkan sebagai dasar bagi penilaian kinerja guru yang dilakukan secara berkelanjutan atas dasar kinerjanya baik pada tingkat kelas maupun satuan pendidikan.
4. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan nonformal; kebijakan yang strategis dalam rangka membenahi persoalan pendidik dan tenaga kependidikan nonformal. Sebagai tenaga profesional yang harus memiliki sertifikat profesi dari hasil uji kompetensi, sesuai dengan usaha dan prestasinya untuk memperoleh imbal jasa, insentif, dan penghargaan, atau sebaliknya, disinsentif atas tidak terpenuhinya standar profesi. Standar profesi pendidikan nonformal (tutor dan tenaga lapangan pendidikan nonformal) akan dikembangkan sebagai dasar bagi penilaian kinerjanya, yang dilakukan secara berkelanjutan.
5. Pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan; peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan dilaksanakan dengan pemetaan profil kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dikaitkan dengan SNP, analisis kesenjangan kompetensi, serta penyusunan program dan strategi peningkatan kompetensi menuju pada tercapainya SNP.
6. Perbaikan dan pengembangan sarana dan prasarana; merupakan kegiatan strategis yang ditujukan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan yang rusak terutama pada Dikdas untuk meningkatkan keamanan/keselamatan, kenyamanan, dan kualitas proses pembelajaran. Untuk mencapai mutu pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan dikembangkan sarana dan prasarana pendidikan terutama buku pelajaran dan buku penunjang laboratorium, perpustakaan, ruang praktek, sarana olah raga, sarana ibadah, dan sarana pendidikan lainnya.
7. Perluasan pendidikan kecakapan hidup; merupakan kegiatan strategis dalam peningkatan mutu dan relevansi pendidikan yang mencakup pengembangan pendidikan kecakapan hidup yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dalam rangka pengembangan kompetensi, kepribadian, kewarganegaraan, intelektual, estetika, dan kinestik pada berbagai satuan, jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Tujuannya agar keluaran pendidikan memiliki keterampilan untuk menghadapi tantangan kehidupan yang terus berkembang secara mandiri.
8. Pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap kabupaten/kota; perluasan satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal oleh pemerintah daerah dilaksanakan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara bertahap akan dikembangkan pada setiap provinsi dan kabupaten/kota. Dalam lima tahun ke depan, diharapkan terdapat sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di setiap jenis, jenjang, dan jalur pendidikan di setiap kabupaten/kota.
9. Pembangunan sekolah bertaraf internasional di setiap provinsi/kabupaten /kota; untuk meningkatkan daya saing bangsa, perlu dikembangkan sekolah bertaraf internasional pada tingkat kabupaten/kota melalui kerja sama yang konsisten antara Pemerintah dengan pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan, untuk mengembangkan SD, SMP, SMA dan SMK yang bertaraf internasional sebanyak 112 unit di seluruh Indonesia.
10. Mendorong jumlah jurusan di PT yang masuk dalam 100 besar Asia atau 500 besar Dunia; melalui investasi yang signifikan pada sumber-sumber daya pendidikan yang utama seperti dosen, laboratorium, penelitian dan pengembangan, publikasi, perpustakaan yang memadai, serta manajemen pelayanan yang efektif dan akuntabel, sehingga pada tahun 2009 jumlah jurusan yang masuk dalam 100 besar di Asia atau 500 besar dunia dapat dicapai.
11. Akselerasi jumlah program studi kejuruan, vokasi, dan profesi; investasi dilakukan untuk pengembangan satuan pendidikan pada perguruan tinggi dan sekolah-sekolah menengah kejuruan, dan pendidikan nonformal. Pendidikan kejuruan, advokasi, profesi membutuhkan kualifikasi kompetensi untuk memasuki pasar tenaga kerja, sehingga perlu ada penguatan agar selalu dapat mengacu dan memenuhi tuntutan lapangan kerja, standar kualifikasi kerja, profesionalisme, dan produktifitas kerja yang terus berkembang dalam memenuhi standar nasional dan internasional.
12. a. Peningkatan jumlah dan mutu publikasi ilmiah dan HAKI; kegiatan ini berkaitan dengan peran perguruan tinggi yang memiliki otonomi keilmuan dengan melakukan penelitian dan pengembangan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perguruan tinggi didorong untuk mampu memberikan pemikiran dan temuan/inovasi yang bermanfaat, baik untuk kepentingan pembangunan maupun untuk pengembangan pengetahuan.
12. Peningkatan kreativitas, entrepreneurship, dan kepemimpinan mahasiswa; Pemberian bekal kepemimpinan serta jiwa entrepreneur yang memadai bagi mahasiswa yang mandiri untuk menghadapi tantangan dan kemajuan iptek, serta peka terhadap peluang dan perubahan.
13. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan; kegiatan ini berupa pengembangan sistem, metode, dan materi pembelajaran dengan menggunakan TIK. Kegiatan ini juga akan mengembangkan sistem jaringan informasi sekolah, infrastruktur dan SDM untuk mendukung implementasinya, baik untuk kepentingan manajemen pendidikan maupun proses pembelajaran. Dengan menggunakan TIK dalam pendidikan siswa pada sekolah reguler, warga belajar pada pendidikan nonformal dan siswa yang memerlukan layanan pendidikan khusus, secara adil dapat memperoleh pendidikan yang bermutu dan relevan.
Kebijakan dalam rangka peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik pendidikan secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Peningkatan sistem pengendalian internal berkoordinasi dengan BPKP dan BPK; untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang bersih efektif, efisien, produktif dan akuntabel. Sistem pengendalian internal sangat penting dikembangkan guna mendeteksi penyimpangan secara dini dan menumbuhkan tanggung jawab melalui proses evaluasi diri. Sistem ini tidak hanya dikembangkan dalam pengelolaan pendidikan di tingkat pusat, tetapi hingga tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan pembangunan pendidikan juga ditingkatkan.
2. Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat Inspektorat Jenderal; pada tahapan ini, menetapkan program pengembangan aparat pengawas, menjadi fokus utama di samping pengembangan sistem pengawasan Inspektorat Jenderal Depdiknas. Standar kompetensi auditor telah disusun dan direncanakan digunakan sebagai standar untuk mengukur kompetensi auditor dan mendisain pengembangan kompetensi melalui pendidikan formal atau nonformal. Pengembangan sistem pengawasan dilakukan melalui pengembangan teknik pengawasan dan pendekatan pengawasan. Audit kinerja sebagai suatu teknik pengawasan dan kemitraan sebagai suatu pendekatan audit yang dikembangkan untuk meningkatkan kapasitas pengawasan yang lebih baik. Pada saat ini audit kinerja dilaksanakan pada pengawasan perguruan tinggi.
3. Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat perencanaan dan penganggaran; kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas nasional dalam perencanaan, pengelolaan, dan penyelenggaraan pelayanan pendidikan berbasis kinerja, melalui: (a) perbaikan kapasitas untuk merancang dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program-program Renstra Diknas 2005-2009; (b) pengembangan strategi manajemen kurikulum, bahan ajar dan manajemen pembelajaran untuk identifikasi, advokasi, dan penyebarluasan praktek-praktek terbaik (best practices) dalam pengelolaan pendidikan tingkat kabupaten/kota dan/atau satuan pendidikan; dan (c) mengembangkan sistem kerja sama untuk perencanaan, pengelolaan, dan monitoring kinerja sistem pendidikan secara menyeluruh. Program pengembangan kapasitas pusat/provinsi bertujuan untuk memberikan bantuan teknis, monitoring kinerja, dan manajemen strategis kepada kabupaten/kota dan satuan pendidikan.
4. Peningkatan kapasitas dan kompetensi managerial aparat; untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan pendidikan perlu dilakukan pengembangan kapasitas aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Pengembangan kapasitas para pengelola pendidikan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengembangan kapasitas pengelola pendidikan pada tingkat pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) dan pengelola pelayanan pada tingkat satuan pendidikan. Pengembangan kapasitas pengelola dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan pengelola dalam pelayanan pendidikan yang efektif, inovatif, efisien, dan akuntabel.
5. Peningkatan ketaatan pada peraturan perundang-undangan; beberapa kegiatan untuk mendorong dan mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi peningkatan kedisiplinan, kinerja, dan akuntabilitas seluruh aparat pengelola pendidikan, melalui peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara.
6. Penataan regulasi pengelolaan pendidikan dan penegakkan hukum di bidang pendidikan; menjawab berbagai permasalahan dan tantangan masa depan pendidikan, instrumen peraturan perundang-undangan, kebijakan, pedoman, standar, dan aturan pelaksanaan teknis lainnya menjadi prioritas yang tidak kalah penting untuk terus disempurnakan dan dikembangkan serta penegakkan hukum di bidang pendidikan ditingkatkan.
7. Peningkatan citra publik; di samping terus melakukan dan memantau program, kebijakan, dan kegiatan pembangunan nasional, Depdiknas juga perlu melakukan sosialisasi kepada publik tentang apa yang direncanakan, yang telah dilakukan, dan bagaimana melakukan perbaikan. Selain untuk melakukan sosialisasi, paparan kepada publik juga dapat menjadi sarana peningkatan citra Depdiknas dan Sisdiknas itu sendiri. Melalui paparan tersebut, diharapkan ada masukan dari seluruh masyarakat, khususnya pemerhati pendidikan nasional.
8. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pengelola pendidikan; pada era desentralisasi pendidikan ada gejala penurunan kualitas dan kompetensi pengelola pendidikan baik yang berada di pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan. Untuk ini, berbagai bentuk dan model pendidikan dan pelatihan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut akan dikembangkan.
9. Pelaksanaan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan KKN; sebagai wujud pelaksanaan Inpres Nomor 5, maka Departemen Pendidikan Nasional telah menyusun Tim Rencana Aksi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi dengan Surat Mendiknas Nomor 027/P/2005. Rencana aksi ini dilakukan dengan melibatkan secara aktif unit utama Departemen untuk secara dini merencanakan aktifitas kegiatan untuk mencegah dan memberantas korupsi. Selanjutnya diikuti dengan kegiatan monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan, atas pelaksanaan rencana aksi yang telah ditetapkan.
10. Intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh Inspektorat Jenderal; kegiatan ini dilakukan melalui pengawasan dini yaitu pengawasan oleh Inspektorat Jenderal untuk memeriksa program dan kegiatan yang akan berjalan dari unit kerja di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, dan bertujuan untuk mendeteksi program yang telah disusun, apakah dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan, dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
11. Intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh Itjen, BPKP, dan BPK; kegiatan intensifikasi pengawasan dilakukan dengan meninggalkan konsep pengawasan internal tradisional, dimana akuntansi dipandang sebagai perhatian utama pengawasan internal, menuju konsep pengawasan modern, dimana pengawasan merupakan bagian dari manajemen yang menuntut peran yang lebih daripada sebagai kontrol tetapi juga sebagai supervisor. Penggunaan dan pengembangan teknik pengawasan juga menjadi prioritas dalam program pengawasan Inpektorat Jenderal. Pengawasan kinerja menjadi tekanan pengawasan sesuai dengan basis pengelolaan keuangan negara yang berdasarkan kinerja. Kegiatan ekstensifikasi dilakukan melalui peningkatan jumlah aparat pengawasan (auditor pendidikan), perluasan jumlah sasaran pengawasan, dan lama hari pengawasan.
12. Penyelesaian tindak lanjut temuan-temuan pemeriksaan Itjen, BPKP, dan BPK; pengawasan tidak akan ada maknanya apabila pemeriksaan tidak ditindaklanjuti. Untuk itu diperlukan pemantauan terhadap tindak lanjut yang telah dilakukan oleh obyek pemeriksaan, untuk mengetahui apakah tindak lanjut yang dilaksanakan telah sesuai dengan rekomendasi pemeriksa. Selanjutnya ditentukan pencapaian jumlah dan kualitas atas tindak lanjut/penyelesaian temuan tersebut.
13. Pengembangan aplikasi SIM secara terintegrasi (keuangan, aset, kepegawaian, dan data lainnya); sangat disadari bahwa data-data (keuangan, program, aset, SDM, dan sebagainya) yang ada saat ini seolah-olah saling terpisah. Padahal seyogyanya data itu merupakan bagian yang terintegrasi dan tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Membangun sistem yang dapat mengintegrasikan semua data yang dibutuhkan dalam mengelola Departemen menjadi hal yang sangat mendesak untuk dilakukan. Selain untuk memperkecil terjadinya kesalahan manusia (human error), sistem tersebut dapat mengurangi pengulangan kegiatan pencatatan.
Implementasi di Satuan Pendidikan, contoh SMA dapat dijelaskan seperti dalam matrik berikut ini
Program Pendidikan Menengah
1. Pemerataan dan Perluasan Akses
a. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan dilakukan melalui pembangunan USB, RKB, laboratorium, perpustakaan, buku pelajaran buku nonteks pelajaran/bacaan lainnya dan sarana belajar. Perluasan USB SMA akan lebih diarahkan untuk lebih banyak dilakukan oleh penyelenggara pendidikan swasta dengan tetap memperhatikan standar nasional pendidikan.
b. Sejalan dengan itu, penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang lebih merata, bermutu, serta penyediaan biaya operasional pendidikan dan beasiswa kepada anak yang kurang beruntung tetapi berprestasi, juga akan dilakukan untuk mendukung perluasan.
c. Untuk daerah yang mampu mencapai APM SMP di atas 95% dan bermutu, pemerintah mendorong daerah tersebut untuk proaktif melakukan inisiasi program dan fasilitasi pendidikan universal 12 tahun dalam rangka memperluas partisipasi pendidikan menengah. Target pada tahun 2009 sekurang-kurangnya satu kabupaten/kota setiap provinsi melakukan perintisan pendidikan universal 12 tahun.
d. Pengembangan model layanan alternatif pendidikan akan dilakukan khusus untuk daerah terpencil, daerah pedalaman, dan daerah tertinggal sebagai fasilitas untuk menampung lulusan SMP di daerah tersebut. Perluasan penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang dilaksanakan dengan menggunakan berbagai bentuk SMK, yaitu SMK besar di kawasan Industri, SMK kelas jauh di pesantren/institusi lain, SMK di daerah perbatasan, SMK kecil di daerah terpencil dan perdesaan, SMA terbuka, dan sekolah menengah terpadu.
e. Target APS pendidikan menengah diusahakan mencapai 69,91% atau sebesar 7,5 juta orang pada tahun 2009, naik dari 56,04% pada tahun 2005. APK SMA/SMK/Paket C/MA/SMALB sebesar 52,2% (tahun 2005) akan ditingkatkan menjadi 68,20% pada tahun 2009, termasuk peningkatan APK SMLB.
f. Program pemerataan dan perluasan akses pendidikan juga diusahakan agar dapat menurunkan angka putus sekolah, angka mengulang kelas, dan meningkatnya proporsi siswa SMA/SMK/MA/MAK dan yang sederajat yang lulus ujian nasional.
g. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja menengah di sektor manufaktur, industri pengolahan, konstruksi, pertambangan, perdagangan, jasa kemasyarakatan, pariwisata, TIK, pertanian, serta teknologi dan seni (konservatori budaya) pemerintah akan meningkatkan jumlah peserta didik SMK, yang diproyeksikan akan meningkat secara signifikan sampai dengan tahun 2009.
2. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
a. Pemerintah mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi, bahan ajar, model pembelajaran, dan sistem evaluasi/penilaian menuju standar nasional dan internasional. Semua bagian dari sistem dan muatan pembelajaran dikembangkan untuk mencapai pembelajaran yang bermakna dan efektif. Pada jenjang pendidikan menengah, penekanan muatan kecakapan dasar (basic learning contents) mendapat porsi yang menurun, sedangkan muatan akademik dan keterampilan hidup meningkat.
b. Dalam rangka meningkatkan mutu buku pendidikan, pemerintah akan mengembangkan buku pendidikan yang bermutu dengan melakukan peningkatan sistem penilaian perbukuan.
c. Dalam rangka pendidikan kecakapan hidup, pemerintah akan melaksanakan berbagai kegiatan yang mendukung tumbuhnya pribadi siswa, yang berjiwa kewirausahaan, kepemimpinan, beretika, serta memiliki apresiasi terhadap estetika dan lingkungan hidup.
d. Guna mendorong siswa berprestasi, pemerintah juga akan melaksanakan program pembinaan dan fasilitasi untuk mempersiapkan anak-anak yang berprestasi istimewa mengikuti kompetisi tingkat nasional/internasional seperti olimpiade sains dan matematika bagi siswa SMA, sedangkan bagi siswa SMK berprestasi mengikuti promosi keterampilan siswa (PKS) tingkat nasional, Asian Skill Competition (ASC) tingkat regional dan World Skill Competition (WSC) tingkat internasional.
e. Terkait dengan peningkatan mutu juga perlu dilakukan perbaikan kondisi ruang belajar. Berdasarkan data tahun 2003, jumlah ruang belajar yang rusak ringan pada SMA sekitar 4.400 ruang dan SMK sekitar 4.800 ruang, serta yang rusak berat pada SMA sekitar 1.600 ruang dan SMK sekitar 3.000 ruang.
f. Pemerintah juga akan melakukan peningkatan jumlah SMK secara proporsional termasuk upaya penataan bidang keahlian dan program studi di SMK serta fasilitas magang agar relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Penataan ini dilakukan agar lulusan sekolah menengah kejuruan dapat makin memadai untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja.
g. Pengembangan mutu dan keunggulan sekolah menengah juga diarahkan untuk mendorong sekolah potensial menuju kategori di atas SNP. Sekolah seperti ini akan terus dikembangkan menjadi sekolah berkeunggulan nasional dan internasional. Pengembangan sekolah berkeunggulan pada pendidikan menengah ditargetkan paling tidak satu SMA/SMK pada masing-masing kabupaten/kota menjadi sekolah berkeunggulan lokal dan internasional pada tahun 2009. Pemerintah akan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk pengembangan keunggulan lokal, dan dengan luar negeri dalam pengembangan kurikulum dan standar kompetensi untuk mengembangkan kompetensi lulusan agar dapat bersaing secara global. Salah satu orientasi pencapaian standar internasional adalah mendorong sekolah untuk dapat memperoleh sertifikat ISO.
h. Pengembangan mutu dan keunggulan sekolah menengah juga disertai dengan program peningkatan kualitas jasmani dan pengembangan sekolah sehat. Dengan demikian, dapat tercipta siswa yang sehat dan bugar, serta sekolah yang memenuhi standar sekolah sehat.
i. Untuk mengantisipasi banyaknya lulusan SMA yang tidak dapat meneruskan ke pendidikan tinggi, pendidikan kecakapan hidup akan diberikan pada siswa SMA. Untuk peserta yang berasal dari keluarga miskin tetapi berpotensi, pemerintah akan memberikan subsidi beasiswa.
j. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah kejuruan dilakukan dengan mengembangkan program studi/jurusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, antara lain teknologi pengolahan dan pengemasan makanan, teknologi otomotif modern, telematika, hotel dan restoran, bidang kelautan, seni etnik dan kerajinan, industri manufaktur, serta teknologi pertanian nilai tinggi. SMK di setiap daerah juga didorong untuk mengembangkan program studi yang berorientasi pada keunggulan lokal, baik pada aspek keterampilan maupun kewirausahaan. Pendidikan kewirausahaan akan diberikan untuk membekali lulusan SMK mampu mengembangkan sendiri lapangan kerja bagi dirinya. Pengembangan kecakapan berwirausaha akan dilakukan seluas-luasnya untuk mendorong tumbuhnya wiraswastawan sebanyak-banyaknya, yang selain menjadi wahana kemandirian berusaha bagi pelaku-pelakunya, juga memberikan dampak makro yang sangat positip bagi pengembangan ekonomi nasional.
k. Dengan mempertimbangkan pesatnya perkembangan pemanfaatan TIK dalam berbagai sektor kehidupan, pemerintah akan terus mengembangkan pemanfaatan TIK untuk sistem informasi persekolahan dan pembelajaran termasuk pengembangan e-Learning. Hingga tahun 2009, langkah-langkah yang akan dilakukan adalah (a) merancang dan membuat aplikasi database, yang menyimpan dan mengolah data dan informasi persekolahan, manajemen persekolahan, muatan (content) pembelajaran; (b) merancang dan membuat aplikasi pembelajaran berbasis portal, web, multimedia interaktif, yang terdiri atas aplikasi tutorial dan learning tool; (c) mengoptimalkan pemanfaatan TV edukasi sebagai materi pengayaan dalam rangka menunjang peningkatan mutu pendidikan; dan (d) mengimplementasikan pemanfaatan TIK secara bertahap untuk memudahkan manajemen pendidikan pada SMA dan SMK dan sekaligus untuk mendukung proses pembelajaran di seluruh wilayah Indonesia.
3. Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Citra Publik
Peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan daya saing dilakukan dalam kerangka sistem dan mekanisme yang sama dalam isu-isu partisipasi masyarakat, MBS (DP/KS), pengembangan kapasitas, dan pengembangan EMIS. Perluasan partisipasi masyarakat akan didorong lebih luas dengan melibatkan dunia usaha dan industri dalam pengelolaan pendidikan kejuruan.
Mengingat pendidikan menengah belum menjadi program wajib belajar, partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan akan diupayakan, baik dalam rangka perluasan maupun peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu, kemampuan dan kemauan untuk melakukan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel, sangat strategis untuk memberikan citra kelembagaan yang positip, yang selanjutnya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pengelola. Masyarakat juga diharapkan untuk proaktif dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi anggaran penyelenggaraan pendidikan.
2. Pendidikan Non Formal merupakan bagian pendidikan yang strategis di Indonesia. Jelaskan konsep, pengertian, sistematika dan sebagainya
JAWABAN
Konsep
a. Pendidikan formal adalah pendidikan yang sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya, termasuk kedalamnya ialah kegiatan studi yang beririentasi akademis dan umum, program spoesialisasi, dan latihan professional yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus
b. Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan termasuk didalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan dan media massa
c. Pendidikan Non formal, ialah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, diluar system persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu didalam mencapai tujuan belajarnya.
Istilah-istilah yang berkembang secara internasional diantaranya, Pendidikan sepanjang hayat ( life long education ), Pendidikan pembaharuan ( recurrent education ), pendidikan abadi ( permanent education ), pendidikan masyarakat ( community education ), pendidikan perluasan ( extension education ), pendidikan massa ( mass education ), pendidikan social ( social education ), pendidikan orang dewasa ( adult education ) dan pendidikan berkelanjutan ( Contiuning education )
Pendidikan nonformal mempunyai kedudukan yang strategis dalam system pendidikan di Indonesia, karena Tujuan Pendidikan non formal adalah mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai-nilai yang memungkinankan bagi seseorang atau kelompok untuk berperan serta secara efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaannya, masyarakat dan bahkan negaranya.
Tujuan secara khusus, berdasarkan UUSPN 20/2003 dan PP 73/1991 adalah
a. Melayani warga masyarakat supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya
b. Membelajarkan masyarakat agar memiliki pengetahuan, keterampilan fungsional dan sikap untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, atau melanjutkan studi ke tingkat dan atau jenjang pendidikan yang lebih tingi
c. Menyediakan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan potensi lingkungan yang tidak dapat dipenuhi oleh pendidikan formal
d. Memberikan kesempatan belajar bagi warga masyarakat yang karena sesuatu hal tidak dapat mengikuti pendidikan formal.
Satuan Pendidikan Non Formal
a. Keluarga, terdiri atas pendidikan untuk keluarga dan pendidikan oleh keluarga
b. Lembaga Kursus
c. Lembaga Pelatihan
d. Kelompok Belajar
e. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat ( PKBM )
f. Majelis Ta’lim
g. Satuan Pendidikan yang sejenis
Lingkup program pendidikan nonformal
a. Pendidikan Anak Usia Dini, Kelompok belajar, TPA
b. Pendidikan Keaksaraan Fungsional
c. Pendidikan Kesetaraan
d. Pendidikan Kecakapan Hidup
e. Pengarusutamaan Jender
f. Pendidikan kepemudaan
g. Pendidikan usia Lanjut
h. Pendidikan dan pelatihan kerja
i. Pendidikan Jarak jauh
Keunggulan pendidikan Non formal
a. Biaya lebih murah dibandingkan pendidikan formal
b. Program pendidikan lebih berkaitan dengan kebutuhan masyarakat
c. Memiliki program yang fleksibel
Kelemahan pendidikan non formal
a. Kurangn ya kordinasi, karena keragaman dan luasnya program yang diselenggarakan oleh berbagai pihak
b. Tenaga pendidik dan sumber belajar masih kurang
c. Motivasi belajar peserta didik relative rendah
d. Para lulusan pendidikan Non formal dianggap lebih rendah statusnya di bandingkan lulusan pendidikan Formal
3. Pendidikan Dasar (SD) merupakan bagian yang sangat penting untuk pendidikan di tingkat menengah ( SMA ) dan pendidikan tinggi. Jelaskan landasan filosofis dan landasan ilmiahnya.
JAWABAN
Belajar dari negara-negara baru di bidang industri (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, bahwa untuk meningkatkan pembangunan suatu bangsa diperlukan apa yang disebut critical mass di bidang pendidikan. Konsep ini mengupayakan adanya suatu persentase penduduk dengan tingkat pendidikan tertentu yang harus disiapkan oleh suatu bangsa agar pembangunan ekonomi dan sosial dapat meningkat cepat, karena adanya dukungan sumberdaya manusia yang berkualitas dan memadai.
Program pendidikan dasar 9 tahun merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan critical mass tersebut. Program ini dilaksanakan untuk mewujudkan suatu masyarakat Indonesia yang terdidik, minimal memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar yang esensial. Kemampuan dasar ini diharapkan dapat digunakan para lulusan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau dijadikan bekal untuk menjalani hidup dan menghadapi kehidupan dalam masyarakat. Kemampuan dasar dibutuhkan dalam rangka bersosialisasi, termasuk melakukan interaksi, kompetisi, berorganisasi, di antara warga masyarakat, kelompok, dan antar bangsa.
Esensi Pendidikan dasar adalah “paspor” bagi setiap peserta didik untuk mengembangkan dirinya di masa depan, termasuk memasuki pendidikan menengah dan pendidikan Tinggi, dan bekal dasar untuk dapat hidup layak dalam hidup bermasyarakat dimanapun diduinia ini. Oleh karenanya, program belajar pendidikan dasar harus mengembangkan potensi peserta didik secara terpadu dan sinergis. Pola pendidikan di tingkat dasar harus dilakukan secara terpadu, karena secara psikologis perkembangan kemampuan kognisi, kemampuan sosio-emosional, kemampuan pengembangan moral dan perkembangan fifik peserta didik usia pendidikan dasar secara terpadu dan saling ketergantungan.
Jenjang pendidikan dasar merupakan jenjang terbaweah dari system pendidikan nasional, seperti yang ditetapkan dalam UU 20/2003. Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengasmbangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan di tingkat menengah dan pendidikan tinggi.
Pendidikan dasar merupakan peletak dasar sebagai pendidikan untuk tahap-tahap berikutnya karena dengan mengikuti gagasan konsep belajar sepanjang hidup, pendidikan dasar memberikan tekanan kepada belajar untuk mengetahui ( learning to know ), belajar untuk bekerja ( learning to do ), belajar menjadi dirinya sendiri ( learning to be ) dan belajar hidup bersama ( learning to live together), yang semuanya ini merupakan bekal untuk terus belajar di jenjang pendidikan lebih lanjut.
Untuk sampai kepada gagasan konsep belajar sepanjang hidup tersebut, maka standar kompetensi, terutama sedangkan standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan Dasar, harus meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut, diantaranya untuk :
SD/MI/SDLB*/Paket A
1. Menjalankan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan anak
2. Mengenal kekurangan dan kelebihan diri sendiri
3. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungannya
4. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi di lingkungan sekitarnya
5. Menggunakan informasi tentang lingkungan sekitar secara logis, kritis, dan kreatif
6. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif, dengan bimbingan guru/pendidik
7. Menunjukkan rasa keingintahuan yang tinggi dan menyadari potensinya
8. Menunjukkan kemampuan memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari
9. Menunjukkan kemampuan mengenali gejala alam dan sosial di lingkungan sekitar
10. Menunjukkan kecintaan dan kepedulian terhadap lingkungan
11. Menunjukkan kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa, negara, dan tanah air Indonesia
12. Menunjukkan kemampuan untuk melakukan kegiatan seni dan budaya lokal
13. Menunjukkan kebiasaan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang
14. Berkomunikasi secara jelas dan santun
15. Bekerja sama dalam kelompok, tolong-menolong, dan menjaga diri sendiri dalam lingkungan keluarga dan teman sebaya
16. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis
17. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung
b. Jelaskan pula bahwa konsep pendidikan umum merupakan dasar bagi pendidikan bidang studi.
Konsep pendidikan umum dalam pengertian sempit di tingkat satuan pendidikan biasanya merujuk kepada konsep mata pelajaran umum yaitu mata pelajaran yang termasuk Kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia, serta Kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian, dengan tujuan masing-masing, sbb. :
1. Kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia bertujuan: membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Tujuan tersebut dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga, dan kesehatan.
2. Kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian bertujuan: membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani.
Sedangkan pendidikan bidang studi, biasanya diarahkan kepada Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dengan tujuan sebagai berikut. :
Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bertujuan: mengembangkan logika, kemampuan berpikir dan analisis peserta didik. Pada satuan pendidikan SD/MI/SDLB/Paket A, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal yang relevan.
Jadi sebelum peserta didik memahami dan dapat mengembangkan logika, kemampuan berpikir secara analisis maka peserta didik tersebut harus dibekali dengan dua kelompok mata pelajaran umum tadi.
c. Jelaskan bagaimana tata kelola pendanaan dan sarana/prasarana pendidikan agar produktif ?
JAWABAN
Pendanaan pendidikan nasional disusun dengan mengacu pada aturan perundangan yang berlaku, kebijakan Mendiknas, program-program pembangunan pendidikan dan sasarannya, serta implementasi program dalam dimensi ruang dan waktu.
Mengingat terbatasnya anggaran pemerintah untuk pendidikan, strategi pembiayaan pendidikan nasional dalam lima tahun ke depan disusun dalam skala prioritas.
Penetapan prioritas pembangunan pendidikan didasarkan pada
(a) keberpihakan Pemerintah terhadap anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung karena faktor-faktor ekonomi, geografi, dan sosial—untuk memperoleh pendidikan yang bermutu;
(b) tuntutan prioritas karena adanya perubahan kebijakan pendidikan, termasuk dalam pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara pada setiap satuan, jenjang dan jenis pendidikan baik pada jalur formal maupun nonformal, serta untuk menjawab komitmen internasional dan kepentingan nasional; dan
(c) prediksi perkembangan kemampuan keuangan negara dan potensi kontribusi masyarakat terhadap pendidikan.
Kebijakan desentralisasi pendidikan menuntut peningkatan kemampuan daerah dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus dapat menyusun strategi pembiayaan untuk dapat mencapai target-target program yang disusun dalam perencanaan pembangunan pendidikan untuk lima tahun ke depan.
Selanjutnya, pemerintah daerah harus menjabarkan program-program pemerintah pusatyang harus dilaksanakan di daerah dalam rencana strategis lima tahun (Renstrada) 2005-2009.Berdasarkan Renstrada, pemerintah daerah membuat perencanaan pembiayaan pembangunan pendidikan untuk lima tahun ke depan untuk mencapai target-target program di daerahnya hingga tahun 2009.
Strategi pembiayaan disusun dengan memperhitungkan proyeksi (a) pendapatan asli daerah (PAD); (b) dana perimbangan yang meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK); (c) dana otonomi khusus dan penyeimbang; dan (d) perkiraan alokasibelanja pemerintah pusat berupa dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan (DTP).
Sumber pendanaan lainnya yang dapat diperhitungkan adalah bantuan luar negeri, khususnya untuk pembiayaan program-program prioritas.
Karena keterbatasan keuangan pemerintah pusat dan juga kendala daerah meningkatkanPAD, kesenjangan pendanaan ( ) di daerah akan sangat mungkin terjadi. Terjadinya kesenjangan itu diakibatkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan pendanaan untuk mencapai target-target program yang telah ditentukan. Untuk menutup kesenjangan pendanaan, pemerintah daerah harus
memperhitungkan sumber-sumber pendanaan lain yang mungkin dapat diupayakan, seperti bantuan luar negeri (donor) dan kontribusi masyarakat yang harus ditelaah per program. Semua kemungkinan skenario pembiayaan tersebut harus tertuang dalam Renstrada 2005-2009, sebagai pedoman pelaksanaan program pembangunan pendidikan di daerahnya, dalam rangka mendukung pencapaian target-target nasional program pembangunan jangka menengah 20052009.
STRATEGI PEMBIAYAAN
Pembiayaan pembangunan pendidikan disusun dalam rangka melaksanakan ketentuan perundangan serta kebijakan Pemerintah dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Pembiayaan pendidikan dalam kurun waktu 20052009, disusun dalam rangka melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut
(1) memperjelas pemihakan terhadap masyarakat miskin dan/atau masyarakat kurang beruntung lainnya;
(2) memperkuat otonomi dan desentralisasi pendidikan; dan
(3) memberikan insentif dan disinsentif bagi (a) perluasan dan pemerataan akses pendidikan, (b) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan secara berkelanjutan, dan (c) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelola pendidikan.
Pemihakan terhadap masyarakat miskin dilakukan dengan menghilangkan berbagai hambatan biaya bagi orangtua peserta didik, dalam rangka meningkatkan jumlah peserta didik SD dan SMP yang berasal dari keluarga miskin sehingga wajib belajar 9 tahun dapat diselesaikan. Hambatan tersebut terdiri atas tiga jenis pembiayaan pendidikan yang selama ini dibebankan kepada orangtua peserta didik, yaitu biaya operasi satuan pendidikan, biaya pribadi, dan biaya investasi. Dengan semakin kecilnya hambatan biaya khususnya bagi keluarga miskin, diharapkan seluruh anak usia sekolah dapat mengikuti pendidikan paling tidak sampai dengan pendidikan dasar sembilan tahun. Pemerintah secara bertahap membebaskan seluruh beban biaya operasi satuan pendidikan negeri dan swasta menuju pendidikan dasar bebas biaya. Walaupun orangtua siswa dibebaskan dari biaya operasi satuan pendidikan, masih banyak keluarga miskin yang tidak mampu memenuhi biaya pribadi untuk anaknya sehingga tidak dapat pergi ke sekolah. Untuk mengantisipasi menurunnya APK SMP karena hambatan biaya pribadi, Pemerintah menyediakan bantuan beasiswa yang disalurkan melalui biaya satuan pendidikan ke sekolah untuk menutup biaya pribadi bagi siswa miskin agar tidak terhambat masuk sekolah.
Hambatan biaya lainnya adalah biaya investasi seperti lahan, prasarana pendidikan, lingkungan sekolah yang dapat mendorong terwujudnya mutu proses pembelajaran di sekolah. Biaya investasi tersebut difokuskan pada perbaikan prasarana dan sarana pendidikan (gedung, ruang kelas, dan sarana belajar) yang mendesak untuk direhabilitasi agar dapat melindungi guru dan siswa melaksanakan proses belajar dengan baik.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, antara lain mengatur sistem pembiayaan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Menurut UU tersebut sumber keuangan APBD adalah PAD, DAU, dan dana bagi hasil (DBH). Dengan mempertimbangkan kemampuan yang berbeda antara daerah, DAU diberikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Selain itu, melalui instrument pendanaan DAK, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, setiap departemen membantu pembiayaan pembangunan sektornya di daerah. Ketiga pola pembiayaan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat keuangan daerah, baik dalam rangka pelaksanaan kebijakan khusus yang menjadi prioritas nasional (pola DAK), maupun kewenangan pusat yang dilimpahkan dan ditugaskan ke daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan).
Fungsi pembiayaan pendidikan dalam kerangka desentralisasi dan otonomi pendidikan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan penyelenggaraan urusan pendidikan. Seperti disebutkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sektor pendidikan adalah salah satu yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah. Depdiknas akan terus membantu provinsi dan kabupaten/kota dalam pembiayaan pembangunan sektor pendidikan melalui ketiga pola pendanaan itu untuk mengatasi kekurangan kemampuan pembiayaan bagi sector pembangunan pendidikan, sampai tercapainya kondisi pemerintah daerah mampu memenuhi kebutuhan pembiayaan melalui peningkatan PAD, dan/atau peningkatan alokasi DAU.
Bersamaan dengan itu, komitmen dan kemampuan kabupaten/kota dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan terus ditingkatkan melalui pengembangan kapasitas. Bantuan pembiayaan dan pengembangan kapasitas pada prinsipnya diarahkan untuk makin memperkuat pelaksanaan desentralisasi dan kemandirian pemerintah kabupaten/kota (otonom). Pelaksanaan desentralisasi di bidang pendidikan harus terus mendorong pemerintah daerah (dinas pendidikan) dan satuan pendidikan untuk dapat mencapai otonomi pengelolaan pendidikan. Pemerintah bersama pemerintah provinsi akan mengambil peran sebagai mitra pemerintah kabupaten/kota dalam pembiayaan
dengan pola dekonsentrasi, tugas pembantuan dan pembiayaan bersama Dana dekonsentrasi pemerintah pusat diberikan kepada provinsi untuk membiayai pelaksanaan kewenangan pusat yang dijalankan oleh provinsi sebagai wakil pemerintah di daerah. Penggunaan dana dekonsentrasi dalam rangka pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan, termasuk kegiatan evaluasi, akreditasi, sertifikasi dan pengembangan kapasitas.
Dana Alokasi Khusus (DAK) dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar nasional yang diharapkan.
Penggunaan DAK antara lain untuk pembiayaan dalam rangka pelaksanaan kegiatan rehabilitasi bangunan SD yang rusak berat yang akan diselesaikan pada tahun 2008, dan pembangunan sarana untuk memperluas akses dalam rangka menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Pemberian DAK memerlukan dana pendamping dari daerah yang bersangkutan sekurang-kurangnya 10% dari besarnya DAK. Tujuan menyertakan dana pendamping adalah untuk menumbuhkan rasa kepemilikan daerah atas aset yang dibangun dengan bantuan DAK tersebut.
Dana tugas pembantuan bertujuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan pemerintah yang ditugaskan kepada daerah. Pelaksanaan kewenangan yang harus berupa kegiatan fisik itu dijalankan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang ditetapkan oleh gubenur, bupati/walikota. Sementara itu, pembiayaan bersama merupakan komitmen antara pemerintah dan pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota dilakukan sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing.
Fungsi Insentif dan Disinsentif bagi PeningkatanAkses, Mutu, danTata Kelola
Pembiayaan pendidikan harus mampu menjadi insentif dan disinsentif bagi upaya peningkatan akses, mutu, dan tata kelola. Kapasitas pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam mengelola sumber-sumber daya pendidikan sangat menentukan keberhasilan peningkatan akses, mutu, dan tata kelola. Fungsi insentif dan disinsentif bagi peningkatan akses, mutu , dan tata kelola akan dilakukan oleh pemerintah pusat untuk mendorong tumbuhnya prakarsa, kreativitas, dan aktivitas pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam meningkatkan kapasitasnya untuk meningkatkan akses,mutu, dan tata kelola.
Insentif dan disinsentif diberikan dalam bentuk hibah berdasarkan kriteria seperti tujuan yang akan dicapai dalam pemenuhan standar nasional pendidikan, serta manfaat yang diperoleh.
Pembiayaan pembangunan pendidikan dalam rangka pemerataan dan perluasan
akses; peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing; dan penguatan tata kelola,
akuntabilitas, dan citra publik, bersumber pada APBN,APBD dan dana masyarakat.
PEMBIAYAAN PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH:
MASALAH DAN PROSPEK
1. Latar Belakang
Kondisi umum sektor pendidikan di Indonesia ditandai oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM), sekitar 58% dari tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau kurang. Pada saat yang sama, hanya 4% dari tenaga kerja yang berpendidikan tinggi.
Prospek peningkatan kualitas SDM di masa yang akan datang pun terlihat suram. Rata-rata angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi masih relative rendah (56% untuk SLTP, 32% untuk SLTA dan 12% untuk perguruan tinggi).
Dalam kondisi demikian itulah otonomi daerah (termasuk di dalamnya sector pendidikan) dilaksanakan. Di era otonomi daerah, urusan pendidikan dari tingkat TK hingga SLTA menjadi tanggung jawab daerah, hanya perguruan tinggi yang masih dipegang Pusat.
2. Otonomi Daerah: Apa yang Berubah dan Apa yang Terjadi?
2.1. Pola Pembiayaan Sektor Pendidikan
Perubahan kewenangan pengelolaan pendidikan dengan segera mengubah pola pembiayaan sektor pendidikan. Sebelum otonomi daerah, praktis hanya pembiayaan sekolah dasar (SD) yang menjadi tanggung jawab Pemda, sedangkan SLTP dan SLTA (dan juga perguruan tinggi) menjadi tanggung jawab Pusat. Pembiayaan SLTP dan SLTA dilakukan melalui Kanwil Depdiknas (di tingkat propinsi) dan Kandepdiknas (di tingkat kabupaten/kota). Setelah diberlakukannya otonomi daerah, sebagaimana disinggung di atas, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA menjadi tanggung jawab Pemda. Antara Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas Pendidikan propinsi tidak ada hubungan hierarkhis, sedangkan propinsi masih tetap mengemban amanat sebagai perwakilan pemerintah pusat. Dengan konfigurasi kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat tidak lagi punya “tangan” di daerah untuk mengimplementasikan program-programnya. Implikasinya, setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan melalui koordinasi dengan Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan kabupaten/kota.
Dengan konfigurasi kelembagaan yang seperti itu pula, pola pembiayaan pendidikan mengalami perubahan yang cukup mendasar. Daerah memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan dari Pusat (dan Propinsi) tetap dimungkinkan, tetapi juga harus melalui mekanisme APBD, atau paling tidak tercatat di dalam APBD kabupaten/kota.
2.2. Analisis Terhadap APBD 245 Kabupaten/Kota Tahun 2002
Tantangan pertama yang harus dihadapi oleh para pengelola pendidikan adalah masalah pendanaan. Sebagai ilustrasi, rendahnya kualitas gedung sekolah, terutama SD, merupakan salah satu dampak keterbatasan kemampuan pemerintah dalam memobilisasi dana untuk sektor pendidikan. Di sisi lain, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memberi beban yang sangat berat bagi pemerintah.
Studi terhadap 245 kabupaten/kota menunjukkan bahwa realisasi anggaran masih jauh dari yang diharapkan. Pada tahun 2002, rata-rata persentase anggaran pembangunan terhadap APBD hanya 3,14%. Bahkan, persentase tertinggi hanya mencapai 10%, masih sangat jauh dari target 20% yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas.
Di atas kertas, Pemda memang memiliki beberapa sumber keuangan daerah, seperti dana perimbangan (DAU, DAK dan Dana Bagi Hasil), pendapatan asli daerah (PAD) dan pinjaman. Tapi pada kenyataannya, rata-rata peranan PAD dalam APBD hanya sekitar 7%. Sementara itu, rata-rata tertimbang rasio dana perimbangan terhadap pengeluaran rutin adalah 1,4 yang menunjukkan bahwa tidak banyak dana perimbangan yang bisa digunakan untuk keperluan di luar anggaran rutin.
Jelas bahwa Pemda memiliki tanggung jawab yang besar dan bersifat jangka panjang di sektor pendidikan, tetapi tidak memiliki sumber dana yang cukup dan stabil untuk mendanai. Jika situasinya tidak berubah, Daerah tidak akan mampu memenuhi 20% anggaran untuk pendidikan seperti yang diamanatkan UU Sisdiknas dan pada gilirannya ada risiko terjadi penurunan kualitas SDM sebagai dampak otonomi daerah.
Beberapa plot dan berikut ini akan memberi gambaran lebih lengkap tentang alokasi APBD untuk sektor pendidikan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dilihat dari sisi nilai pengeluaran pembangunan sektor pendidikan maupun persentase pengeluaran pendidikan terhadap total pengeluaran pembangunan, tidak ada perbedaan komitmen antara kabupaten dengan kota. Dari semua model regresi dalam analisis ini, variabel “kabkot” (yang merupakan dummy variable untuk status sebagai kabupaten atau kota) pengaruhnya selalu tidak signifikan terhadap pengeluaran pembangunan sektor pendidikan atau persentase pengeluaran pembangunan untuk sektor pendidikan. Sementara itu, analisis terhadap total pengeluaran APBD, total dana perimbangan dan PAD menunjukkan bahwa ketiga variabel tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai pengeluaran untuk sektor pendidikan, tetapi tidak signifikan pengaruhnya terhadap persentase pengeluaran pembangunan sector pendidikan.
Jadi, jika komitmen suatu daerah terhadap sektor pendidikan dilihat dari persentase pengeluaran sektor pendidikan bukan nilai absolutnya), maka terlihat bahwa tidak ada jaminan bahwa daerah-daerah yang lebih kaya akan mengalokasikan prosi dana yang lebih besar untuk pembangunan sektor pendidikan.
3. Masalah Alokasi Dana APBN
Persoalan utama berkaitan dengan target anggaran pendidikan 20 persen adalah masalah kemampuan finansial (affordability) pemerintah. Jadi, kurang lebih, yang dimaksud sebagai anggaran pendidikan di sini adalah apa yang dikenal sebagai anggaran pembangunan (bukan anggaran rutin). Kemampuan fiskal bisa dilihat dari struktur pengeluaran APBN, misalkan APBN 2004. Untuk tahun 2004, sekitar 15 persen dari APBN akan digunakan untuk keperluan belanja pegawai, 19 persen untuk membayar cicilan bunga hutang, dan 31 persen untuk transfer ke daerah. Itu merupakan jenis-jenis pengeluaran yang tak terhindarkan, baik karena “terlanjur” maupun karena ketentuan perundang-undangan. Pos tak terhindarkan itu total memakan sekitar 65 persen dari APBN.
Pertama, alokasi di bawah 20 persen untuk pendidikan hingga saat ini tidak dengan serta-merta bisa dianggap sebagai penyimpangan terhadap konstitusi. Dalam kondisi tekanan fiskal seperti sekarang ini, siapa pun pemerintahnya, target 20 persen itu tidak akan bisa tercapai.
Kedua, siapa pun yang berjanji akan mengalokasikan anggaran 20 persen untuk pendidikan dalam jangka pendek, dia pasti akan dengan terpaksa mengingkari janjinya.
Di luar masalah kemampuan finansial, ada sejumlah pertanyaan seputar ketentuan normatif tersebut.
Pertama, menyangkut dasar penentuan target anggaran. Angka persen sangat mekanistik, dan tidak menjamin kecukupan anggaran. Mengapa? Karena ketentuan tersebut tidak didasari oleh sebuah perhitungan yang teliti tentang kebutuhan anggaran, khususnya perhitungan biaya satuan (unit cost). Akibatnya, angka 20 persen itu menjadi sangat relatif, bisa cuk up, bisa kurang, bisa juga “berlebih”. Meskipun terlihat “aneh”, kemungkinan “kelebihan” dana tersebut sangat mungkin terjadi.
kedua, yakni terkait dengan otonomi daerah. Kalau berbicara tentang alokasi APBN, berarti kita sedang berbicara tentang pengeluaran pemerintah pusat. Seperti beberapa kali disinggung di bagian terdahulu, di era otonomi daerah ini, kewenangan pusat di sektor pendidikan sangat terbatas, yakni di bidang kurikulum dan penetapan standar, selain tanggung jawab untuk pengelolaan perguruan tinggi. Itu pun dengan catatan bahwa peran pemerintah di tingkat perguruan tinggi lebih banyak di bidang regulasi dan pengawasan. Di luar itu, khususnya dalam pengelolaan Wajib Belajar, menjadi tanggung jawab daerah.
Kalau pusat akan mengalokasikan langsung ke sekolah-sekolah, pasti akan muncul masalah mistargeting. Salah satu kelemahan utama pusat adalah ketidakmampuannya mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan di tingkat mikro (sekolah). Kalau disalurkan melalui pemerintah daerah, untuk kemudian pemda mengalokasikan ke sekolah-sekolah, ini seperti pola lama. Sense of belonging pemda untuk kasus-kasus seperti ini terbukti scara umum rendah, kontrol masyarakat juga minim, sehingga kemungkinan penyimpangan menjadi sangat terbuka. Lagipula, kalau akhirnya dialokasikan melalui Pemda, mengapa anggaran itu tidak langsung dialokasikan ke daerah saja (melalui mekanisme dana perimbangan) tanpa perlu melalui instansi pusat?
Ada ide untuk menggunakan Dewan Pendidikan yang merupakan institusi multistakeholder di tingkat kabupaten/kota untuk menyalurkan dana itu. Padahal, institusi yang relatif baru tersebut belum teruji akuntabilitas dan efektifitasnya sejauh ini.
4. Alternatif Solusi di Tingkat Pusat: Perluasan DAK Sektor Pendidikan
Salah satu alternatifnya adalah, dana 20 persen APBN untuk pendidikan untuk dialokasikan kepada daerah melalui mekanisema DAK (dana alokasi khusus).
Dengan mekanisme DAK, rantai panjang dari pusat ke daerah yang rawan KKN akan bisa dipangkas. Dengan mekanisme DAK, tertutup kemungkinan Pemda untuk mengalokasikan dana itu untuk keperluan di luar sektor pendidikan. Selain itu, pusat juga masih memiliki kewenangan untuk melakukan kontrol dalam batas-batas wajar terhadap penggunaan dana tsb.
Masalahnya adalah hingga saat ini peraturan yang ada hanya mengizinkan penggunaan DAK untuk keperluan pembangunan fisik. Padahal untuk pendidikan keperluan non-fisik yang berorientasi pada peningkatan kualitas juga tak kalah penting. Selain itu, DAK juga mensyaratkan adanya “dana pendamping” dari Pemda. Itu jelas tidak cocok kalau akan digunakan sebagai mekanisme penyaluran dana 20% APBN. Kalau begitu, kenapa tidak peraturannya saja yang diubah?
5. Alternatif Solusi di Tingkat Daerah: Sistem “Earmarking”
Dari sisi pembiayaan pendidikan di daerah, idenya adalah bagaimana mencari sumber pembiayaan pendidikan yang memiliki dua karakteristik dasar. Pertama, cukup dan stabil bagi sektor pendidikan di daerah untuk memenuhi target 20% anggaran untuk pendidikan. Kedua, berada dalam kewenangan Pemda, sehingga memungkinkan dijadikan “kebijakan fiskal” di daerah (dinaikkan/diturunkan jika dianggap perlu). Salah satu alternatif yang mungkin adalah menerapkan sistem earmarking. Pada prinsipnya, dalam sistem earmarking ada suatu sumber penerimaan yang secara transparan dan konsisten dialokasikan untuk keperluan sektor pendidikan. Sumber penerimaan tersebut harus merupakan sumber penerimaan yang berada dalam kewenangan Pemda.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat, selain dengan transfer dana dari Pusat ke Daerah, sektor pendidikan dibiayai dengan property tax (analog dengan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia) yang merupakan pajak daerah. Jadi, tinggi-rendahnya tariff property tax ditentukan oleh besar-kecilnya kebutuhan pendanaan pendidikan di daerah tersebut. Jika suatu daerah ingin pembangunan pendidikannya lebih baik dibandingkan daerah lain, secara sadar mereka tahu bahwa itu artinya mereka harus membayar property tax yang lebih tinggi.
Ada beberapa keuntungan diterapkannya sistem earmarking ini. Pertama, kebijakan perpajakan daerah ada di tangan Pemda (dalam koridor UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Kedua, ada “mekanisme transaksi” yang jelas antara pemungut pajak dengan wajib pajak. Dalam banyak kasus, masyarakat Indonesia mau membayar cukup besar untuk keperluan sektor publik jika mereka yakin bahwa uang tersebut digunakan dengan baik. Dengan kata lain, dengan sistem ini ada potensi untuk memobilisasi dana yang lebih besar untuk sektor pendidikan. Selain itu, sistem ini juga lebih accountable. Masyarakat mudah melihat penggunaannya, yakni dengan mengkaitkan antara penerimaan pajak tertentu dengan anggaran pendidikan. Meskipun demikian, ada beberapa aspek yang seringkali dipandang sebagai kelemahan sistem earmarking, yakni adanya spillover effect. Pembangunan pendidikan di suatu daerah bisa juga dinikmati oleh penduduk dari daerah lain. Hal ini bias menimbulkan masalah ketidakadilan, karena artinya penduduk suatu daerah juga membiayai pendidikan penduduk daerah lain.
Akan tetapi, patut dicatat bahwa spillover effect terindikasi hanya terjadi di kotakota besar. Selain itu, bagi kepentingan nasional hal ini tidak buruk. Artinya, masalah ini sebenarnya bisa dinegosiasikan, misalkan melalui mekanisme inter-governmental transfer sebagai kompensasi, baik yang berupa transfer antar daerah maupun dari Pusat ke Daerah.
Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab sebelum mengimplementasikan sistem earmarking ini. Pertanyaan-1: Apakah daerah mampu menanggung pengeluaran pembangunan sektor pendidikan dengan sumber penerimaannya sendiri, khususnya dari Pajak Daerah?
Meskipun demikian ada beberapa daerah yang sebenarnya mampu, dengan catatan sector pendidikan dijadikan prioritas pembangunan. Beberapa kota besar seperti Medan, Padang, Yogyakarta dan Surabaya memiliki penerimaan pajak daerah yang nilainya lebih dari lima kali anggaran pembangunan pendidikan.
Pertanyaan-2: Jenis penerimaan apakah yang akan di-earmark untuk dialokasikan bagi sektor pendidikan? Paling tidak ada dua jenis pajak daerah yang sesuai, yakni Pajak Hotel dan Restoran (untuk kota) atau Pajak Pengambilan Bahan Galian C (untuk kabupaten). Kedua jenis pajak daerah ini biasanya nilainya cukup signifikan di masingmasing wilayah.
Yang tidak boleh dilupakan adalah sebuah proses yang transparan dan demokratis jika ada dearah yang ingin menerapkan ide ini. Masyarakat secara luas harus dilibatkan agar kebijakan ini mendapatkan dukunngan politik dan finansial dari berbagai pihak, khususnya masyarakat sebagai stakeholder kunci sektor pendidikan.
4. Analisis secara evaluative masalah-masalah pendidikan yang ada di Indonesia, kemudian buatlah Visi-misi dan strategi pendidikan jika kita menjadi seseorang ……….. ( tokoh politik, Gubernur, Menteri dsb )
JAWABAN
1. Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP).
Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya adalah, jelas ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia. Ditinjau secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai masalah itu dapat dikategorikan dalam
2 (dua) masalah yaitu :
Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan.
Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraaan guru, dan sebagainya.
2. Masalah Mendasar : Sekularisme Sebagai Paradigma Pendidikan
Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Tapi perlu diingat, sekularisme itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti “iman” dan anti “taqwa”. Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah privat dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekular, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai perilaku individu).
Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus.
Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.
Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.
Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya.
Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kacaunya kurikulum ini tentu saja berawal dari asasnya yang sekular, yang kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguasaan tsaqâfah Islam dan pembentukan kepribadian Islam.
Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang pandai yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan tsaqâfah Islam. Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang tetap saja ‘buta agama’ dan rapuh kepribadiannya? Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai tsaqâfah Islam dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi, di sisi lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan teknologi.
Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan, dan jasa) diisi oleh orang-orang yang relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, Depag), tidak mampu terjun di sektor modern.
Jadi, pendidikan sekular memang bisa membikin orang pandai, tapi masalah integritas kepribadian atau perilaku, tidak ada jaminan sama sekali. Sistem pendidikan sekular itu akan melahirkan insan pandai tapi buta atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, yang dihasilkan adalah orang pandai tapi korup. Profesional tapi bejat moral. Ini adalah out put umum dari sistem pendidikan sekular. Mari kita lihat contoh negara Amerika atau negara Barat lainnya. Ekonomi mereka memang maju, kehidupan publiknya nyaman, sistim sosialnya nampak rapi. Kesadaran masyarakat terhadap peraturan publik tinggi. Tapi, perlu ingat bahwa agama ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum tapi agama tidak boleh bersifat publik. Hari raya Idul Adha tidak boleh dirayakan di lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon. Pelajaran agama tidak saja absen di sekolah, tapi murid-murid khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan sholat 5 waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan anak sekolah bebas, asal tidak melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi dalam kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah agama.
Sistem pendidikan yang material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.
3. Masalah-Masalah Cabang
Masalah-masalah cabang yang dimaksud di sini, adalah segala masalah selain masalah paradigma pendidikan, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Masalah-masalah cabang ini tentu banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :
3.1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
3.2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3.3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
3.4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
3.5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut
3.6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
3.7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
4.Solusinya4.1. Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Ini sangat penting dan utama.
Solusi masalah mendasar itu adalah merombak total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas sekularisme diubah menjadi asas Islam, bukan asas yang lain. Bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
4.2. Solusi Masalah-Masalah Cabang
Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, sistem pendidikan di Indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, antara lain :
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan gutu,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Untuk mengatasi masalah-masalah cabang di atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan gutu, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
VISI. MISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN
Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Makna Insan Indonesia Cerdas Komprehensif
Makna Insan Indonesia Kompetitif
Cerdasspiritual
• Beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul.
Kompetitif
• Berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan
• Bersemangat juang tinggi
• Mandiri
• Pantang menyerah
• Pembangun dan pembina jejaring
• Bersahabat dengan perubahan
• Inovatif dan menjadi agen perubahan
• Produktif
• Sadar mutu
• Berorientasi global
• Pembelajar sepanjang hayat
Cerdasemosional & sosial
• Beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya.
• Beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang:
– membina dan memupuk hubungan timbal balik;
– demokratis;
– empatik dan simpatik;
– menjunjung tinggi hak asasi manusia;
– ceria dan percaya diri;
– menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara; serta
– berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara.
Cerdasintelektual
• Beraktualisasi diri melalui olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
• Aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif.
Cerdaskinestetis
• Beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insan yang sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil, dan trengginas.
• Aktualisasi insan adiraga.
MISI PENDIDIKAN
MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG MAMPU MEMBANGUN INSAN INDONESIA CERDAS KOMPREHENSIF DAN KOMPETITIF.
1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
5. Jelaskan posisi pendidikan Indonesia dalam kompleksitas
JAWABANKOMPLEKSITAS persoalan dunia pendidikan pada negara-negara dunia ketiga, sepertinya statis dari waktu ke waktu. Demikian halnya yang terjadi di Indonesia, persoalan pendidikan belum beranjak menuju perubahan yang cukup signifikan. Orientasi pendidikan tetap menjadi perdebatan klasik dan selalu dipertanyakan. Sistem pendidikan yang ada di negara-negara berkembang pada umumnya memang merupakan gambaran dari kondisi sosial ekonomi serta politik bangsanya, demikian halnya yang terjadi di Indonesia. Bahkan bila kita mencermati terminologi Clifford Geertz, dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia sedang mengalami involusi. Manusia-manusia Indonesia yang bergulat dalam bidang pendidikan bukan makin cerdas, berwawasan luas, berdedikasi, kreatif, jujur dan adil atau beretos kerja tinggi. Pendidikan di Indonesia, dalam waktu yang lama, mengalami kemunduran, mengerut atau mungkret.Sedangkan menurut Suparinah Sadli, psikolog UI, perbaikan pendidikan yang selama ini kita lakukan terasa hanya tambal sulam. Kita belum menyentuh masalah yang prinsip, yakni masalah-masalah yang harus diperbaharui. Kita seakan-akan hanya jatuh cinta pada hal-hal baru, tetapi tidak membuat perbaikan, mulai dari masalah-masalah yang mendasar (Prisma 2, 1981).
Pendidikan diyakini sebagai instrumen untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Meminjam istilah Paulo Freire, “Sebagai sarana penyadaran manusia pada realitas kediriannya”. Pendidikan pun diyakini dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan dan status sosial seseorang. Pada perjalanannya, pendidikan terus menerus mengalami devolusi berkaitan dengan kepentingan konstelasi ekonomi politik (economic political interest) yang dikenal dengan globalisasi.
Dominasi globalisasi dalam penciptaan kapitalisme pendidikan di Indonesia nampak begitu jelas. Perguruan Tinggi Negeri harus didivestasikan (di-BHMN-kan). pengalokasian anggaran 20 persen bagi subsidi pendidikan oleh pemerintah, sampai sekarang belum terbukti. Bahkan yang terjadi adalah kenaikan biaya pendidikan yang memberatkan rakyat. Imbasnya, industrialisasi dan komersialisasi pendidikan pun terjadi. Pendidikan menjadi barang mahal, tak terjangkau oleh masyarakat bawah, bahkan pendidikan menjadi komiditas atau barang dagangan. Logikanya, siapa mampu membayar, dia yang akan menikmati dan mendapatkan pendidikan layak. Hanya mereka yang punya kapital besar (capital power) yang bisa mengenyam pendidikan.
Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Data yang dilaporkan oleh The World Economic Forum Swedia (2000), menyebutkan bahwa Indonesia hanya menempati urutan ke – 37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Masih dari lembaga yang sama, Indonesia hanya menjadi follower teknologi dari 53 negara di dunia.
Keadaan itu juga dipertegas oleh Balitbang (2003), bahwa dari 146.052 SD di Indonesia hanya delapan saja yang terakui dunia dalam kategori The Primary Years Program. Dari 20.918 SMP di Indonesia, ternyata juga hanya delapan yang terakui dunia dalam kategori The Middle Years Program, dan dari 8.036 SMA hanya tujuh sekolah saja yang terakui dunia dalam kategori The Diploma Program.
Dari data – data di atas, kita dapat mengetahui secara jelas ada masalah dalam sistem pendidikan Indonesia. Apa saja masalah – masalah itu?
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Seperti yang kita ketahui, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedung – gedungnya telah rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap dan banyak yang rusak, laboratorium tidak standar, serta pemakaian teknologi informasi tidak memadai. Bahkan yang lebih parah, masih banyak sekolah kita yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, dan tidak memiliki laboratorium.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia sangat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk melaksanakan tugasnya sebagaimana tertuang dalam pasal 39 UU No. 20/2003, yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian, dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia dinyatakan tidak layak mengajar. Hal itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu, yang tingkat berpendidikan hanya sampai SPG (SMA) atau berpendidikan diploma D2 ke bawah.
Walaupun guru bukan satu – satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tetapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, guru memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yan menjadi tanggung jawabnya.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai andil dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Menurut FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan sebesar Rp 3.000.000. Tetapi lihatlah kenyataan sekarang, rata – rata gaji guru PNS Rp 1.5000.000, guru bantu Rp 460.000, dan guru honorer rata – rata Rp 10.000 per jam. Dengan pendapatan seperti itu, banyak guru yang melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, membei les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang buku/LKS, pedagang ponsel dan pulsa, pedagang mie rebus, dan sebagainya.
Keadaan yang seperti itu juga mempunyai andil untuk mempengaruhi kualitas seorang guru. Bayangkan, seandainya guru – guru di Indonesia telah sejahtera, maka mereka akan benar – benar memusatkan segala aktivitasnya untuk melaksanakan tugasnya.
4. Mahalnya Biaya Pendidikan
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada kenyataannya lebih dimaknai untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan bagian MBS selalu diisyaratkan dengan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha mempunyai akses atas modal yang besar dan luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah/Dewan Pendidikan terbentuk, segala jenis pungutan uang sekolah berkedok "sesuai keputusan Komite Sekolah". Namun, peda tingkat implementasi, pungutan tersebut tidak transparan, karena yang dipilah menjadi anggota dan pengurus Komite Sekolah/Dewan Pendidikan adalah orang – orang yang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan hanya menjadi legitimator kebijaksanaan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legimitasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tidak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Sebesar 35 – 40 % dari APBN setiap tahunnya dialokasikan untuk membayar utang, dan hal tersebut merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga menjadi 8% saja.
Koordinator LSM Education Network for Justice, Yanti Mukhtar menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti pemerintah telah melegitimasi komersialisme pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab pendidikan ke pasar. Dengan begitu, sekolah akan memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu akan mematok biaya setinggi – tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu, di samping alasan – alasan lain. Akibatnya, rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan yang berkualitas akan terbatasi.
Seperti yang dituturkan pengamat ekonomi, Revrisond Bawsir, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah lama dirancang oleh negara – negara donor lewat Bank Dunia.
Jika alasan pendidikan bernutu itu harus mahal, maka argumen itu hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan negara – negara berkembang lainnya, banyak sekolah – sekolah bermutu namun biaya pendidikan rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak harus murah atau gratis, persoalannya adalah siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Tetapi pada kenyataannya, pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Pedahal keterbatasan dana bukan alasan bagi pemerintah untuk "cuci tangan".
Diakui atau tidak, krisis multidimensional yang melanda negeri ini membuka mata kita terhadap mutu pendidikan manusia Indonesia. Pun dengan sumber daya manusia hasil pendidikan yang ada di negeri ini. Memang, penyebab krisis itu sendiri begitu kompleks. Namun tak dipungkiri bahwa penyebab utamanya adalah sumber daya manusia itu sendiri yang kurang bermutu. Jangan harap bicara soal profesionalisme, terkadang sikap manusia Indonesia yang paling merisaukan adalah seringnya bertindak tanpa moralitas.
Dalam sebuah penelitian, diuangkapkan bahwa produktivitas manusia Indonesia begitu rendah. Hal ini dikarenakan kurang percaya diri, kurang kompetitif, kurang kreatif dan sulit berprakarsa sendiri (=selfstarter, N Idrus CITD 1999). Tentunya, hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down, dan yang tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas.
Dalam sebuah seminar yang bertajuk “Seminar Nasional Kualitas Pendidikan dalam Membangung Kualitas Bangsa” salah satu pembicaranya yakni Drs Engkoswara, M.Pd., dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, menegaskan bahwa, memang dewasa ini, sepertinya pendidikan seakan mengalami kemajuan dengan pertumbuhan sarjana, pascasarjana hingga doktor di berbagai bidang dan munculnya gedung-gedung sekolah hingga perguruan tinggi yang cukup mewah. Sayangnya, hingga kini pendidikan tidak bisa diakses secara merata oleh penduduk Indonesia.
Seiring dengan itu, tokoh cendikiawan muslim, Nurcholis Madjid mengakui bahwa, di Amerika, Jepang dan negara-negara lain baik di Asia dan Eropa, perkembangan pendidikan hampir merata. Sebab, anggaran yang dialokasikan ke pendidikan besar dan berjalan lancar. Tentu saja, pendapat ini tidak begitu saja dilontarkan. Menurutnya, paling tidak 65% penduduk Indonesia berpendidikan SD, bahkan tidak tamat. Selain itu kualitas pendidikan di negara ini juga dinilai masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Tak heran jika Indonesia hanya menempati urutan 102 dari 107 negara di dunia dan urutan 41 dari 47 negara di Asia.
Cak Nur –panggilan akrab sang profesor— menegaskan dalam laporan statistik, penyandang gelar doktor (S3) di Indonesia sangat rendah. Dari satu juta penduduknya, yang bergelar S3 (diraih secara prosedur) hanya 65 orang. Amerika dari satu juta penduduknya, 6.500 orang bergelar S3, Israel 16.500, Perancis 5000, German 4.000, India 1.300 orang. Semua itu hasil dari pendidikan yang bermutu. Bolehlah kita berkaca pada Korea Selatan. Negara ini memberikan prioritas untuk majukan pendidikan. Pengadaan sandang, pangan dan papan perlu tapi pembangunan pendidikan jangan sampai dianaktirikan. Kemajuan sebuah negara sangat ditentukan tingkat pendidikan sumber daya manusianya. Contoh lainnya, Malaysia yang pada tahun 1970-an, masih mengimpor tenaga pengajar dari Indonesia. Kini, pendidikan di Malaysia jauh di atas Indonesia. Mengapa? Pemerintahnya memberikan perhatian yang sangat serius. Tidak seperti di Indonesia, pendidikan kurang diperhatikan
Memang, tak dipungkiri kalau lulusan dari lembaga pendidikan di Indonesia kurang relevan dengan kebutuhan tenaga yang diperlukan, sehingga hasilnya kurang efektif dan mendorong terjadinya pengangguran intelektual. Permasalahan masih ditambah lagi dengan minimnya fasilitas pendidikan yang memadai.
Hal ini dipertegas lagi dengan pernyataan Rektor UPI, Prof Dr M Fakry Gaffar yang mengatakan bahwa universitas atau perguruan tinggi di Indonesia belum memiliki kemampuan untuk ”bertarung” dalam persaingan global. Karena itu, produk pendidikan negara ini masih kesulitan untuk bersaing dengan produk pendidikan negara lain. Namun, rendahnya kualitas itu tidak semata-mata karena sistem pendidikannya. Siswa atau mahasiswa Indonesia pun kurang memiliki upaya dan daya juang. Begitu pula dengan kurangnya akses masyarakat pada pendidikan itu sendiri. Bisa dibayangkan di negeri ini terdapat, 80 juta usia 6-24 tahun yang menuntut kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Namun sayang jumlah sebanyak itu belum tertampung.
Paling tidak, untuk mengatasi masalah ini, menurut Engkoswara ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama adalah revitalisasi budaya bangsa. Artinya bangsa ini harus kembali berpedoman kepada Pembukaan UUD 1945, bahwa pendidikan adalah upaya utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbudaya, yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki semangat juang yang tinggi dan memiliki kreativitas pribadi yang terpuji. Kedua, mengenai manajemen pendidikan. Sistem pendidikan nasional yang disempurnakan dan disahkan pada 2003, implementasinya harus dilakukan dengan manajemen atau pengelolaan yang proporsional dan profesional, baik di tingkat makro maupun di tingkat mikro.
Lebih pada pelaksanaanya, Fakry mengajukan delapan poin paradigma pendidikan yang baru yakni openess and flexibility in learning, integrasi pendidikan ke dalam setiap aspek kehidupan manusia, responsif terhadap perubahan, total learning, learning strategies, teacher-student roles in leraning, ICT (information and communication technology) in learning process serta learning content and learning outcome.
Dengan delapan poin itu, paling tidak akan menjadi dasar agenda pendidikan ke depan yakni, pembahasan kurikulum, pembaruan dalam proses pembelajaran, pembenahan manajemen pendidikan nasional, pembenahan pengelolaan guru dan mencari serta mengembangkan berbagai sumber alternatif pembiayaan pendidikan.
Tentu saja semua itu tak lepas dari anggaran biaya. Dalam hal ini, anggaran pendidikan kudu memadai dan harus diupayakan secara sungguh-sungguh agar anggaran pendidikan negeri ini sekurang-kurangnya mencapai 20% dari APBN ataupun APBD. Dan yang paling penting adalah, lembaga pendidikan sebaiknya bebas pajak. Bahkan bila perlu ada pajak untuk pendidikan.
Menyikapi hal ini, Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo dalam sebuah pidatonya di acara peringatan Hari Pendidikan Nasional menegaskan sesuai Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa Pemerintah berkewajiban memenuhi hak setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan, memberdayakan dan memberadabkan kehidupan bangsa sesuai amanat konstitusi dan Undang-undang Sisdiknas, dalam rangka mentransformasikan Indonesia menuju peradaban modern yang canggih, madani dan unggul.
Sebagai wujud nyatanya, pemerintah telah mengupayakan secara terus menerus perluasan dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan agar memenuhi kebutuhan pengembangan masyarakat, dan pembangunan kepemerintahan yang baik atau good governance. Hal ini dituangkan dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional, untuk kurun waktu 2004 – 2009. Renstra ini merupakan acuan bagi seluruh jajaran penyelenggara pendidikan, baik pemerintah pusat maupun daerah, serta masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan pendidikan sampai dengan 2009.
Konon, rencana strategis ini disusun dengan mempertimbangkan aspek legalitas, aspek prioritas, aspek perimbangan kewenangan pusat dan daerah dan melalui proses identifikasi masalah terhadap kondisi nyata pendidikan dewasa ini, baik pusat maupun daerah, yang selanjutnya dirumuskan dalam prioritas kebijakan pembangunan untuk kurun waktu lima tahun ke depan.
Dan sudah 61 tahun merdeka, mampukah kualitas pendidikan dapat diandalkan? Jawabanya, kembali lagi, bahwa mutu pendidikan, Indonesia ketinggalan jauh, di banding dengan negara-negara tetangga. Tentu saja, merosotnya mutu pendidikan, tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. Selama ini dan cenderung masih berlangsung hingga sekarang, perhatian pemerintah untuk memajukan pendidikan kurang. Dan selagi pembangunan pendidikan ditempatkan diurutan ke sekian. Maka jangan berharap Indonesia mampu tampil di era globalisasi yang terus menggerus dunia ini.
LANGKAH PERBAIKAN
Mengingat kompleksitas masalah pendidikan dan urgensi perbaikan yang harus dilakukan segera, setidaknya ada beberapa langkah yang dapat dilakukan.
Pertama, perumusan secara jelas filosofi pendidikan. Ini akan menjadi kompas dalam menjalankan konsep dan praktik pendidikan sehari-hari. Selama puluhan tahun penyelenggaraan pendidikan, kita gamang dalam menerjemahkan konsep ke dalam praktik. Salah satu faktor determinan yang menyebabkannya adalah ketiadaan filosofi yang dapat dijadikan visi dalam mendidik siswa/mahasiswa seperti apa yang ingin dihasilkan. Pancasila sebagai dasar negara dan semangat batin (grundnorm) bangsa, patut untuk dijadikan sandaran perumusan filosofi pendidikan bangsa.
Penjabaran selanjutnya, semangat pendidikan pembebasan layak untuk dikaji dan dikembangkan secara konseptual. Semangat pembebasan mengandung makna perjuangan dalam penemuan dan penegakan kebenaran. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sarana untuk memajukan budaya dan peradaban manusia. Pendidikan yang membebaskan melakukan kajian dan refleksi keadaan lingkungannya, masyarakatnya, karena pendidikan pembebasan tidak mengalienasi (mengasingkan) kelas dari realitas. Pendidikan pembebasan menyiram kesadaran kritis kepada para peserta didiknya di tengah sistem sosial dan global yang eksploitatif terhadap kaum lemah.
Kedua, peserta didik dan pendidik adalah tokoh sentral dalam dunia pendidikan. Artinya, maju-mundurnya dunia pendidikan Indonesia sangat tergantung pada bagaimana kondisi dan kualitas dari peserta didik dan pendidiknya. Untuk itu, pembicaraan dan pembuatan kebijakan mengenai pendidikan haruslah melibatkan dan menempatkan subjek pendidikan ini dalam porsi yang sepantasnya. Jangan sampai subjek pendidikan, yaitu peserta didik dan pendidik justru dijadikan objek, seperti yang kerap terjadi selama ini. Selain itu, relasi dosen-mahasiswa/guru-murid, sebagai sesama subjek pendidikan, sepantasnya berada dalam iklim egaliter yang proporsional. Dengan demikian, diperlukan suatu usaha kolaboratif berbagai pihak untuk bersama-sama melakukan transformasi relasi akademis mereka agar menjadi lebih demokratis.
Ketiga, pendidikan haruslah bersifat sosial. Hal ini mengandung dua makna, pertama pendidikan tidak bisa dilepaskan dari wacana masalah-masalah sosial yang berkembang dalam masyarakat. Sepatutnya dunia pendidikan senantiasa mengetengahkan persoalan-persoalan sosial di tengah di ruang-ruang kelas. Para dosen-mahasiswa, guru-murid, jadi terkondisikan untuk memahami berbagai persoalan masyarakat dan lingkungannya, sekaligus termotivasi untuk mencari solusi dengan menggunakan ilmu yang dimilikinya.
Makna kedua, dunia pendidikan, terutama dunia pendidikan tinggi, tetap memiliki tanggung jawab sosial kepada nasib masyarakat dan bangsanya. Ini merupakan antitesa dari mainstream pendidikan, yang merupakan imbas dari pendidikan ala orde baru, melepaskan masalah pendidikan dari persoalan sosial politik. Akibatnya, pendidikan menjadi ahistoris. Kebenaran ilmiah menjadi steril, diterima sebagaimana adanya, sebagai sesuatu yang sudah tidak dapat diperdebatkan lagi. Jika ini dibiarkan terus, dunia pendidikan tetap akan menjadi menara gading yang berjarak dengan realitasnya.
Alih-alih teori-teori sosial dapat progresif dan solutif, dalam menara gading kaum intelektual sebenarnya tidak tahu persis seperti apa situasi-kondisi dan problematika masyarakat. Pendidikan telah menjadi bagian dari main problem itu sendiri. Kita menyaksikan bagaimana proses dehumanisasi, konflik sosial, dominasi dan kekerasan berbasis gender, berbagai bentuk diskriminasi rasial dan keyakinan agama, marginalisasi terhadap kaum miskin dan kaum pinggiran, penggusuran kaum miskin, serta berbagai bentuk ketidakadilan sosial lainnya. Ironisnya, ilmu-ilmu sosial bahkan tak sanggup berbuat apa-apa ketika di depan mereka terjadi kejahatan terhadap anak-anak, jumlah anak yang dilacurkan meningkat, jumlah anak yang terlempar dari pendidikan melonjak. Ilmu-ilmu sosial seperti tidak peduli dan menjadi tidak relevan terhadap berbagai proses dehumanisasi yang justru semakin meningkat.
Keempat, pembangunan pendidikan jangka panjang. Harus disadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi yang buahnya tidak bisa langsung dipetik esok hari. Persoalan bangsa ini adalah tidak terbiasa untuk berpikiran strategis dan tidak terbiasa konsisten dalam menjalankan kebijakan-kebijakan perencanaannya. Pembangunan pendidikan jangka panjang dan konsistensi dalam menjalankannya cukup menjelaskan mengapa kondisi Malaysia saat ini mulai berlari meninggalkan Indonesia, padahal pada tahun 70-an mereka masih belajar dari universitas-universitas kita. Untuk itu, kita harus bekerja keras dalam merumuskan perencanaan strategis pendidikan yang baik dan matang dalam jangka waktu 20-30 tahun ke depan dan konsisten menjalankannya. Itu semua harus diawali dengan perumusan filosofi pendidikan sebagai landasan yang jelas dan kokoh sehingga dapat menentukan arah pendidikan yang mau dituju secara jelas dan terarah.
Kelima, inovasi dalam bidang pendidikan yang melibatkan :
1. Guru Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai. Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam proses pendidikan seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan tata usaha serta masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri. Dengan demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini seperti diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai dokter, sebagi motivator dan lain sebagainya. (Wright 1987)
2. Siswa Sebagai obyek utama dalam pendidikan terutama dalam proses belajar mengajar, siswa memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses belajar mengajar, siswa dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan intelegensia, daya motorik, pengalaman, kemauan dan komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa terjadi apabila siswa juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan, walaupun hanya dengan mengenalkan kepada mereka tujuan dari pada perubahan itu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, sehingga apa yang mereka lakukan merupakan tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan dengan konsekwen. Peran siswa dalam inovasi pendidikan tidak kalah pentingnya dengan peran unsur-unsur lainnya, karena siswa bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran pada sesama temannya, petunjuk, dan bahkan sebagai guru. Oleh karena itu, dalam memperkenalkan inovasi pendidikan sampai dengan penerapannya, siswa perlu diajak atau dilibatkan sehingga mereka tidak saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga mengurangi resistensi seperti yang diuraikan sebelumnya.
3. Kurikulum Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi kurikulum sekolah meliputi program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh karena itu kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pelaksanaan inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama dengan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa mengikuti program-program yang ada di dalamya, maka inovasi pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pembahruan pendidikan, perubahan itu hendaknya sesuai dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti dengan pembaharuan pendidikan dan tidak mustahil perubahan dari kedua-duanya akan berjalan searah.
4. Fasilitas Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak bisa diabaikan dalam dalam proses pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam pembahruan pendidikan, tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Fasilitas, terutama fasilitas belajar mengajar merupakan hal yang esensial dalam mengadakan perubahan dan pembahruan pendidikan. Oleh karena itu, jika dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan, fasilitas perlu diperhatikan. Misalnya ketersediaan gedung sekolah, bangku, meja dan sebagainya.
5. LingkupSosialMasyarakat. Dalam menerapakan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak, baik positif maupun negatif, dalam pelaklsanaan pembahruan pendidikan. Masyarakat secara tidak langsung atau tidak langsung, sengaja maupun tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa melibatkan masyarakat sekitarnya, inovasi pendidikan tentu akan terganggu, bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu atau dilibatkan. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan sebaliknya akan membantu inovator dan pelaksana inovasi dalam melaksanakan inovasi pendidikan.
6. Komponen-komponen pendidikan sangat penting , mengapa, bagaimana kedudukannya dan solusinya
JAWABAN
Komponen-komponen pendidikan, terutama jika hal tersebut diterapkan dalam satuan pendidikan, adalah bagian dari system persekolahan yang saling terkait dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Komponen-komponen tersebut secara umum terdiri dari :
a. Perencanaan dan evaluasi pendidikan
Tingkat Satuan pendidikan diberikan kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu satuan pendidikan.
Satuan pendidikan diberikan wewenang untuk melakukan evaluasi khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal, yang dilaksanakan oleh warga untuk memantau proses pelaksanaan dan mengevaluasi hasil dari program yang telah dilaksanakan.
b. Kurikulum
Kurikulum yang berlaku saat ini, adalah Kurikulum satuan Pendidikan ( KTSP ) dengan rambu-rambu yang diberikan BSNP dan berlaku secara nasional. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Panduan pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk :
(a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
(b) belajar untuk memahami dan menghayati,
(c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
(d) belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan
(e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
c. proses belajar mengajar
Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama satuan pendidikan. Satuan Pendidikan diberi kebebasan memilih strategi, metoda dan teknik-teknik pembelajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik pelajaran, siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di satuan pendidikan.
d. Ketenagaan
Pengelolaan ketenagaan ( tenaga pendidik dan tenaga kependidikan ) mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekruietmen, pengembangan, reward dan funishment, hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja dapat dilakukan oleh satuan pendidikan, kecuali yang menyangkut upah/gaji
e. sarana/prasaran pendidikan
Pengelolaan dan kegiatan perawatan preventif sarana/prasarana pendidikan mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan sampai pengembangan dilakukan oleh satuan pendidikan, karena yang paling mengetahui kebutuhan sarana/prasarana, baik kecukupan, kesesuaian maupun kemutakhirannya adalah satuan pendidikan itu sendiri
f. pembiayaan/keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan anggaran sudah sepantasnya dilakukan oleh satuan pendidikan. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa Satuan pendidikanlah yang paling memahami kebutuhannya sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan anggaran sudah seharusnya dilimpahkan ke satuan pendidikan. Satuan Pendidikan juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menghasilkan penghasilan, sehingga tidak tergantung pada pemerintah
g. Pelayanan siswa/kesiswaan
Pelayanan siswa,mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan atau memasuki dunia kerja didesentralisasikan kepada satuan pendidikan dengan intensitas yang lebih tinggi
h. Hubungan sekolah dan masyarakat
Esensi hubungan satuan pendidikan dengan masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan financial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan tersebut adalah hubungan yang intensif dan kemitraan
i. Budaya/iklim sekola
Budaya sekolah/iklim sekolah yang kondusif, merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses pembelajaran yang efektif. Lingkungan yang aman dan tertib, optimism dan harapan ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah contoh-contoh budaya sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa.
Masing-masing komponen pendidikan tersebut, kedudukan, fungsi, peran dan berbagai solusinya saling terkait, tidak dapat dipisahkan, dan direkat dalam sebuah kopling renggang pendidikan. Konsep “coupling renggang” pada awalnya dikemukakan Karl Weick (Hall & Hord, 2006). Coupling dimaksud adalah pengikat antara satu komponen dengan komponen lain yang saling bergantung dan terhubung dalam suatu sistem,semisal system pendidikan.
Dalam argumen Weick, ada bagian atau komponen tertentu yang terikat kuat dalam sebuah sistem, dan kadang ditemukan coupling merenggang akibat aus setelah dipakai atau pengikatannya yang belum kuat. Coupling yang renggang bila terkadi pada mesin kendaraan akan berbahaya bagi perputaran mesin kendaraan tersebut, yang selanjutnya membahayakan orang-orang yang mengendarainya.
Sebagaimana dalam sistem kerja mesin kendaraan, sistem kerja pendidikan juga mengalami hal yang sama. Maksudnya, kalau sistem mesin bisa merenggang coupling-nya, dalam sistem pendidikan bisa juga terjadi. Kalau kerenggangan coupling pada mesin kendaraan dapat menimbulkan bahaya, maka kerenggangan pada coupling komponen-komponen dalam sistem pendidikan lebih-lebih lagi. Pasalnya, sistem mesin kendaraan hanya membawa sejumlah penumpang, seperti jumlah penumpang pesawat yang hanya puluhan atau ratusan. Namun sistem pendidikan membawa banyak orang dalam suatu wilayah atau bahkan negara. Lantas, bagaimana dengan coupling komponen-komponen sistem pendidikan kita saat ini? Adakah terjadi kerenggangan coupling-nya? Bagaimanakah memperbaiki kerenggangan itu agar tidak membahayakan para “penumpang” yang mengendarai sistem pendidikan kita? Untuk menjawab pertanyaan itu, pertama sekali perlu mengurut komponen pendidikan, baik komponen utama maupun komponen tambahan, dari sistem pendidikan kita. Dalam sistem pendidikan kita, cukup banyak komponennya, baik pada level makro maupun level mikro. Pada level makro, misalnya, ada komponen-komponen berupa visi pendidikan, standard, kebijakan pemerintah terhadap pendidikan, dan lain-lain. Karena komponen itu diputuskan dengan melibatkan banyak komponen antara lain, pihak eksekutif dan legislatif, maka mereka juga termasuk komponen yang mempengaruh couplingpendidikan. Sedangkan pada level mikro adalah komponen-komponen pendidikan yang terlibat dalam implementasi program pendidikan di lapangan. Guru, kepala sekolah, kurikulum, biaya, masyarakat dan fasilitas adalah komponen utama yang berada pada levelini.
Kalau dicermati saat ini, tidak sedikit coupling komponen itu mengalami kerenggangan di berbagai level. Sebagai contoh, antara pihak Pemerintah dengan pihak legislatif belum memiliki komitmen kuat untuk mewujudkan dana pendidikan sebagaimana diundang-undangkan sebanyak 20 persen. Nasib serupa dialami UU no. 14/2005 tentang sertifikasi guru. Hal ini menandakan renggangnya coupling dalam bentuk komitmen pada level makro. Lemahnya coupling pada level makro tersebut berimplikasi pada lemahnya level mikro.
Proses penyelenggaraan pendidikan dengan dana terbatas menjadi tidak seperti diharapkan. Pendidikan dilaksanakan apa adanya, untuk tidak menyebutkan asal jalan saja. Pelaksanaan kurikulum, misalnya, terhambat oleh ketidakcukupan fasilitas pendukungnya, seperti koleksi perpustakaan, kemampuan guru yang sinkron dengan kurikulum, dan sebagainya. Akibatnya, banyak pihak mengambinghitamkan kurikulum ketika tak tercapai seperti yang diharapkan. No child left behind
Kenyataan di Indonesia mengingatkan akan Undang-Undang NCLB (No Child Left Behind) pada waktu pertama sekali diimplementasikan di Amerika Serikat tahun 2002. Tingginya ekspektasi dari pemberlakuan UU yang didelegasikan oleh Pemerintah Federal itu, membuat para guru mengeluh. Sampai ada yang memplesetkan NCLB menjadi No Cow Left Behind. Namun Pemerintah Amerika Serikat sudah memperkirakan akan timbul masalah-masalah demikian pada tahap implementasi NCLB. Makanya berbagai respon sudah disiapkan sebagai bentuk tanggung jawabnya. Anggaran dikucurkan pada jumlah memadai untuk membantu pelaksanaannya, setelah mendapat persetujuan para anggota dewan. Sekolah diwajibkan untuk memberikan kepastian agar setiap anak benar-benar belajar. Guru diberikan tunjangan tambahan dan fasilitas pendukung lainnya pada level memadai. Orangtua (wali murid) diberikan informasi secara terus-menerus dan ditawarkan pilihan jika anak-anak mereka membutuhkan les tambahan gratis. Jadi semua pihak dilibatkan secara intensif untuk mewujudkan ekspektasi dari NCLB. Setelah beberapa tahun diterapkan dengan segenap kerja serba ekstra, barulah guru-guru menyadari dampak positif dari pelaksanaan NCLB tersebut. Hasil-hasil penelitian tentang implementasi NCLB menunjukkan bahwa betapa banyak siswa meningkat prestasinya (US. Department of Education, 2007). Termasuk juga para siswa dari kalangan minoritas dan yang sebelumnya dianggap “bermasalah” dalam belajar. Nampak sekali betapa kuatnya coupling antar komponen dari berbagai level dalam pendidikan mereka.
Kalau membandingkan dengan cara kerja di negeri kita, pastilah banyak orang menangkis dengan jurus klasik; “jangan bandingkan dengan negara maju.” Padahal di sisi lain, kita ingin maju dan cara-cara demikian bisa dilakukan. Syaratnya, coupling semua komponen dalam sistem pendidikan kita dipererat
7. Jelaskan kewenangan dan tanggung jawab secara makro, messo dan mikro perihal ketenagaan dan pendanaan pendidikan
JAWABAN
Kebijakan Otonomi Daerah dimaksudkan untuk mencapai sasaran-sasaran; peningkatan pelayanan publik melalui pengembangan kreativitas masyarakat dan aparat daerah, kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan, menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dan menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah. Otonomi daerah merupakan cerminan dari; demokratisasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, yang disesuaikan dengan potensi dan keanekaragaman Daerah. Ditandai oleh perubahan mendasar dari pemerintahan yang sentralistik-otoriter-birokratik yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun ke pemerintahan yang partisipatoris-demokratik.
Sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat plural dan dengan kemampuan SDA dan SDM yang beraneka perbedaan antara satu daerah dengan lainnya memerlukan usaha besar dan waktu panjang untuk mewujudkan otonomi daerah.
Kewenangan pemerintah
Pemerintah pusat mempunyai kewenangan (yang masih sentralistik) di bidang; politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama [ UU No: 22/1999 pasal 7(1)] serta kewenangan dalam; perencanaan nasional dan pembangunan makro, dana perimbangan, pembangunan dan pemberdayaan SDM, pemberdayaan SDA, teknologi tinggi yang strategis, dan konservasi dan standarisasi nasional [UU No: 22/1999 pasal 7(2)].
Pemerintah berperan pula menfasilitasi penyelenggaraan otonomi daerah dengan; mengeluarkan pedoman, memberikan bimbingan, mengadakan pelatihan, memberikan arahan dan melakukan supervisi [UU No: 22/1999 pasal 112] serta mengawasi dan membatalkan peraturan daerah dan keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan yang lebih tinggi atau peraturan perundangan lainnya [ UU No: 22/1999 pasal 114].
Pemerintah propinsi mempunyai kewenangan pemerintah lintas Kabupaten/Kota serta; perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang tertentu, alokasi SDM potensial, penelitian yang mencakup wilayah propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang, budaya dan pariwisata, penanganan penyakit menular, hama tanaman dan perencanaan tata ruang propinsi [ UU No: 22/1999 pasal 9(1)].
Pemerintah propinsi dapat melaksanakan kewenangan wajib yang belum dapat dilaksanakan Kabupaten/Kota setelah ada pernyataan Kabupaten/Kota dan kewenangan wajib tertentu Kabupaten/Kota dengan kesepakatan antara Kabupaten/Kota dengan Propinsi [UU No: 22/1999 pasal 9(2)].
Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah [UU No: 22/1999 pasal 9(3)], termasuk kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah [UU No: 22/1999 pasal 1(k)].
Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan selain yang diatur dalam pasal 7(1), (2), dan pasal 9 [ UU No:22/1999, pasal 11(1)] yang telah dirinci dalam PP 25/tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah Kabupaten/Kota meliputi; pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi, dan tenaga kerja [ UU No:22/1999 pasal 11(2)].
Realitas otonomi daerah
Kewenangan yang lebih besar di daerah yang disertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM [UU No:22/ 1999 pasal 8 (1)], telah diikuti langkah-langkah penataan; kewenangan, kelembagaan, personil, dokumen dan arsip, keuangan dan aset, dan peningkatan kapasitas lembaga daerah. Tim Koordinasi (instansi) Pusat yang semula diatur dalam Kepres 52/tahun 2000, telah disempurnakan dengan Kepres 157/tahun 2000 tentang pembentukan Tim Kerja Pusat implementasi UU No: 22/1999 dan UU No; 25/1999 Tim Kerja Pusat Kepres 157 merupakan cross functional team yang mempunyai tugas dan tanggung jawab besar dalam penataan instrumen otonomi daerah serta mengawasi dan mengusulkan pembatalan perda dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan lainnya.
Sementara Tim Kerja Pusat Kepres 157 berkonsentrasi pada penataan instrumen otonomi, justeru penyelenggaraan otonomi di daerah terkendala oleh masih adanya kewenangan yang belum sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh daerah. Kekurangan tersebut tidak selayaknya direspon dengan upaya menarik kewenangan tersebut ke pemerintah yang lebih tinggi, tapi dengan memfasilitasi daerah dalam penyelenggaraan otonomi. Masih banyak Departemen/LPND yang belum menindaklanjuti amanat UU No:22 tahun 1999 pasal 112 menyiapkan; pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, supervisi. Tim Kerja Pusat Kepres 157, masih memerlukan banyak pembenahan dalam mengkoordinasikan Departemen/LPND menyiapkan instrumen pembinaan
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
1. Pendahuluan
Implementasi otonomi daerah yang direncanakan akan mulai diberlakukan pada tahun 2001 mengacu pada dua UU, yaitu: UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah.
Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang termasuk sektor pelayanan dasar ng akan mengalami perubahan secara mendasar dengan akan dilaksanakannya
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, baik dari segi birokrasi kewenangan
penyelenggaraan pendidikan maupun dari aspek pendanaannya. Sebelum PP tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah secara resmi diberlakukan pemerintah, maka antisipasi implikasi otonomi daerah terhadap sektor pendidikan hanya dapat dilakukan dengan mengacu pada UU nomor 22 dan 25 tahun 1999. Tulisan singkat ini bertujuan untuk mengkaji implikasi implementasi UU Pemerintahan Daerah dan UU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah terhadap Desentralisasi Pendidikan dengan membahas: pertama, prinsip-prinsip desentralisasi pendidikan serta bagaimana proses desentralisasi dapat mempengaruhi faktor-faktor yang akan menentukan efektifitas sekolah, dan kedua, implikasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal terhadap desentralisasi pendidikan di Indonesia.1 1 Pembahasan pendidikan dalam tulisan ini dibatasi pada tingkat pendidikan: SD, SLTP dan SLTA, dan tidak termasuk jenjang pendidikan Perguruan Tinggi.
2. Prinsip-prinsip Desentralisasi Pendidikan2
Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu: pertama,
desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan distrik), dan kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin, di Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan Sekolah. Implisit ke dalam strategi desentralisi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan yang berasal yang pemerintah dan masyarakat).
Dilain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut, maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi proses belajarmengajar.
Partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah satu faktor yang paling menentukan. Dalam kenyataannya, desentralisasi pendidikan yang dilakukan di banyak Negara merupakan bagian dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan dan tidak 2 Pembahasan mengenai konsep desentralisasi pendidikan berikut ini mengacu pada Burki, et. al. (1999), khususnya chapter 4: “Empowering Municipalities or Schools? The Decentralization of Education”.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan 3 sekedar merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi pendidikan akan meliputi suatu proses pemberian kewenangan yang lebih luas di bidang kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal dan pada saat yang bersamaan kewenangan yang lebih besar juga diberikan pada tingkat sekolah.
Tipologi Kewenangan-kewenangan Pendidikan yang Dapat Didesentralisasikan
Organisasi dan poses belajar
mengajar
Menentukan sekolah mana yang dapat diikuti seorang murid.
Waktu belajar di sekolah.
Penentuan buku yang digunakan.
Kurikulum.
Metode pembelajaran.
Manajemen guru Memilih dan memberhentikan kepala sekolah.
Memilih dan memberhentikan guru.
Menentukan gaji guru.
Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada guru.
Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada guru.
Struktur dan perencanaan Membuka atau menutup suatu sekolah.
Menentukan program yang ditawarkan sekolah.
Definisi dari isi mata pelajaran.
Pengawasan atas kinerja sekolah.
Sumber daya Program pengembangan sekolah.
Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga administratif (personnel).
Alokasi anggaran non-personnel.
Alokasi anggaran untuk pelatihan guru.
Dari pengalaman negara-negara maju (OECD) dan beberapa negara Amerika Latin yang telah melakukan desentralisasi pendidikan dapat ditarik suatu benang merah yang memberikan kesimpulan sebagai berikut. Di negara-negara yang tergabung dalam OECD, kewenangan-kewenangan dalam hal: penentuan buku pelajaran, metode pembelajaran, tanggung jawab dalam pelaksanaan rencana pengembangan sekolah cenderung berlaku di tingkat sekolah dan tidak tergantung pada tingkat desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan pengamatan di negara-negara Amerika Latin me nyimpulkan bahwa kewenangan dalam menentukan kurikulum inti tetap berada pada pemerintah pusat, demikian pula dengan kewenangan dalam melaksanakan ujian-ujian yang diberlakukan secara nasional. Kesimpulan ini berlaku secara umum di negara-negara Amerika Latin, dan tidak tergantung pada tingkat desentralisasi dalam penyelenggaran pemerintahan dari masing-masing negara.
Desentralisasi pendidikan yang terjadi di negara-negara Amerika Latin tersebut
merupakan bagian dari desentralisasi politik dan fiskal penyelenggaraan pemerintahan, dari sistem pendidikan yang sentralistik ke sistem yang memberikan kewenangan lebih besar pada pemerintah daerah dan sistem yang melibatkan partisipasi masyarakat.
Desentralisasi pendidikan diharapkan akan mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan, meskipun studi empiris tentang hal ini di negara-negara Amerika Latin belum dapat dilakukan karena keterbatasan data, Salah satu cara dalam mempersiapkan desentralisasi pendidikan adalah dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar-mengajar, khususnya dari sekolah-sekolah unggulan. Mohrman and Wohlstetter, 1994; Creemers, 1994 and Darling-Hammond, 1997 seperti dikutip Burki, et.al., 1999 menyimpulkan
bahwa sekolah unggulan memiliki karakteristik-karakteristik: kepemimpinan yang kuat, staf pengajar dengan kualifikasi dan komitmen tinggi, fokus pada proses pembelajaran, dan bertanggung jawab terhadap hasil yang dicapai (lihat Tabel 2).
Proses desentralisasi sektor pendidikan yang meliputi pemberian kewenangan yang lebih besar ke pemerintah daerah dalam alokasi anggaran dan perencanaan pendidikan di daerah, serta pemberian kewenangan yang lebih besar pada sekolah dalam manajemen guru, pendanaan, pemilihan kepala sekolah manajemen proses belajar-mengajar diharapkan akan meningkatkan kualitas pendidikan.
3. Dari Sentralisasi Menuju ke Desentralisasi Pendidikan
Sistem pendidikan yang berlaku sampai saat ini bersifat sangat sentralistis, yang dimulai dari pemberlakuan satu kurikulum secara nasional, sampai dengan peranan pusat yang sangat dominan dalam pengelolaan guru (sekolah negeri). Misalnya, Pusat sangat dominan dan menentukan dalam setiap keputusan tentang proses rekrutmen, pengangkatan, penempatan, pembinaan dan mutasi guru. Demikian pula dari aspek keuangan. Gaji guru sekolah negeri ditetapkan dan dibayarkan pemerintah, meskipun gaji guru SD pengelolaannya dilaksanakan oleh Propinsi, sedangkan gaji guru SLTP dan SLTA langsung oleh Pusat melalui KPKN.
Dari segi dana di luar gaji yang dialokasikan pemerintah ke masing-masing sekolah,
diberikan dengan cara alokasi dana dari pusat ke daerah (kabupaten/kota) berdasarkan jumlah sekolah yang ada di daerah tersebut. Mekanisme alokasi dana dilakukan dengan perhitungan sejumlah dana yang sama untuk setiap sekolah berdasarkan jenjang pendidikan, tanpa memperhitungkan jumlah murid, lokasi ataupun tingkat kemakmuran ekonomi daerah tersebut. Cara seperti ini jelas mengandung banyak kelemahan, karena tidak memperhatikan sisi pemerataan (equity) dalam pengalokasian dana ke masingmasing sekolah.
Sejalan dengan proses desentralisasi yang segera akan diimplementasikan pemerintah melalui UU nomor 22 tahun 1999 dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota serta perimbangan keuangan pusat daerah sebagai berikut:
Kewenangan Pemerintah Pusat:
Melaksanakan kewenangan-kewenangan Pemerintah dalam bidang-bidangPertahanan/Keamanan, Politik Luar Negeri, Peradilan, Fiskal/Moneter, Agama serta kewenangan bidang Pemerintahan lainnya dan/atau Kebijakan Strategis yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Pemerintah Propinsi:
Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota yang menjadi tanggung jawab Propinsi, misalnya adalah kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan disamping kewenangan bidang pemerintahan
tertentu lainnya.
Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota:
3 Bidang lainnya yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah:
(i) Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan sektoral dan nasional secara makro; (ii) Kebijakan dana perimbangan keuangan; (iii) Kebijakan sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara; (iv) Kebijakan pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia; (v) Kebijakan pendayagunaan teknologi tinggi dan strategis, serta pemanfaatan kedirgantaraan, kelautan, pertambangan dan kehutanan/lingkungan hidup; (vi) Kebijakan konservasi; (vii) Kebijakan standarisasi nasional.
4. Kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya mencakup:
(i) Perencanaan pembangunan regional secara makro;
(ii) Pelatihan kejuruan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
(iii) Pelabuhan regional;
(iv) Lingkungan hidup;
(v) Promosi dagang dan budaya/pariwisata;
(vi) Penanganan penyakit menular dan hama tanaman;
(vii) Perencanaan tata ruang Propinsi.
Mencakup semua kewenangan Pemerintahan selain kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi. Secara eksplisit dinyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, pertanian, perhubungan, perdagangan dan industri, penanaman modal, lingkungan hidup, dan pertanahan.
Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah:
Di sisi fiskal, Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah menurut UU nomor 25 tahun 1999 (UU-PKPD) mengatur pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dengan mempertimbangkan aspek pemerataan antar daerah, potensi, kondisi, kebutuhan obyektif daerah serta tatacara pengelolaan dan pengawasan pelaksanaannya.
Sumber-sumber penerimaan daerah menurut UU-PKPD meliputi: (i). Pendapatan Asli Daerah (PAD); (ii). Dana Perimbangan; (iii). Pinjaman Daerah; (iv). Lain-lain
pendapatan yang sah. Daerah melaksanakan semua kewenangannya yang berkaitan
dengan desentralisasi dengan dibiayai dari anggaran daerah.
Penerimaan daerah yang berupa PAD masih mengacu pada UU nomor 18 tahun 1997
tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dana Perimbangan terdiri dari: bagian daerah atas hasil Sumber Daya Alam, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Dana Alokasi Umum merupakan transfer dari pusat ke daerah dalam bentuk block grant, dengan kriteria alokasi berdasarkan potensi ekonomi daerah dan kebutuhan obyektif daerah.
Penggunaan Dana Alokasi Umum diserahkan sepenuhnya pada daerah.
5. Dana Alokasi Umum (DAU):
- Berfungsi sebagai dana untuk pemerataan antar daerah.
- Besarnya DAU ditetapkan minimal 25% dari penerimaan dalam negeri APBN dengan pembagian 10% untuk propinsi dan 90% untuk kabupaten/kota.
- DAU untuk suatu Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan.
Porsi Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) merupakan proporsi bobot Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan terhadap jumlah semua Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan. Bobot daerah ditetapkan berdasarkan: kebutuhan wilayah otonomi daerah dan potensi ekonomi daerah.
Khusus merupakan transfer dari pusat ke daerah yang bersifat spesifik, yang
peruntukannya ditetapkan pusat.
6. Implikasi bagi Desentralisasi Pendidikan:
Implikasi otonomi daerah bagi desentralisasi pendidikan sangat tergantung pada
pembagian kewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Jika mengacu pada UU nomor 22 tahun 1999, maka kewenangan di sektor pendidikan yang terkait dengan (i) perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan sektoral dan nasional secara makro; (ii) kebijakan pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia; (iii) kebijakan standarisasi nasional akan ditangani pusat, lainnya akan ditangani daerah, khususnya daerah kabupaten/kota.
Masih belum jelas benar interpretasi pelaksanaan desentralisasi di bidang pendidikan dengan mengacu UU nomor 22 tahun 1999. Bagaimana dengan status kepegawaian guru, apakah tetap sebagai PNS nasional atau menjadi PNS daerah? Status guru sebagai PNS pusat atau daerah akan sangat berpengaruh pada alokasi anggaran, pembiayaan melalui APBN atau APBD. Implikasi lain dari status guru adalah fleksibilitas daerah dan sekolah dalam proses rekrutmen, pengangkatan, penempatan, mutasi, pemberhentian guru, serta evaluasi atas kinerja guru.
Dari aspek kurikulum, perlu kejelasan tentang kebijakan perumusan kurikulum, apakah hanya kurikulum inti yang akan ditetapkan oleh pemerintah pusat, sedangkan muatan lokal dalam persentase yang cukup signifikan diserahkan pada masing-masing daerah atau bahkan langsung pada masing-masing sekolah. Saat ini kurikulum sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat (Kurikulum 1994), dan daerah hanya dapat mengisi bagian kurikulum yang berupa muatan lokal dalam persentase yang sangat kecil.
Dana Alokasi Khusus (DAK):
- Dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu pembiayaan kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
- Kebutuhan khusus adalah: kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus DAU, dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional Misalnya: di Jawa Barat, muatan lokal kurikulum ditetapkan mata pelajaran bahasa Sunda dan Karawitan.
Mengenai alokasi dana dari pusat ke daerah, sampai saat ini belum ada kejelasan tentang perumusan alokasi DAU dan DAK ke daerah, apakah dana yang ditransfer pusat sebagai DAU sudah mencakup alokasi anggaran rutin dan pembangunan untuk sector pendidikan? Ataukah dana yang termasuk dalam transfer DAU hanya diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran non-personnel dari sektor pendidikan, karena Guru masih akan berstatus sebagai PNS Pusat? Hal-hal seperti ini akan sangat tergantung pada keputusan untuk tetap mempertahankan status guru sebagai PNS Pusat atau mendesentralisasikan pengelolaan guru kepada daerah sepenuhnya.
Demikian pula dengan alokasi DAK ke daerah, sektor prioritas apa saja yang masih diberikan DAK ke daerah, kriteria pengalokasiannya dan apakah sektor pendidikan termasuk sektor yang akan diberikan DAK, misalnya untuk daerah-daerah dengan pencapaian standar tingkat pendidikan dibawah rata-rata nasional.
Jika dana pendidikan untuk rutin (gaji guru) dan non-rutin ditransfer sepenuhnya ke daerah melalui mekanisme DAU, maka berapa besar yang akan dialokasikan ke sector pendidikan akan tergantung pada prioritas masing-masing daerah. Prioritas alokasi dana daerah selanjutnya tergantung pada pemerintah daerah dan DPRD setempat. Mengingat sektor pendidikan merupakan salah satu sektor pelayanan dasar, masih perlu adanya suatu ketentuan standar minimal pendidikan yang harus dicapai daerah, sehingga daerah memiliki acuan yang harus dicapai dalam perencanaan sektor pendidikan.
Pertanyaan terpenting tentang arah desentralisasi pendidikan adalah sampai seberapa jauh sekolah-sekolah akan diberi kewenangan yang lebih besar menentukan kebijakankebijakan:
organisasi dan proses belajar-mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan di tingkat sekolah, dan sumber-sumber pendanaan sekolah. Desentralisasi pendidikan yang efektif tidak hanya melibatkan proses pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih besar dari pusat ke daerah, tetapi juga meliputi pemberian kewenangan yang lebih besar ke sekolah-sekolah, sehingga mereka dapat merencanakan proses belajar-mengajar dan pengembangan sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing sekolah.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000
TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN
PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
a. Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman
pelaksanaannya.
b. Penetapan standar materi pelajaran pokok.
c. Penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik.
d. Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan .
e. Penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa.
f. Penetapan persyaratan pemintakatan/zoning, pencarian, pemanfaatan,
pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar
budaya serta persyaratan penelitian arkeologi.
g. Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum
nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, dan monumen yang
diakui secara internasional.
h. Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi
pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah.
i. Pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh serta
pengaturan sekolah internasional.
j. Pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota serta kewenangan dalam bidang
pemerintahan tertentu lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
(2) Kewenangan bidang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan
pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular dan hama tanaman dan perencanaan tata ruang Propinsi.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota, Propinsi dapat melaksanakan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.
(4) Kewenangan Kabupaten/Kota di bidang tertentu dan bagian tertentu dari kewenangan wajib dapat dilaksanakan oleh Propinsi dengan kesepakatan antar Kabupaten/Kota dan Propinsi.
(5) Kewenangan Propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikelompokkan dalam bidang sebagai berikut:
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
a. Penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat
minoritas, terbelakang, dan atau tidak mampu.
b. Penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan untuk
taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
luar sekolah.
c. Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan
kurikulum, akreditasi dan pengangkatan tenaga akademis.
d. Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi.
e. Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau penataran
guru.
f. Penyelenggaraan museum propinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan,
kajian sejarah dan nilai tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya
daerah.
0 komentar:
Posting Komentar