KEBIJAKAN PUBLIK DAN KINERJA BIROKRASI PENDIDIKAN
DALAM KOMPLEKSITAS PEMBANGUNAN
DOSEN PEMBINA : PROF DR H ACHMAD SANUSI
SOAL KE-1
Manajemen Kebijakan publik tingkat makro, pada tahap perencanaan maupun operasional dan pengawasannya, dimana-mana dewasa ini dihadapkan pada lingkungan eksternal yang buram ( tidak jelas ) berhubung :
a. Menyangkut banyak kepentingan dan banyak pihak dalam bidang sosial-ekonomi-politik-budaya
JAWABAN
Masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai atau kesempatan yang tidak terealisir namun dapat diatasi melalui tindakan publik. Dan tindakan publik dipacu, didorong, dan dikondisikan oleh aksi kebijakan pemerintah. Namun secara substansial, masalah kebijakan itu sendiri pada dasarnya merupakan serangkaian konstruksi mental atau konseptual yang diabstraksikan dari situasi masalah oleh para pelaku kebijakan.
William Dunn mengidentiifikasi ciri-ciri masalah kebijakan; antara lain bahwa;
Masalah Kebijakan itu saling tergantung satu sama lain. Dalam kenyataan masalah-masalah kebijakan bukan merupakan unit (kesatuan) yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari seluruh sistem masalah, yaitu sistem kondisi eksternal yang menghasilkan ketidak-puasan diantara segmen-segmen masyarakat yang berbeda. Karena itu, jarang masalah-masalah dapat didefinisikan dan dipecahkan secara sendiri-sendiri. Sistem masalah yang saling tergantung, dengan demikian, mengharuskan pendekatan holistik, suatu pendekatan yang memandang bagian-bagian sebagai tak terpisahkan dari keseluruhan sistem yang mengikatnya.
Selanjutnya, untuk memahami manajemen kebijakan publik, ada baiknya kita balik ke belakang untuk melihat berbagai definisi kebijakan publik yang diberikan oleh para ahli. Young dan Quinn dalam Edi Suharto (2005:44) memberikan penjelasan tentang kebijakan publik. :
Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis dan finansial
Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan konkrit yang berkembang di masyarakat
Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak
Sebuah keputusan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial
Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang aktor. Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan janji atau maksud yang belum dirumuskan.
Fenomena kebijakan publik tingkat makro sedang dihadapkan pada tantangan IEnorm (Norma internal dan eksternal). Tantangan internalnya adalah adaptasi model birokrasi menurut norma-ganda berdasar pada Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 dan Undang-undang nomor 32 Tahun 2005 yang harus mampu mempertinggi kinerja birokrasi. Sementara itu, tantangan eksternalnya bersangkut paut dengan urusan publik yang harus mampu memperluas jangkauan dan mempertinggi mutu layanan publik.
Pengembangan manajemen Kebijakan publik diprioritaskan pada revitalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik yang kondusif, transparan, impersonal, dan akuntabel, disertai dukungan sistem informatika yang sudah terarah pada pengembangan e-administration atau e-government. Khusus yang menyangkut administrasi pemerintahan yang bersentuhan dengan kebijakan publik, peran birokrasi lebih difokuskan sebagai agen pembaharuan, sebagai motivator dan fasilitator bagi tumbuh dan berkembangnya swakarsa dan swadaya serta meningkatnya kompetensi masyarakat dan dunia usaha.
Supaya manajemen kebijakan publik tingkat makro, yang pada tahap perencanaan maupun operasional dan pengawasannya tidak dihadapkan pada lingkungan eksternal yang buram ( tidak jelas ), maka perlu upaya-upaya mewujudkan pelayanan publik ke arah yang lebih baik, yang dapat dilakukan melalui:
Pertama, perlunya menata kembali sistem dan prosedur pelayanan publik, dan menempatkan orang yang tepat pada jabatan/pekerjaan yang tepat, meningkatkann komitmen dan kompetensi pelayanan.
Kedua, perlunya penataan struktur organisasi pemerintah pusat dan daerah, juga sistem hubungan yang menunjukan kesetaraan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah dan antar pemerintah daerah dalam mengelola tugas pelayanan, mempercepat sosialisasi dan internalisasi budaya otonomi dalam rangka implementasi UU OTDA yang baru secara tuntas, dan meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM yang lebih merata dalam pelayanan.
Ketiga, perlunya membangun tata kelola pelayanan berbasis e-Government, mempercepat penyusunan peraturan perudang-undangan yang bertalian dengan e-Government, dan menyiapkan SDM yang memiliki kompetensi e-Government.
Keempat, perlunya melakukan dan membangun pola pikir aparatur yang berorientasi pada pelayanan, membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, mengurangi peran lembaga pemerintah untuk hal-hal yang sudah dapat dilakukan masyarakat, membangun organisasi pemerintah berdasarkan pada kepercayaan, dan mengembangkan sistem yang berorientasi pada kepuasan pelanggan.
Kelima, perlunya mendorong terciptanya lembaga pelayanan publik yang standar dan terukur, dengan membangun sistem standarisasi pelayanan publik mulai dari input, proses dan output dalam pelayanan, kemudian dituangkan dalam SOP yang transparan sebagai pedoman bagi setiap lembaga pelayanan, dalam upaya mendorong dan prosedur yang lebih baik dalam pelayanan, dan meningkatkan kepedulian aparatur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Keenam, perlunya merubah peraturan perundang-undangan tentang sistem remunerasi yang menjamin terpenuhinya standar hidup layak dan kesejahtraan PNS, serta berorientasi pada “kelayakan kualifikasi dan kinerja pegawai dengan penghasilan yang diterima”.
Ketujuh, perlunya membangun sistem penilaian kinerja dan pengawasan yang berorientasi pada pemberian penghargaan dan sanksi pada individu pada setiap institusi pemerintah, dan didukung dengan peraturan dan ketentuan perundang-undangan tentang pemberian penghargaan dan sanksi yang tepat.
b. Tiap kelompok dan tingkat pertumbuhan serta kondisinya berbeda, bervariasi, sebagian ada kolaborasi dan lainnya kompetisi atau kontradiksi
JAWABAN
Menurut Dunn, masalah kebijakan itu memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu;
Pertama, bahwa ada dimensi subyektivitas dalam masalah kebijakan. Sebab, masalah kebijakan adalah hasil pemikiran yang dibuat pada suatu lingkungan tertentu; Masalah tersebut merupakan elemen dari situasi masalah yang diabstraksikan dari situasi eksternal oleh analis. Dengan demikian, yang dialami pada dasarnya adalah situasi masalah yang telah dikonstruksikan secara konseptual.
Kedua, bahwa Masalah itu bersifat buatan. Dengan kata lain bahwa masalah-masalah kebijakan hanya mungkin (muncul) ketika manusia membuat penilaian mengenai keinginan untuk mengubah beberapa situasi masalah; Dengan demikian masalah kebijakan merupakan produk dari penilain subyektif manusia. Namun masalah kebijakan juga dapat diterima sebagai definisi-definisi yang sah dari kondisi sosial yang obyektif.
Ketiga, Masalah Kebijakan itu dinamik. Terdapat solusi untuk suatu masalah, sebagaimana terdapat banyak definisi terhadap masalah tersebut. Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang konstan, dan karenanya, masalah tidak secara konstan terpecahkan, "... solusi terhadap masalah bisa jadi usang, meskipun masalah itu sendiri belum usang." .
Kebijakan publik dirancang, dilaksanakan dan sekaligus direview oleh birokrasi publik, dimana masalah-masalah strategis yang dihadapi birokrasi publik saat ini telah menjadi isu public ( public issues ) terutama yang berasal dari kompleksitas masalah lingkungan internal birokrasi publik, ataupun yang berasal dari lingkungan eksternal yakni dinamika masyarakat yang berkembang. Pada tahap perencanaan, implementasi dan pengawasannya, kebijakan publik biasanya sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternal, terutama pengaruh aspek penerimaan ( kesiapan menerima ) kebijakan –kebijakan tersebut dari stakeholder yang beragam dalam masyarakat, karena pertumbuhan dan kondisi stakeholder tersebut sangat beragam, bervariasi dan jika mereka juga siap, mereka menggalang satu sikap penerimaan dengan berkolaborasi, dagang sapi, berkompetisi atau mereka menolaknya/kontradiksi
c. Data statistik kualitatif dan kuantitatifnya sering tidak relevan, tidak lengkap dan tidak up-todate
JAWABAN
Statistika adalah bagian dari matematika yang secara khusus membicarakan cara-cara pengumpulan, analisis dan penafsiran data, untuk menunjukkan ukuran-ukuran, angka, grafik atau table, sedangkan data statistik berhubungan dengan sejumlah ukuran yang sudah dianalisis dalam bentuk data diskrit atau data kontinyu. Adanya ketidak relevanan data statistic kualitatif dan kuantitatif pada analisis kebijakan publik semata-mata hanya penafsiran yang berbeda, misalnya jika kebijakan publik berbasis data diskrit ( banyaknya siswa dalam satu kelas, jumlah kelas dalam sekolah, dst ) pada tahap perencanaannya ditafsirkan sebagai data kontinyu ( misalnya prestasi belajar, berat badan dst ), maka tentu saja kebijakan publik yang dihasilkan akan tidak relevan dengan permasalahan yang ada pada masyarakat.
Adanya data statistik yang tidak lengkap dan up-todate adalah bagian dari kegiatan atau pekerjaan birokrasi pemerintahan yang tidak siap mengantisipasi perubahan. Keengganan menggunakan data yang valid atau memperbaiki data yang siap pakai biasanya merupakan kelemahan system birokrasi kita, oleh karena itu agar lingkungan birokrasi tidak suram maka perlu upaya-upaya memperkuat basis data yang valid.
d. Arah perkembangannya dipengaruhi oleh kelompok elite dan counter-elite maupun oleh banyak interest group and pressure groups sebagai pendukungnya sehingga tidak mungkin dapat diramalkan secara tepat
JAWABAN
Dalam wacana teori, pembuatan kebijakan itu melibatkan organ-organ (aktor-aktor) yang cukup representatif bagi kepentingan publik. Menurut James Anderson, para aktor yang seharusnya terlibat dalam pembuatan kebijakan itu adalah:
1. Official Policy Makers; yaitu organ-organ yang menduduki pos-pos kekuasaan secara legal/resmi. Yang termasuk kelompok ini adalah; para anggota legislatif, para administrator, dan para hakim pengadilan.
2. Unofficial Participants; yaitu organ-organ yang secara formal memang tidak mempunyai wewenang untuk merumuskan kebijakan publik tetapi kegiatan kegiatannya banyak mempengaruhi 'official policy makers. Golongan ini sering berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan, dan partisipasi mereka itu memang dibenarkan. Yang termasuk golongan ini adalah; kelompok-kelompok kepentingan (interest groups), partai politik, media massa dan warga negara secara individual.
3 Kedua kelompok aktor kebijakan tersebut dalam wacana proses perumusan kebijakan adalah setara, meskipun dalam kewenangan untuk merumuskan kata akhir tidak. Dalam pandangan Anderson, meskipun golongan 'official policy makers' memiliki kekuasaan untuk membuat kebijakan, namun kekuasaannya itu tidak absolut, karena pada kenyataannya organ-organ yang termasuk dalam golongan ini kegiatannya senantiasa diawasi oleh organ-organ lainnya, yaitu para pimpinan partai politik dan kelompok-kelompok penekan (pressure groups).
Khusus di Indonesia, dengan semakin banyaknya partai politik, maka arah dan pembuatan kebijakan public senantiasa lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan peran dan keberadaan partai politik tersebut, padahal peran partai politik di negara yang menganut sistem satu partai akan berbeda dengan yang menganut dua partai atau banyak partai.
Di Amerika Serikat, meskipun partai politik lebih diperhatikan publik pada saat kampanye daripada saat perumusan kebijakan, namun partai politik selalu berperan serta dalam menangani konflik-konflik yang terjadi di masyarakat. Keterlibatan demikian ini juga tercermin dalam konggres. Anggota-anggota partai politik yang ada di konggres selalu berbicara sesuai dengan garis-garis kebijakan partainya. Partai politik di AS berperan juga sebagai pengawas kegiatan presiden dan para pembantu-pembantunya dalam melaksanakan kebijakan publik.
Sebagai perbandingan, perlu juga dikemukakan bagaimana eksistensi partai politik dalam proses pembuatan kebijakan di negara Uni Soviet. Sebelum negara ini terpecah-pecah dan partai komunis masih berkuasa, maka peran partai komunis dalam segala urusan negara dan pemerintahan adalah sangat sentral. Dalam salah satu karyanya, pakar politik UGM, Prof. Dr. Ichlasul Amal menyatakan bahwa, "partai komunis dalam banyak hal memborong hampir seluruh fungsi di dalam sistem politik yang meliputi fungsi; artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, sosialisasi politik, komunikasi politik, rekrutmen, fungsi konversi, sert fungsi output yaitu; pembuatan kebijakan dan pengontrolan terhadap pelaksanaan kebijakan".
Akan halnya yang terjadi di negara-negara berkembang, adalah bahwa eksistensi dan peran partai politik dalam proses pembuatan kebijakan sangat dominan dimana dicirikan secara teoritis, bahwa di dalam negara yang menganut atau mempraktekkan sistem multipartai ini partai politik dicirikan menjalankan peran sebagai "broker", yang menjadi perantara kepentingan anggotanya untuk disalurkan kepada policy-maker. Memang sepintas kelihatan bahwa partai politik menjalankan peran yang sangat baik, tetapi sebenarnya yang diperankan oleh partai politik itu tidak lebih efektif dibandingkan dengan peran interest groups. Di negara yang menganut sistem banyak partai ini interest groups memiliki posisi dan akses yang lebih baik kepada policy maker dibandingkan dengan partai politik.
SOAL KE-2
Keberhasilan kebijakan publik tingkat makro di sector pendidikan dewasa ini tidak terhitung tinggi, melainkan rendah atau rendah sekali, berhubung :
a. Tujuan terlalu ambisius sekaligus tidak fokus yang diprioroitaskan dalam tujuannya
( standarisasi, sertifikasi dan profesionalisme guru, KTSP, wajar dikdas 9 tahun, perbaikan mutu, pemerataan, relevansi dan efisiensi )
JAWABAN
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Lahirnya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tidak dibarengi naskah akademik mengenai apakah KTSP itu berarti suatu model kurikulum, model pengembangan kurikulum, atau model pengelolaan pengembangan kurikulum. Ketidak jelasan istilah tersebut mengeluarkan sejumlah pernyataan-pernyataan yang tidak pas dengan realita yang ada (disagreement with facts).
Muncullah perbandingan-perbandingan antara KTSP dengan berbagai model kurikulum berbasis kompetensi, subject akademik, Humanis, Spiral dlll. Model kurikulum seperti kurikulum berbasis kompetensi yang harus dibedakan secara tegas dengan “model” KTSP tanpa melihat sifat dasar dari keduanya.
Model KBK adalah salah satu model kurikulum dari sekian model yang ada (subjek akademik, rekonstruksi sosial, humanistik, dll.), sementara KTSP bukan model kurikulum melainkan hal yang lebih luas lagi. Hal ini senada dengan pernyataan pakar kurikulum Prof. Dr Nana Saodih Sukmadinata dalam sebuah seminar nasional (12 Mei 2007) di UPI bahwa KTSP bukanlah sebuah model kurikulum seperti halnya KBK, melainkan 1) model pengembangan kurikulum, dan 2) model manajemen pengembangan kurikulum.
KTSP adalah pengembangan kurikulum berbasis sekolah (PKBS) yang di Australia dikenal dengan school based curriculum development (SBCD). Pengembangan kurikulum di sini mencakup kegiatan merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kurikulum. KTSP dapat menggunakan atau mengadaptasi model-model kurikulum, seperti, KBK, subjek akademik, humanistik, rekonstruksi sosial, dan lain sebagainya. Namun, dalam tataran praktis karena tuntutan pencapaian standar kompetensi, yakni, siswa harus menguasai sejumlah kompetensi manakala mereka menamatkan pendidikan dalam satuan pendidikan, penggunaan model kurikulum yang mendasarkan pada pencapaian kompetensi (KBK) tidak dapat dielakkan.
KTSP juga merupakan model manajemen pengembangan kurikulum yang arahannya memberdayakan berbagai unsur manajemen (manusia, uang, metode, peralatan, bahan, dan lain-lain) untuk tercapainya tujuan-tujuan pengembangan kurikulum. Jika konsisten dengan namanya, KTSP bersifat desentralistik. Namun demikian, manakala kita melihat kerangka dasar dan struktur kurikulum, standar kompetensi, dan pengendalian serta evaluasi kurikulum yang masih tampak didominasi pemerintah pusat, maka pengelolaan KTSP tampaknya berada di antara sentralistik dan desentralistik, yakni dekonsentratif.
Jadi, yang dimaksud dengan KTSP adalah suatu model pengembangan kurikulum berbasis sekolah dan model manajemen pengembangan kurikulum berbasis sekolah. KTSP bukan model kurikulum, namun demikian model pengembangan kurikulum ini dapat menggunakan model-model kurikulum yang ada.
Agar tujuan penerapan KTSP tidak buram dan terfokus, harus dilakukan hal-hal berikut
1) Sosialisasi terpadu yang baik, sosialisasi ini tidak hanya bagi para guru, tetapi bagi semua jajaran dalam majemen sekolah dan juga peserta didik yang terlibat. Kalau perlu orang tua murid sehingga sekolah mendapatkan dukungan yang layak dalam penerapannya. Selain itu sudah selayaknya pemerintah menyediakan mekanisme operasional praktis yang mendukung kurikulum baru. Dan perlu adanya penyuluh-penyuluh lapangan yang aktif, tidak hanya mensosialisasikan teori kurikulum saja, tetapi juga best practice yang disarikan dari berbagai contoh penerapan.
2) Transformasi budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan kurikulum dapat mengubah sendi-sendi manajemen dan operasional belajar-mengajar di sekolah. Dan ini berarti mengubah budaya dalam sekolah. Mungkin sudah saatnya visi-misi sekolah perlu direvisi untuk menyesuaikan diri dengan kurikulum baru.
3) Pelatihan pelaksanaan yang terus-menerus. Keberhasilan penerapan sangat didukung oleh kesiapan guru sebagai fasilitator dan juga kesediaan peserta didik dalam proses belajar. Agar guru terampil, perlu diadakan pelatihan yang terus menerus. Tidak hanya dari segi pengetahuan materi, tetapi juga bagaimana mekanisme belajar harus diberikan. Walau pun banyak guru yang pandai, dalam arti menguasai materi dengan baik, tetapi belum tentu dia terampil menjadi fasilitator dalam proses belajar siswa.
4) Evaluasi pelaksanaan yang terus-menerus. Penerapan metode belajar-mengajar juga harus dievaluasi terus-menerus untuk menemukan formulasi yang terbaik dalam penerapan kurikulum. Dibutuhkan keterbukaan dan sharing antar guru dan siswa sehingga menjadi masukan yang berharga. Dan kemudian dapat dievaluasi untuk mengambil yang baik dan memperbaiki yang kurang.
5) Penataran Tingkat Nasional. Mungkin sudah sering dilaksanakan, tetapi mungkin harus lebih sering diadakan terutama dalam suasana yang nyaman dan interaktivitas yang tinggi. Dan pemerintah harus aktif sebagai fasilitator dan juga melibatkan para ahlinya dalam mengevaluasinya. Selain itu juga dapat sebagai tanda bahwa pemerintah cukup care (memperhatikan) sekolah dan mekanisme pendidikan nasional sehingga dapat menyemangati dan memacu masyarakat di dunia pendidikan. Sehingga nada-nada miring dapat diminimalisir. Bukan rahasia umum jika kebijakan-kebijakan pemerintah banyak mengundang nada-nada miring dari masyarakat pemerhati. Diharapkan ajang ini menghilangkan kesan kebijakan top-down, dan mungkin seharusnya sudah mulai mengkombinasikan dengan aspirasi bottom-up.
6) Pemerintah harus aktif memberikan informasi secara terbuka kepada masyarakat melalui berbagai media, terutama media interaktif, sehingga tingkat penyebaran, penggunaan dan keberhasilan atau kegagalannya dapat termonitor. Ini terutama agar mendapat umpan balik yang cepat dan tepat dari masyarakat yang terlibat. Dan juga agar dapat menjadi semangat dan contoh bagi yang belum berhasil.
7) Tidak hanya itu saja, sudah selayaknya pemerintah menyadari bahwa perubahan sistem ini tidak mudah. Perlu biaya yang besar dan waktu yang lama. Sudah selayaknya pemerintah memberikan insentive yang layak kepada yang membutuhkan. Insentive ini jangan hanya diartikan sebagai dana bantuan, tetapi lebih pada sarana dan prasarana pendukung. Seperti kita tahu, penerapan KBK 2004 sebenarnya membutuhkan sarana dan prasarana pendukung yang lumayan banyak dengan nilai yang besar, misalnya untuk alat-alat peraga, karya ilmiah dan buku-buku yang relevan.
2. Sertifikasi dan Profesionalisme Guru
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan baru-baru ini, berdasarkan tes yang telah dilakukan oleh Trends In International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) tahun 2003, menunjukkan bahwa para siswa SLTP kelas dua kita, menempati posisi ke 34, jauh dibawah Singapura dan Malaysia yang masing-masing menempati urutan pertama dan ke sepuluh, pada penilaian kemampuan anak didik di bidang matematika.
Hal yang tidak jauh berbeda, terjadi pula pada nilai penguasaan atas ilmu pengetahuan. Tes yang diselenggarakan dibawah payung organisasi Association for Evaluation of Educational Achievment International (AAEI) ini, kembali menempatkan para siswa Indonesia pada urutan ke 36, dibawah Mesir dan Palestina yang berada satu peringkat diatasnya. Sedangkan Negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia, masih menempati nomor pertama dan ke dua puluh dari 50 negara yang ditelaah.
Realitas yang memukul dunia pendidikan kita ini, menjadi semakin lengkap, apabila kita kaitkan juga dengan laporan dari UNDP yang baru-baru ini dipublikasikan, dimana berdasarkan laporan, “Human Development Report 2004”, tersebut dinyatakan bahwa angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia mencapai 12,1%. Ini berarti, dari setiap 100 orang Indonesia dewasa yang berusia 15 tahun ke atas, ada 12 orang yang tidak bisa membaca. Angka ini relatif jauh lebih tinggi, apabila kita bandingkan dengan negera-negara lain, seperti Thailand (7,4%), Brunai Darussalam (6,1%) dan Jepang (0,0%).
Pada tahun yang sama (2004), UNDP juga telah mengeluarkan laporannya tentang kondisi HDI (Human Development Indeks) di Indonesia. Dalam laporan tersebut, HDI Indonesia berada pada urutan ke 111 dari 175 negara. Posisi ini masih jauh dari Negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia yang menempati urutan ke-59, Thailand yang menempati urutan ke 76 dan Philipina yang menempati urutan ke-83. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya menempati satu peringkat di atas Vietnam. Sebuah negara yang baru saja keluar dari konflik politik yang besar dan baru memulai untuk berbenah diri namun sudah memperlihatkan hasilnya karena membangun dengan tekad dan kesungguhan hati.
Fenomena diatas telah memberi gambaran secara sekilas kepada kita, tentang kondisi dunia pendidikan saat ini di tanah air, dimana kualitas pendidikan di negera kita memang masih jauh dari yang kita harapkan. Perlu sebuah upaya kerja keras tanpa henti dengan melibatkan seluruh stakeholders, agar dunia pendidikan kita benar-benar bangkit dari keterpurukan untuk mengejar ketertinggalannya sehingga mampu berkompetisi secara terhormat dalam era globalisasi yang semakin menguat.
Oleh sebab itu reformasi pendidikan, dimana salah satunya issu utamanya adalah peningkatan profesionalisme guru merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam mencapai pendidikan yang lebih berkualitas. Diperlukan orang-orang yang memang benar benar-benar ahli di bidangnya, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya agar setiap orang dapat berperan secara maksimal, termasuk guru sebagai sebuah profesi yang menuntut kecakapan dan keahlian tersendiri.
Profesionalisme tidak hanya karena faktor tuntutan dari perkembangan jaman, tetapi pada dasarnya juga merupakan suatu keharusan bagi setiap individu dalam kerangka perbaikan kualitas hidup manusia. Profesionalisme menuntut keseriusan dan kompetensi yang memadai, sehingga seseorang dianggap layak untuk melaksanakan sebuah tugas.
Kebijakan “guru sebagai profesi” merupakan langkah transformatif untuk mengubah jabatan guru sebagai profesi yang dapat meningkatkan mutu guru secara sistemik dan berkelanjutan.
Langkah strategis yang harus dilakukan dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru dengan fokus, dan supaya tidak buram , yaitu :
a. Sertifikasi
Salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui sertifikasi sebagai sebuah proses ilmiah yang memerlukan pertanggung jawaban moral dan akademis. Dalam issu sertifikasi tercermin adanya suatu uji kelayakan dan kepatutan yang harus dijalani seseorang, terhadap kriteria-kriteria yang secara ideal telah ditetapkan.
Sertifikasi bagi para Guru dan Dosen merupakan amanah dari UU Sistem Pendidikan Nasional kita (pasal 42) yang mewajibkan setiap tenaga pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar yang dimilikinya. Singkatnya, sertifikasi dibutuhkan untuk mempertegas standar kompetensi yang harus dimiliki para guru dan dosen sesui dengan bidang ke ilmuannya masing-masing.
b. Perubahan paradigma
Faktor lain yang harus dilakukan dalam mencapai profesionalisme guru adalah, perlunya perubahan paradigma dalam proses belajar mengajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekedar sebagai obyek pembelajaran tetapi harus berperan dan diperankan sebagai obyek. Sang guru tidak lagi sebagai instruktur yang harus memposisikan dirinya lebih tingi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau konsultator yang bersifat saling melengkapi. Dalam konteks ini, guru di tuntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian proses belajar mengajar akan dilihat sebagai proses pembebasan dan pemberdayaan, sehingga tidak terpaku pada aspek-aspek yang bersifat formal, ideal maupun verbal. Penyelesaian masalah yang aktual berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah harus menjadi orientasi dalam proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, out put dari pendidikan tidak hanya sekedar mencapai IQ (intelegensia Quotes), tetapi mencakup pula EQ (Emotional Quotes) dan SQ (Spiritual Quotes).
c. Jenjang karir yang jelas
Salah satu faktor yang dapat merangsang profesionalisme guru adalah, jenjang karir yang jelas. Dengan adanya jenjang karir yang jelas akan melahirkan kompetisi yang sehat, terukur dan terbuka, sehingga memacu setiap individu untuk berkarya dan berbuat lebih baik.
d. Peningkatan kesejahteraan yang nyata
Kesejahteraan merupakan issu yang utama dalam konteks peran dan fungsi guru sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Paradigma professional tidak akan tercapai apabila individu yang bersangkutan, tidak pernah dapat memfokuskan diri pada satu hal yang menjadi tanggungjawab dan tugas pokok dari yang bersangkutan. Oleh sebab itu, untuk mencapai profesionalisme, jaminan kesejahteraan bagi para guru merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan dan dipisahkan.
Wajar Dikdas 9 tahun
Dalam rangka komitmen global, Pendidikan di Indonesia diarahkan kepada
a. Mempercepat sasaran Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) yang menyatakan: ”Setiap negara di dunia wajib melindungi dan melaksanakan hak-hak anak tentang pendidikan dengan mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua secara bebas” (Artikel 28)
b. Melaksanakan Konvensi mengenai hak azasi manusia (HAM) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada pendidikan dasar (Dikdas). Pendidikan dasar bersifat wajib. Pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan” (Deklarasi HAM, Artikel 26).
c. Pencapaian sasaran pembangunan yang disepakati dalam Kerangka Aksi Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA).
Tujuan dari program Wajar Dikdas adalah agar seluruh anak yang berusia 7-15 tahun dapat menyelesaikan pendidikan SD dan SMP atau yang sederajat. Pada tahun 2009, sekurang-kurangnya 95% anak usia 7-15 tahun telah memperoleh kesempatan untuk belajar sampai dengan sekolah menengah pertama (SMP) atau yang sederajat. Program Wajar Dikdas 9 tahun tidak hanya mengejar target kuantitatif, tetapi peningkatan mutu pendidikan agar mampu menyiapkan kompetensi lulusan baik untuk melanjutkan pendidikan maupun bekerja.
Pada tahun 2004, Indonesia telah mencapai APM SD/MI sebesar 93%, dan APM SMP/MTs sebesar 65%. Walaupun perluasan SD/MI sudah mencapai prestasi yang gemilang, Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk meningkatkan angka partisipasi SMP/MTs hingga mencapai angka 95% pada tahun 2009.
Untuk itu, agar kegiatan ini terfokus pemerintah harus mengurangi berbagai hambatan yang dihadapi calon peserta didik dari keluarga miskin dan kurang beruntung, terutama hambatan biaya sekolah. Mulai tahun 2005, diberikan subsidi Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang diharapkan dapat membebaskan sebagian besar biaya sekolah yang selama ini ditanggung oleh siswa. BOS akan terus dikembangkan sejalan dengan kemampuan Pemerintah yang semakin besar dalam rangka mewujudkan free basic education.
Untuk memperluas akses dan mutu pendidikan dasar di era desentralisasi, perlu ditingkatkan kapasitas satuan dan pengelola pendidikan di setiap daerah. Dengan kapasitas yang memadai, pemerintah daerah dan satuan pendidikan dapat mengelola dan menyelenggarakan pelayanan pendidikan secara efisien, efektif, dan akuntabel.
Untuk itu dikembangkan sistem informasi serta peningkatan kemampuan perencanaan, pengendalian, sistem monitoring dan evaluasi, serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan dasar.
Perbaikan/Peningkatan Mutu Pendidikan
Komitmen Dakar yang berkaitan dengan mutu pendidikan adalah sebagai berikut:
Peningkatan mutu pendidikan yang diberikan kepada semua peserta didik itu tercermin pada ukuran-ukuran outcome yang dapat diandalkan. Beberapa aspek utama dalam penilaian mutu pendidikan antara lain kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, serta keterampilan utama untuk hidup (essential life skills).
Pandangan UNESCO tentang dimensi mutu pendidikan, tertuang dalam buku EFA Global Monitoring Report 2005 atau Laporan Pemantauan Global Pendidikan Untuk Semua. Setiap tahun, UNESCO menerbitkan laporan tentang perkembangan pendidikan, di berbagai belahan dunia. Dan agar tujuan terfokus maka dimensi mutu pendidikan digambarkan oleh UNESCO tersebut harus benar-benar diperhatikan pihak Indonesia, sebagai berikut:
Pertama, karakteristik pembelajar (learner characteristics)
Dimensi ini sering disebut sebagai masukan (inputs) atau masukan kasar (raw inputs) dan dalam teori fungsi produksi disebut production function theory, yaitu peserta didik atau pembelajar dengan berbagai latar belakangnya, seperti pengetahuan (aptitude), kemauan dan semangat untuk belajar (perseverance), kesiapan untuk bersekolah (school readiness), pengetahuan siap sebelum masuk sekolah (prior knowledge), dan hambatan untuk pembelajaran (barriers to learning) terutama bagi anak luar biasa. Banyak factor latar belakang peserta didik yang sangat mempengaruhi mutu pendidikan di negeri ini. Banyak anak usia sekolah yang tidak didukung oleh kondisi yang kondusif, misalnya peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu, keluarga pecah (broken home), kesehatan lingkungan, pola asuh anak usia dini, dan faktor-faktor lain-lainnya. Dimensi ini menjadi faktor awal yang mempengaruhi mutu pendidikan.
Kedua, pengupayaan masukan (enabling inputs)
Ada dua macam masukan yang akan mempengaruhi mutu pendidikan yang dihasilkan, yaitu sumber daya manusia dan sumber daya fisikal. Guru atau pendidik, kepala sekolah, pengawas, dan tenaga kependidikan lain menjadi sumber daya manusia (human resources) yang akan mempengaruhi mutu hasil belajar siswa (outcomes). Proses belajar mengajar tidak dapat berlangung dengan nyaman dan aman jika fasilitas belajar (seperti gedung sekolah, ruang kelas, buku dan bahan ajar lainnya (learning materials), media dan alat peraga yang dapat diupayakan oleh sekolah, termasuk perpustakaan dan laboratorium, bahkan juga kantin sekolah, dan fasilitas pendidikan lainnya, seperti buku pelajaran dan kurikulum yang digunakan di sekolah) belum optimal. Semua itu dikenal sebagai infrastruktur fisikal (physical infrastructure atau facilities). Singkat kata, mutu SDM yang tersedia di sekolah dan mutu fasilitas sekolah merupakan dua macam masukan yang sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan.
Ketiga, proses belajar-mengajar (teaching and learning)
Dimensi ketiga ini sering disebut sebagai kotak hitam (black box) masalah pendidikan. Dalam kotak hitam ini terdapat tiga komponen utama pendidikan yang saling berinteraksi satu dengan yang lain, yaitu peserta didik, pendidik, dan kurikulum. Oleh karena itu mutu proses belajar mengajar, atau mutu interaksi edukatif yang terjadi di ruang kelas, menjadi faktor yang amat berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Efektivitas proses belajar-mengajar dipengaruhi oleh: (1) lama waktu belajar, (2) metode mengajar yang digunakan, (3) penilaian, umpan balik, bentuk penghargaan bagi peserta didik, dan (4) jumlah peserta didik dalam satu kelas.
Proses belajar mengajar di ruang kelas kita sangat kering dari penggunaan teknik penguatan (reinforcement), kering dari penggunaan media dan alat peraga yang menyenangkan. Dampaknya, dapat diterka, yaitu hasil belajar yang belum memenuhi standar mutu yang ditentukan. Sentral permasalahan lemahnya proses belajar mengajar di dalam kelas ini, yakni kualifikasi dan kompetensi guru dan masalah kesejahteraannya.
Keempat, hasil belajar (outcomes)
Hasil belajar adalah sasaran yang diharapkan oleh semua pihak. Di sini memang terjadi perbedaan harapan dari pihak-pihak tersebut. Pihak dunia usaha dan industri (DUDI) mengharapkan lulusan yang siap pakai. Pendidikan kejuruan dipacu agar dapat memenuhi harapan ini. Sedang pihak praktisi pendidikan pada umumnya cukup berharap lulusan yang siap latih. Alasannya, agar DUDI dapat memberikan peran lebih besar lagi dalam memberikan pelatihan.
Setidaknya, semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan menghasilkan menginginkan lulusan yang dapat membaca dan menulis (literacy), berhitung (numeracy), dan kecakapan hidup (life skills). Selain itu, peserta didik harus memiliki kecerdasan emosional dan sosial (emotional dan social intelligences), nilai-nilai lain yang diperlukan masyarakat.
Kelima, lingkungan (environments)
Keempat dimensi yang telah dijelaskan tersebut saling pengaruh-mempengaruhi dengan konteks (contexts) atau lingkungan (environments) yang meliputi berbagai aspek alam, sosial, ekonomi, dan budaya, sebagai berikut:
Economics and labour market conditions in the community atau kondisi pasar ekonomi dan pasar dalam masyarakat.
Socio-cultural and religious factors atau faktor religius dan sosip-kultural.
Educational knowledge and support infrastructure atau pengetahuan dan infrastruktur yang mendukung dunia pendidikan.
Public resources available for education atau ketersediaan sumber-sumber masyarakat untuk pendidikan.
Competitiveness of the teaching profession on the labour market atau daya saing profesi mengajar pada pasar tenaga kerja.
National governance and management strategies atau strategi manajemen dan tata kelola pemerintahan.
Philosophical standpoint of teacher and learner atau pandangan filosofis guru dan peserta didik.
Peer effects atau pengaruh teman sebaya.
Parental support atau dukungan orangtua atau keluarga.
Time available for schooling and home works atau ketersediaan waktu untuk sekolah National standards atau standar-standar nasional.
Public expectations atau harapan masyarakat.
Labour market demands permintaan pasar tenaga kerja.
Globalization atau globalisasi.
Pemerataan dan perluasan akses Pendidikan
Pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan pada upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era global, serta meningkatkan peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) hingga mencapai posisi sama dengan atau lebih baik dari peringkat IPM sebelum krisis.
Beberapa kebijakan strategis yang disusun dalam rangka memperluas pemerataan dan akses pendidikan yang dilaksanakan pemerintah harus dilaksanakan dengan konsekuen, agar tujuan dan kegiatan tersebut dapat terfokus, diantaranya. :
a. Memperluas akses bagi anak usia 0–6 tahun, baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai potensi yang dimiliki dan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan dalam mengikuti pendidikan di SD/MI.
b. Menghapus hambatan biaya (cost barriers) melalui pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) bagi semua siswa pada jenjang Dikdas baik pada sekolah umum maupun madrasah yang dimiliki oleh pemerintah atau masyarakat, yang besarnya dihitung berdasarkan unit cost per siswa dikalikan dengan jumlah seluruh siswa pada jenjang tersebut. Di samping itu, dilakukan kebijakan pemberian bantuan biaya personal terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin pada jenjang Dikdas melalui pemanfaatan BOS untuk tujuan tersebut.
c. Membentuk ”SD-SMP Satu Atap” bagi daerah terpencil yang berpenduduk jarang dan terpencar, dengan menambahkan ruang belajar SMP di SD untuk menyelenggarakan program pendidikan SMP bagi lulusannya. Untuk mengatasi kesulitan tenaga pengajar dalam kebijakan ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan guru SD untuk mengajar di SMP pada beberapa mata pelajaran yang relevan atau dengan meningkatkan kompetensi guru sehingga dapat mengajar di SMP. Selain itu, dilakukan upaya memaksimalkan fasilitas yang sudah ada, baik ruang kelas maupun bangunan sekolah dengan membuat jaringan sekolah antara SMP dengan SD-SD yang ada di wilayah layanannya (catchment areas) serta menggabungkan SD-SD yang sudah tidak efisien lagi.
d. Memperluas akses bagi anak usia sekolah 7–15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak/belum terlayani di jalur pendidikan formal untuk memiliki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan di jalur nonformal maupun program pendidikan terpadu/ inklusif bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus terutama untuk daerah-daerah yang tidak tersedia layanan pendidikan khusus luar biasa. Di samping itu, untuk memperluas akses bagi penduduk usia 13-15 tahun dikembangkan SMP Terbuka melalui optimalisasi daya tampung dan pengembangan SMP Terbuka model maupun melalui model layanan pendidikan alternatif yang inovatif.
e. Memperluas akses bagi penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan keaksaraan melalui jalur pendidikan nonformal. Perluasan kesempatan bagi penduduk buta aksara dilakukan dengan menjalin berbagai kerjasama dengan stakeholder pendidikan, seperti organisasi keagamaan, organisasi perempuan, dan organisasi lain yang dapat menjangkau lapisan masyarakat, serta PT.
f. Memfasilitasi peran serta masyarakat dalam memperluas akses sekolah menengah (SM), khususnya pada daerah-daerah yang memiliki lulusan SMP cukup besar. Di sisi lain, juga mengembangkan SM terpadu, yaitu pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan umum dan kejuruan dalam satu satuan pendidikan. Bagi siswa yang berkebutuhan khusus, dilakukan kebijakan strategis dalam melaksanakan program pendidikan inklusif.
g. Memperluas akses terhadap pendidikan di SMK sesuai dengan kebutuhan dan keunggulan lokal. Perluasan SMK ini dilaksanakan melalui penambahan program pendidikan kejuruan yang lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang berkembang. Di samping itu, dilakukan upaya penambahan muatan pendidikan keterampilan di SMA bagi siswa yang akan bekerja setelah lulus.
h. Memperluas daya tampung PT yang ada dengan memberikan fasilitasi pada perguruan tinggi untuk membuka program-program keahlian yang dibutuhkan masyarakat dan mengalihfungsikan atau menutup sementara secara fleksibel program-program yang lulusannya sudah jenuh.
i. Memperluas kesempatan belajar pada perguruan tinggi yang lebih dititikberatkan pada program-program politeknik, pendidikan tinggi vokasi dan profesi yang berorientasi lebih besar pada penerapan teknologi tepat guna untuk kebutuhan dunia kerja.
j. Memperluas kesempatan belajar sepanjang hayat bagi penduduk dewasa yang ingin meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan hidup yang relevan dengan kebutuhan masyarakat melalui program-program pendidikan berkelanjutan. Perluasan kesempatan belajar sepanjang hayat dapat juga dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai fasilitas pendidikan formal yang sudah ada sebagai bagian dari harmonisasi pendidikan formal dan nonformal.
k. Memperhatikan secara khusus kesetaraan gender, pendidikan untuk layanan khusus di daerah terpencil dan daerah tertinggal, daerah konflik, perbatasan, dan lain-lain, serta mengimplementasikannya dalam berbagai program secara terpadu.
l. Melaksanakan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), serta advokasi kepada masyarakat agar keluarga makin sadar akan pentingnya pendidikan serta mau mengirimkan anak-anaknya ke sekolah dan/atau mempertahankan anaknya untuk tetap bersekolah.
m. Melaksanakan advokasi bagi pengambil keputusan, baik di eksekutif maupun legislatif dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada pembangunan pendidikan.
n. Memanfaatkan secara optimal sarana radio, televisi, komputer dan perangkat TIK lainnya untuk digunakan sebagai media pembelajaran dan untuk pendidikan jarak jauh sebagai sarana belajar alternatif selain menggunakan modul atau tutorial, terutama bagi daerah terpencil dan mengalami hambatan dalam transportasi, serta jarang penduduk.
Relevansi dan efisiensi Pendidikan
Pembangunan pendidikan nasional harus dilihat dalam perspektif pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam perspektif demikian, pendidikan harus lebih berperan dalam membangun seluruh potensi manusia agar menjadi subyek yang berkembang secara optimal dan bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan nasional.
Potensi manusia Indonesia yang dikembangkan melalui: (1) Olah hati untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan, meningkatkan akhlak mulia, budi pekerti, atau moral, membentuk kepribadian unggul, membangun kepemimpinan dan entrepreneurship; (2) Olah pikir untuk membangun kompetensi dan kemandirian ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) Olah rasa untuk meningkatkan sensitifitas, daya apresiasi, daya kreasi, serta daya ekspresi seni dan budaya; dan (4) Olah raga untuk meningkatkan kesehatan, kebugaran, daya tahan, dan kesigapan fisik serta keterampilan kinestetis.
Oleh karena itu agar tidak buram dan terfokus, Relevansi, dan daya saing di masa depan diharapkan dapat memberikan dampak bagi perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan budaya. Selain itu, upaya peningkatan mutu dan relevansi dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat serta daya saing bangsa. Mutu pendidikan juga dilihat dari meningkatnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai humanisme yang meliputi keteguhan iman dan takwa serta berakhlak mulia, etika, wawasan kebangsaan, kepribadian tangguh, ekspresi estetika, dan kualitas jasmani. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan akademik dan nonakademik yang lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik di tingkat lokal, nasional maupun global.
b. Dukungan kinerja sumber daya manusia tingkat pimpinan yang lemah
JAWABAN
Dukungan kinerja sumber daya manusia tingkat pimpinan yang lemah di sector pendidikan dewasa ini tidak terhitung tinggi, melainkan rendah atau rendah sekali, yang berakibat pada lemahnya manajemen kebijakan publik. Untuk itu supaya manajemen kebijakan public tingkat makro berhasil dengan baik perlu diupayakan perbaikan kompetensi SDM aparatur. Dan untuk mewujudkan kondisi dimana SDM aparatur dapat berkompetisi, terfoukus dan tidak buram dapat dilakukan melalui:
Pertama, agar kita memperoleh SDM aparatur yang memiliki integritas dan kompetensi yang diharapkan, harus menetapkan standar kualifikasi dan mekanisme penerimaan dan pembinaan pegawai yang komprehensif, jelas dan mantap, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya secara rasional, sistemik dan lugas.
Kedua, Pemerintah perlu meninjau kembali persyaratan setiap pekerjaan dan jabatan negeri, menetapkan standar kompetensi pekerjaan dan jabatan pegawai negeri, menetapkan standar pendidikan dan pelatihan aparatur untuk setiap jenis pekerjaan dan jenjang jabatan, membuat persyaratan dan mekanisme pengangkatan dalam jabatan secara transparan dan akuntabel, menyusun sistem relokasi pegawai ke instansi dan tempat lain secara jelas dan dilakukan secara kosisten.
Ketiga, perlunya membangun komitmen dan kompetensi yang kuat dalam mengemban tugas sebagai Pegawai Republik, disertai pengembangan sistem rewards and punishment yang tepat dan efektip agar terbangun semangat, kemampuan, dan kemauan untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara sebaik-baiknya.
Keempat, perlunya perencanaan yang mantap dalam mengelolah pegawai secara rasional dan layak, pola seleksi yang kompetitif, terbuka dan memenuhi prinsip keadilan dan adanya konsistensi terhadap perencanaan dan sistem penghargaan dan sangsi terhadap para aparatur yang berprestasi.
Kelima, perlunya upaya penetapan batas kewenangan antar jenjang jabatan dan antar jabatan tertentu, menyusun jod description dan kewenangan setiap jabatan secara jelas, melakukan pembimbingan teknis dan manajerial secara bertahap dan berkelanjutan.
Keenam, perlunya mendorong penerapan sistem reward and punishment
Ketujuh, perlunya upaya pemrosesan sacara hukum terhadap penyalagunaan kewenangan, penyusunan kembali tentang etika birokrasi dan budaya kerja secara jelas, menciptakan suatu mekanisme yang efektif dalam mengaplikasikan hukum dan perundang-undangan, dan menciptakan SDM yang memiliki komitmen terhadap tujuan bernegara dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur pancasila dan UUD 1945.
Kedelapan, perlu penyediaan sarana dan prasarana pendukung, menyusun SOP dalam rangka pemanfaatan infrastruktur pendukung dan meningkatkan kualitas dan ketrampilan SDM aparatur.
c. Dukungan dana yang minim
JAWABAN
Berbagai data perbandingan antar negara dalam hal anggaran pendidikan yang diterbitkan oleh UNESCO dan Bank Dunia dalam “The World Bank (2004): Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education Sector Review), Volume 2, hal. 2-4”, Indonesia adalah negara yang terendah dalam hal pembiayaan pendidikan. Pada tahun 1992, menurut UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89% dari keperluan, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan nasionalnya. Sementara itu, dibandingkan dengan negara lain, termasuk negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah.
Terhadap kondisi pendidikan yang semakin terpuruk tersebut, C.E. Beeby mencatat ada 2 (dua) hambatan utama dalam upaya meningkatkan bidang pendidikan di Indonesia.
Pertama, kurangnya biaya dan perlengkapan yang bisa dibeli dengan uang.
Kedua, hambatan-hambatan yang bukan material sifatnya, di mana penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya. Hal tersebut sejalan dengan salah satu temuan penting dari studi empiris terhadap referensi pencapaian Human Development Index versi UNDP, yaitu pembiayaan pendidikan di suatu negara terbukti memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja pendidikan nasional di negara-negara bersangkutan.
Satu dari sekian masalah utama namun klasik yang selalu membelit sistem pendidikan di Indonesia adalah rendahnya anggaran pendidikan yang disediakan oleh negara. Rendahnya anggaran pendidikan itu diyakini sebagian kalangan sebagai akar utama buruknya pendidikan nasional. Alokasi dana yang rendah untuk pendidikan, di mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah 10% dari APBN, dinilai sebagai cermin tidak adanya political will pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi (constitutional obligation) untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Demikian pula ditegaskan kembali dalam UU organiknya yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan harus dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sector pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
Masalah lain yang muncul adalah kebijakan institusi pendidikan yang tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat tetapi malahan lebih merespon kepentingan elite birokrasi, misalnya adalah kebijakan tentang penyediaan dan layanan anggaran pendidikan. Kebijakannya dirumuskan dengan tujuan dan sasaran yang jelas, yakni untuk kepentingan masyarakat, tetapi dalam prakteknya banyak siswa miskin yang tak memiliki kesempatan memperoleh beasiswa justru dinikmati oleh anak-anak pejabat. Terjadi ketidak-adilan dalam pemberian insentif belajar siswa. Pada konteks ini, responsivitas bersinggungan dengan rasa keadilan dan transparansi.
Ketika hal ini dirujukkan pada tingkat kebutuhan sekolah, maka keprihatinan baru mulai muncul karena terjadinya perbedaan dan ketidak adilan respons birokrasi pendidikan terhadap sekolah-sekolah binaannya. Adanya klasifikasi sekolah menurut “mutu ” sesuai jenjangnya, menimbukan keresahan bagi sekolah-sekolah yang merasa tidak diperhatikan dengan baik. Persebaran insentif pendidikan menjadi tak merata. Opini yang berkembang sesuai data Gambar 4, menunjukkan bahwa penyediaan dan layanan anggaran pendidikan pada umumnya direspon secara negatif, di mana sebagian besar responden berpendapat bahwa alokasi anggaran pendidikan dinilai “tidak mencukupi”, sementara itu layanan birokrasi terhadap anggaran sekolah dinilai “kurang cukup”.
Gambar 4
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Sangat
Tak Cukup
Tak Cukup
Kurang
Cukup
Cukup
Sangat
Cukup
Tidak
Tahu
How sufficient edu budget
How's the Diknas services Respon Penyediaan dan Layanan Anggaran Pendidikan
Alokasi anggaran pendidikan yang dipandang tidak mencukupi itu, kian memperkuat asumsi-asumsi, bahwa :
Pertama, dugaan awal bahwa perhatian pemerintah tidak cukup serius dalam membangun sebuah institusi pendidikan yang kapabel sebagai pusat-pusat pengkaderan putra bangsa.
Kedua, alokasi anggaran telah tercukupi secara formal sebagai-mana tertuang dalam APBD Kabupaten/Kota, tetapi dalam hal pemanfatannya mengalami kendala “moralitas implementer”, misalnya : pembiasan sasaran dan prosedur kegiatan, pembiaran kebocoran yang korup, dan pembinaan oknum pelaku yang tak bertanggung jawab.
Ketiga, adanya hambatan struktural dan legalistik, di mana terjadi kelambanan menindak lanjuti realisasi anggaran yang telah disetujui di dalam sidang APBD yang menyebabkan terhambatnya penyaluran anggaran ke sasarannya. Dalam banyak hal, ketiga asumsi di atas saling menunjang, dalam arti bahwa salah satu atau lebih dari satu atau semuanya, selalu menjadi kendala bagi upaya peningkatan respon dukungan pembiayaan dan layanan pendidikan
Yang harus dilakukan pemerintah agar tujuan dimaksud diatas dapat terfokus sekaligus tidak menjadi bahan buramnya manajemen keuangan pada saat reformasi ini maka reformasi manajemen keuangan pemerintah merupakan suatu keniscayaan dimana reformasi manajemen keuangan pemerintah merupakan salah satu kunci penentu keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka nation and state building.
Adanya manajemen keuangan pemerintah yang baik akan menjamin tercapainya tujuan pembangunan secara khusus, dan tujuan berbangsa dan bernegara secara umum. Karenanya, langkah-langkah strategis dalam konteks penciptaan, pengembangan, dan penegakan sistem manajemen keuangan yang baik merupakan tuntutan sekaligus kebutuhan yang semakin tak terelakkan dalam dinamika pemerintahan dan pembangunan.
Munculnya perhatian yang besar akan pentingnya manajemen keuangan pemerintah dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan, kebutuhan atau aspirasi yang harus diakomodasi di satu sisi, dan terbatasnya sumberdaya keuangan pemerintah di sisi lain. Dengan demikian, pencapaian efektivitas dan efisiensi keuangan pemerintah semakin mengemuka untuk diperjuangkan perwujudnya.
Dalam upaya perwujudan manajemen keuangan pemerintah yang baik, terdapat pula tuntutan yang semakin aksentuatif untuk mengakomodasi, menginkorporasi, bahkan mengedepankan nilai-nilai good governance. Beberapa nilai yang relevan dan urgen untuk diperjuangkan adalah antara lain transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan keuangan dimaksud, disamping nilai-nilai efektivitas dan efisiensi tentu saja.
Dalam konteks yang lebih visioner, manajemen keuangan pemerintah tidak saja harus didasarkan pada prinsip-prinsip good governance, tetapi harus diarahkan untuk mewujudkan nilai-nilai dimaksud. Upaya mewujudkan manajemen keuangan pemerintah yang baik, antara lain, diperjuangkan dengan memperhatikan prinsip dan nilai-nilai good governance. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, menjelaskan adanya prinsip-prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang menjadi fokus perhatian, yaitu (1) akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja, sehingga muncul kerangka kerja baru dengan nama “Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Budget)” yang dimulai pada tahun anggaran 2005; (2) keterbukaan dan setiap transaksi keuangan pemerintah; (3) pemberdayaan manajer profesional; dan (4) adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, profesional, dan mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemeriksaan (double accounting).
Pentingnya reformasi keuangan pemerintah dengan beberapa bidang di atas sebagai fokusnya, dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan strategis yang terutama diwakili oleh luasnya skala persoalan yang harus diatasi. Persoalan-persoalan dimaksud antara lain :
Pertama, rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan pemerintah akibat maraknya irasionalitas pembiayaan kegiatan negara. Kondisi ini disertai oleh rendahnya akuntabilitas para pejabat pemerintah dalam mengelola keuangan publik. Karenanya, muncul tuntutan yang meluas untuk menerapkan sistem anggaran berbasis kinerja.
Kedua, tidak adanya skala prioritas yang terumuskan secara tegas dalam proses pengelolaan keuangan negara yang menimbulkan pemborosan sumber daya publik. Selama ini, hampir tidak ada upaya untuk menetapkan skala prioritas anggaran di mana ada keterpaduan antara rencana kegiatan dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki. Juga harus dilakukan analisis biaya-manfaat (cost and benefit analysis) sehingga kegiatan yang dijalankan tidak saja sesuai dengan skala prioritas tetapi juga mendatangkan tingkat keuntungan atau manfaat tertentu bagi publik.
Persoalan ketiga yang menuntut dilakukannya reformasi manajemen keuangan pemerintah adalah terjadinya begitu banyak kebocoran dan penyimpangan, misalnya sebagai akibat adanya praktek KKN.
Keempat adalah rendahnya profesionalisme aparat pemerintah dalam mengelola anggaran publik. Inilah merupakan sindrom klasik yang senantiasa menggerogoti negara-negara yang ditandai oleh superioritas pemerintah. Dinamika pemerintah, termasuk pengelolaan keuangan di dalamnya, tidak dikelola secara profesional sebagaimana dijumpai dalam manajemen sektor swasta. Jarang ditemukan ada manajer yang profesional dalam sektor publik. Bahkan terdapat negasi yang tegas untuk memasukkan kerangka kerja sektor swasta ke dalam sektor publik di mana nilai-nilai akuntabilitas, profesionalisme, transparansi, dan economic of scale menjadi kerangka kerja utamanya.
Kelima, kewenangan administratif meliputi otoritas untuk melakukan perikatan (kontrak) atau tindakan-tindakan lain yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara serta perintah untuk melakukan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul sebagai konsekuensi dari suatu perikatan.
Keenam, kewenangan kebendaharaan meliputi tidak boleh secara sempit ditafsirkan sebagai sekedar fungsi kasir untuk membayarkan tagihan atau mengelola penerimaan, tetapi juga meliputi otoritas untuk meneliti kebenaran penerimaan dan pengeluaran tersebut.
Bersamaan implementasi otonomi daerah, reformasi manajemen keuangan pemerintah perlu juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Bahkan reformasi keuangan pemerintah daerah semakin mendesak dilakukan mengingat masih terbatasnya kemampuan manajemen keuangan di kalangan pemerintah daerah di satu sisi, dan semakin banyaknya anggaran pembangunan dan pelayanan publik yang mengalir ke daerah menyusul implementasi otonomi daerah di sisi lain. Gejala-gejala KKN dalam manajemen keuangan daerah, proses tender yang tidak terbuka, dan parktek-praktek manipulatif lainnya kini sudah semakin merebak di daerah.
Muncul pula keluhan bahwa implementasi otonomi daerah hanya memindahkan borok permasalah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah justru ketika masyaraklat semakin mengharapkan kondisi kehidupan dan kesejahteraan yang semakin baik.
Di atas semua itu, juga perhatian khusus pada penegakan integritas dan profesionalisme SDM aparat pelaksana. Bagaimanapun idealnya sebuah aransemen kebijakan, jika tidak didukung oleh kapasitas dan moral pejabat yang baik maka kebijakan tersebut tidak akan banyak bermanfaat.
Langkah-langkah capacity building untuk peningkatan profesionalisme aparat pelaksana, baik yang berwenang mengelola keuangan negara maupun pejabat yang menggunakannya, sangat mendesak dilakukan karena diidentifikasi bahwa salah satu persoalan yang menimbulkan kesemrawutan pengelolaan keuangan pemerintah terletak pada rendahnya kapasitas aparat.
Pemberdayaan kapasitas aparat tersebut, sekali lagi, tidak hanya terbatas pada aparat di pusat tetapi juga aparat daerah. Hanya jika terdapat SDM yang memiliki integritas dan moral yang tinggi serta kemampuan manajerial dan operasional yang tinggi baru langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah yang telah dirumuskan dalam berbagai paket kebijakan tersebut berhasil diimplementasikan.
d. Dukungan ICT yang tidak menentu
JAWABAN
Era globalisasi yang saat ini tengah melanda bumi harus disikapi dengan penuh kesiapan matang. Siapa saja yang tidak siap, maka akan dilibas. Pernyataan ini bukanlah bombastis, utopis, ataupun mengada-ada. Bagaimana mungkin ia memberikan ruang kepada orang yang tidak siap menerimanya padahal ia hadir dengan watak kompetisi lintas sektoral. Nantinya kita bersaing bukan hanya dengan teman satu wilayah saja namun wilayah lain. Bukan hanya satu negara tetapi negara lain. Jadi, hitungannya adalah dunia.
Watak selanjutnya adalah terjadinya percepatan-percepatan disegala bidang kehidupan. Saat ini bukan jamannya lagi untuk bertindak lamban. Semua pelaku bisnis mengamini hal itu sehingga dalam usahanya memenangi persaingan bisnisnya mereka menerapkan pola layanan cepat. Kita dapat lihat contoh Mc Donalds Indonesia yang menerapkan layanan 60 detik siap saji. Jika lewat dari waktu yang ditentukan, maka pelanggan berhak mendapatkan penalti atas itu. Contoh yang lain adalah sms banking yang memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi telepon genggam/seluler. Dengan menggunakan layanan ini, pelanggan akan berhemat berapa puluh menit dibandingkan jika menggunakan layanan konvensional
Watak berikutnya adalah terjadinya peniadaan ruang interaksi, dan waktu. Memang segala aktivitas interaksi kita dibatasi oleh ruang dan waktu.
Watak yang terakhir adalah kebebasan/kemerdekaan dalam bertindak. Watak yang terakhir ini sebenarnya adalah watak alamiah dimana setiap individu di muka bumi ini memiliki hak untuk memilih dan menentukan. Perhelatan Piala Dunia 2006 di Jerman mewakili contoh kecil dari era yang telah menghilangkan batas-batas dunia tersebut.
Selain batas-batas dunia, era tersebut juga menghilangkan jeda waktu (lead time) sampainya sumber informasi (source) ke penerima (recievier) dan ruang kejadian. Akhirnya, semua orang di planet bumi ini tersadar bahwa tempat yang mereka pijak bukanlah sesuatu yang maha luas. Tempat pijakan mereka adalah kecil.
Agar kegiatan dapat difokuskan maka selayaknya kita harus menganggap bahwa Komunikasi dan Informasi adalah sebuah komoditas yang ditandai dengan telah terjadinya transformasi besar-besaran dari model konvensional/tradisional ke model yang lebih modern. Hal ini ditandai dengan berubahnya orientasi pelaku-pelaku organisasi-organisasi baik skala profit maupun non-profit atau pelaku perorangan. Mereka menandai orientasinya kepada informasi dan komunikasi. Informasi harus terus menerus digali dan dikumpulkan sedangkan komunikasi harus terus menerus dikembangkan.
Dengan demikian mereka merasa bahwa informasi dan komunikasi harus menjadi komuditi penting yang tidak kalah dengan kapital-kapital produksi dalam teori sebelumnya seperti man, money, material, dan method. Paradigma transformasi orientasi atas komunikasi dan infromasi begitu kuat sehingga mereka merasa hanya inilah satu-satunya jalan untuk memenangkan pertempuran − watak telah terjadinya transformasi ditandai dengan semakin sengitnya kompetisi hidup. Hal ini didasari atas pernyataan : jika anda menguasai lebih banyak informasi maka sesungguhnya anda telah menguasai 90% pertempuran. Atau : Orang yang terbanyak mendapatkan informasi maka dialah orang yang terdepan.
Dalam Bidang Pemerintahan, era globalisasi ditandai dengan hadirnya e-government yang mengacu pada penggunaan teknologi informasi oleh pemerintahan, seperti menggunakan intranet dan internet, yang mempunyai kemampuan menghubungkan keperluan penduduk, bisnis, dan kegiatan lainnya. Bisa merupakan suatu proses transaksi bisnis antara publik dengan pemerintah melalui sistem otomasi dan jaringan internet, lebih umum lagi dikenal sebagai world wide web. Pada intinya e-government adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain. penggunaan teknologi informasi ini kemudian menghasilkan hubungan bentuk baru seperti: G2C (Governmet to Citizen), G2B (Government to Business), dan G2G (Government to Government).
Manfaat e-government yang dapat dirasakan antara lain:
Pelayanan servis yang lebih baik kepada masyarakat.
Informasi dapat disediakan 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, tanpa harus menunggu dibukanya kantor. Informasi dapat dicari dari kantor, rumah, tanpa harus secara fisik datang ke kantor pemerintahan.
Peningkatan hubungan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat umum. Adanya keterbukaan (transparansi) maka diharapkan hubungan antara berbagai pihak menjadi lebih baik. Keterbukaan ini menghilangkan saling curiga dan kekesalan dari semua pihak.
Pemberdayaan masyarakat melalui informasi yang mudah diperoleh.
Dengan adanya informasi yang mencukupi, masyarakat akan belajar untuk dapat menentukan pilihannya. Sebagai contoh, data-data tentang sekolah: jumlah kelas, daya tampung murid, passing grade, dan sebagainya, dapat ditampilkan secara online dan digunakan oleh orang tua untuk memilihkan sekolah yang pas untuk anaknya.
Pelaksanaan pemerintahan yang lebih efisien.
Sebagai contoh, koordinasi pemerintahan dapat dilakukan melalui e-mail atau bahkan video conference. Bagi Indonesia yang luas areanya sangat besar, hal ini sangat membantu. Tanya jawab, koordinasi, diskusi antara pimpinan daerah dapat dilakukan tanpa kesemuanya harus berada pada lokasi fisik yang sama.
Tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang baik sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan oleh aparatur pemerintah. Salah satu solusi yang diperlukan adalah keterpaduan sistem penyelenggaraan pemerintah melalui jaringan sistem informasi on- line antar instansi pemerintah baik pusat dan daerah untuk mengakses seluruh data dan informasi terutama yang berhubungan dengan pelayanan publik.
Dalam sektor pemerintah, perubahan lingkungan strategis dan kemajuan teknologi mendorong aparatur pemerintah untuk mengantisipasi paradigma baru dengan upaya peningkatan kinerja birokrasi serta perbaikan pelayanan menuju terwujudnya pemerintah yang baik (good govermance). Hal terpenting yang harus dicermati adalah sektor pemerintah merupakan pendorong serta fasilitator dalam keberhasilan berbagai kegiatan pembangunan, oleh karena itu keberhasilan pembangunan harus didukung oleh kecepatan arus data dan informasi antar instansi agar terjadi keterpaduan sistem antara pemerintah dengan pihak penggunan lainnya.
SOAL KE-3
Birokrasi pemerintah dalam bidang pendidikan, yang semula diharapkan bahkan diandalkan sebagai agent of change dan sebagai pilar yang setia kepada pemerintah dalam menjalankan masing-masing TUPOKSInya, ternyata
a. Menghadapi sistem perundang-undangan yang banyak sumbernya dan materinyapun tidak komprehensif, tidak jelas bahkan sering membingungkan
JAWABAN
Osborne dan Gaebler (1992) menyebutkan bahwa birokrasi dapat menekuni misinya yang selama ini terabaikan, yaitu empowering dan enabling institutions satuan-satuan sosial masyarakat, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. North (1990), mengindikasikan bahwa : aturan-aturan main dalam suatu masyarakat terbentuk dari interaksi yang dibangun di antara mereka dan institusi-institusi yang ada mereducenya ke dalam struktur.
Disadari bahwa, dominasi peran pemerintah dalam mengembangkan struktur birokrasi yang responsif, masih terus dikritisi dan terus menjadi ajang diskursus yang menarik. Kegagalan demi kegagalan yang dialami selama ini, selain disebabkan oleh faktor-faktor yang disebutkan di atas, juga karena masih adanya miskonsepsi dalam memandang eksistensi kewenangannya tanpa tatanan model birokrasi yang tepat, juga terjadi malpraktek karena ketidak jelasan visi, misi, tugas dan fungsi yang harus diemban. Kecenderungan faktualnya adalah bahwa gerak adaptif birokrasi terkendala oleh :
Pertama, kian menjamurnya distorsi pemahaman tentang visi dan misi.
Kedua, lahirnya dualisme acuan tata pemerintaan.
Ketiga, merebaknya kendala struktur-fungsi birokrasi.
Pengertian lebih luas mengenai agen perubahan adalah orang professional yang tugasnya membantu masyarakat atau kelompok merencanakan pembangunan atau membentuk kembali sasaran , memfokus pada masalah, mencari pemecahan masalah yang mungkin, mengatur bantuan, merencanakan tindakan yang dimaksudkan untuk memperbaiki situasi, mengatasi kesulitan dan mengevaluasi hasil dari usaha terencana.
Pembaharuan hukum yang terkotak-kotak (fragmentaris) dan tambal sulam di antara lembaga pemerintahan harus dicegah. Penegakan hukum harus dilakukan secara sistematis, terarah dan dilandasi oleh konsep yang jelas. Selain itu penegakan hukum harus benar-benar ditujukan untuk meningkatkan jaminan dan kepastian hukum dalam masyarakat, baik di tingkat pusat maupun daerah sehingga keadilan dan perlindungan hukum terhadap HAM benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat. Untuk menjamin adanya pemerintah yang bersih (clean government) serta kepemerintahan yang baik (good governance), maka pelaksanaan pembangunan hukum harus memenuhi asas-asas kewajiban prosedural (fairness), pertanggungjawaban publik (accountability) dan dapat dipenuhi kewajiban untuk peka terhadap aspirasi masyarakat (responsibility). Untuk itu, dukungan dari penyelenggara negara secara nyata (political will) merupakan faktor yang menentukan terlaksananya pembangunan hukum secara konsisten dan konsekuen. Di samping itu koordinasi yang baik antara institusi pemerintah yang mengelola hukum dan perundangan, dengan perguruan tinggi serta LSM dalam menyusun langkah-langkah pembenahan reformasi hukum sangat diperlukan, utamanya dalam menyusun rancangan dasar dan strategi (grand design) reformasi hukum yang berkesinambungan.
Supaya tidak membingungkan, ada dua langkah penting untuk mendorong penyempurnaan peraturan perundangan yang mengarah pada independensi administrasi negara. Pertama, membangun dan memperluas wacana independensi administrasi negara dari pemerintah. Kedua, mengawal proses pembahasan dan penyempurnaan undang-undang yang berkaitan dengan administrasi negara dan pegawai negeri. Membangun dan memperluas wacana independensi administrasi negara dimaksudkan agar publik semakin terbuka pikirannya, bahwa;
1. Administrasi negara (instansi dan pegawai negeri) adalah abdi negara yang tunduk pada kepentingan negara dan bukan abdi/bawahan pemerintah yang tunduk pada kepentingan pemerintah sebagai lembaga yang sarat kepentingan politik dan kekuasaan.
2. Administrasi negara sebagai organ birokrasi negara selama ini tidak pernah bekerja maksimal karena besarnya pengaruh politik dan kekuasaan. Belajar dari sejarah, besarnya pengaruh politik dan kekuasan dalam birokrasi menjadi sumber utama penyebab korupsi, buruknya layanan dan inefisiensi.
3. Administrasi negara harus dilepaskan dari pengaruh besar pemerintah agar birokrasi mampu memberikan pelayanan publik yang profesional dan tidak rentan terhadap pengaruh tarik-menarik kepentingan politis dan kekuasaan.
4. Administrasi negara harus independen untuk menjamin pembatasan kekuasaan dan efektivitas demokrasi.
b. Prosesnya melalui banyak tingkatan hierarki, berlangsung lama untuk kepentingan kordinasi maka keputusannyapun menjadi lama
JAWABAN
Pengambilan keputusan dalam organisasi adalah proses atau mekanisme dengan mana serangkaian fakta kegiatan dipilih dari sejumlah rangkaian kegiatan yang ada dengan membuat pilihan mengenai tujuan, alokasi anggaran, personalia, cara melaksanakan pekerjaan, dan cara memperbaiki keefektifan unitnya. Pengambilan keputusan dapat menjadi kompleks karena melibatkan sejumlah orang, sejumlah latihan, sejumlah pengetahuan dan sejumlah masukan-masukan yang factual yang dimungkinkan menentukan dan menyelesaikan keputusan akhir dalam suatu lingkungan organisasi.
Keputusan organisasi merupakan bagian dari seluruh proses, yang secara actual bermula dengan penentuan tujuan organisasi dan pada akhirnya menghasilkan satu jenis penyelesaian, implementasi atau kegiatan dan pengendalian atau prosedur-prosedur arus balik. Taraf pengambilan keputusan meliputi pilihan diantara beberapa alternative yang memungkinkan keputusan dapat diam,bil dalam setiap tingkat proses.
Oleh karena itu supaya Prosesnya tidak melalui banyak tingkatan hierarki, tidak berlangsung lama dan kepentingan kordinasi tetap berjalan lancer maka keputusan dalam organisasi tersebut menurut Hicks dan Gullet ( Syaiful Sagala, 2006:130 ) harus meliputi proses atau mekanisme dimana serangkaian fakta kegiatan dipilih dari antara sejumlah rangkaian kegiatan yang ada, yaitu :
(1) mengumpulkan informasi untuk diteruskan kepada pengambil keputusan mengenai apa yang dapat dilakukan,
(2) memproses dan menginterpretasikan informasi tersebut untuk member saran kepada pembuat keputusan apa yang harus dilakukan
(3) membuat pilihan apa yang hendak dilakukan
(4) member wewenang kepada orang lain mengenai apa yang hendak dilakukan
(5) Melaksanakan keputusan
c. Banyak peluang loop holes antara ketentuan formal dan praktek yang sudah membiasa untuk terjadi perbuatan kongkalikong dan KKN
JAWABAN
Dalam suatu negara hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih adalah merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu negara melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan di berbagai bidang. Yang dimaksud dengan supremasi hukum adalah keberadaan hukum yang dibentuk melalui proses yang demokratis dan merupakan landasan berpijak bagi seluruh penyelenggara negara dan masyarakat dalam arti luas, sehingga pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dapat berjalan sesuai aturan yang telah ditetapkan.
Sedangkan pemerintahan yang bersih adalah pemerintahan yang bebas dari praktek KKN dan perbuatan tercela lainnya. Dengan demikian, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih yang didukung oleh partisipasi masyarakat dan atau lembaga kemasyarakatan untuk melakukan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan umum dan pembangunan merupakan salah satu upaya reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan good governance.
Kondisi saat ini, memperlihatkan bahwa pembahasan mengenai masalah penyelewengan kekuasaan atau kewenangan yang berbentuk korupsi, kolusi dan nepotisme, meskipun cukup komprehensif dan disertai peraturan perundang-undangan yang lengkap dan bagus sebagaimana diuraikan secara singkat di atas, namun belum nampak dilakukan penanganan yang serius oleh pemerintah.
Selain itu, belum berhasilnya pemberantasan korupsi meskipun sudah ada perangkat hukum yang bagus dan dilengkapi dengan berbagai lembaga penangkal korupsi yang juga cukup banyak seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pengawasan Fungsional -- BPKP, Bawasda, Inspektorat --, Pengawasan Melekat (Waskat), dan Pengawasan Masyarakat (Wasmas), disebabkan antara lain belum adanya persamaan persepsi antara penegak hukum dalam memahami dan melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut, dan belum mantapnya penyelenggaraan fungsi lembaga-lembaga penangkal korupsi.
Sesungguhnya kondisi yang mendukung upaya untuk mencari solusi yang tuntas terhadap masalah besar ini telah tersedia, yaitu tingkat kritis masyarakat yang tidak lagi tabu untuk membuka borok penyelewengan atau KKN. Transparansi semakin menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar, masyarakat semakin tergugah untuk menuntut keadilan dan kebenaran. Masyarakat semakin memiliki keberanian untuk mengungkapkan masalah-masalah yang semula hanya menjadi bahan gunjingan.
Namun demikian, dalam keadaan masih lemahnya tradisi atau budaya disiplin dan patuh hukum dari penyelenggara negara termasuk penegak hukumnya dan masyarakat, dan selama hukum kita belum dapat benar-benar melindungi semua orang secara adil, selama hukum masih bisa dibelokkan untuk kepentingan yang berkuasa atau kelompoknya atau yang mampu dan bersedia membayar, maka reformasi birokrasi akan berjalan timpang dan sulit untuk mewujudkan good governance yang kita cita-citakan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Sidang Istimewa tahun 1998, telah mengeluarkan Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penye-lenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan tersebut antara lain menyatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten Undang Undang Tindak Pidana Korupsi. Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Suharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia. Untuk mencegah praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme, ditentukan pula bahwa seseorang yang menjabat suatu jabatan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya dan harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh Kepala Negara.
Sebagai pelaksanaan ketetapan MPR tersebut, di samping dibentuk Undang-undang baru, juga dilakukan pembaharuan atas Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 1971. Undang-Undang baru yang dibentuk adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang disahkan tanggal 18 Mei 1999. Undang-Undang ini antara lain menentukan pula kewajiban setiap penyelenggara negara untuk (1) mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya; (2) bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
(3) melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat; (4) tidak melakukan KKN; (5) melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan; (6) melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela; dan (7) bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN, serta dalam perkara lainnya.
Selanjutnya Undang-Undang tersebut menjelaskan maksud dari penyelenggara negara yang bersih yaitu adalah penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya. Asas-asas umum penyelenggaraan negara dimaksud meliputi (1) Asas Kepastian hukum; (2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; (3) Asas Kepentingan Umum; (4) Asas Keterbukaan; (5) Asas Proporsionalitas; (6) Asas profesionalitas; dan (7) Asas Akuntabilitas.
Kemudian untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN, Presiden selaku Kepala Negara berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 127 tahun 1999 membentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara, sebagai lembaga independen yang dalam pelaksanaan tugasnya bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Keanggotaan komisi ini terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat; dan terdiri dari Sub Komisi eksekutif, legislatif, yudikatif dan BUMN/BUMD. Hasil-hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa disampaikan kepada Presiden, DPR, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Khusus hasil-hasil pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat di lingkungan yudikatif juga disampaikan kepada Mahkamah Agung. Pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan DPR, untuk masa jabatan 5 tahun.
Selain itu untuk memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ini secara tegas menuangkan keinginan untuk memberantas praktik korupsi; antara lain dengan dimuatnya secara lebih tegas tentang unsur suap, dan juga tentang tindak pidana suap lain yang disebut sebagai gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan, kewajiban, dan tugas.
Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti yang luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pemberian tersebut, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan mempergunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Dengan pencantuman gratifikasi tersebut, makin jelasl bahwa berbagai fasilitas yang selama ini diragukan sebagai suatu pelanggaran atau penyelewengan menjadi jelas, yaitu semua itu termasuk kategori suap yang dapat diusut.
Pemahaman tentang gratifikasi menjadi makin penting mengingat perkembangan saat ini menunjukkan makin banyaknya pejabat publik yang tidak berasal dari karir birokrasi dan beberapa birokrat muda yang kurang memiliki pengalaman penyelenggaraan aturan disiplin sebagai pegawai negeri..
d. Software, hardware, humanware, heartware dengan N-Ach yang rendah
JAWABAN
Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina, Vietnam dan India.
• Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk
memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.
• Para eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar negara di kawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers). Mereka juga mencatat beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap birokrasi untuk melakukan reformasi.
Birokrasi pemerintah dalam bidang pendidikan, yang semula diharapkan bahkan diandalkan sebagai agent of change dan sebagai pilar yang setia kepada pemerintah dalam menjalankan masing-masing TUPOKSI menurut Marx sebaiknya memposisikan dirinya sebagai kelompok sosial tertentu yang dapat menjadi instrumen kelompok dominan/penguasa. Kalau sebatas hanya sebagai penengah antara negara yang mewakili kelompok kepentingan umum dengan kelompok kepentingan khusus yang diwakili oleh pengusaha dan profesi, maka birokrasi tidak akan berarti apa-apa. Dengan konsep seperti ini, Marx menginginkan birokrasi harus memihak kepada kelompok tertentu yang berkuasa.
Sedangkan Hegel dengan konsep tiga kelompok dalam masyarakat di atas menginginkan birokrasi harus berposisi di tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum(negara) dengan kelompok kepentingan khusus (pengusaha dan profesi). Birokrasi dalam hal ini, menurut Hegel, harus netral (Anshori, 2004). Sedangkan menurut Wilson, birokrasi sebagai lembaga pelaksana kebijakan politik, dalam kaitannya dengan netralitas birokrasi, berada di luar bagian politik. Sehingga permasalahan birokrasi/administrasi hanya terkait dengan persoalan bisnis dan harus terlepas dari segala urusan politik (the hurry and strife of politics).
Konsep dasar yang diletakkan Wilson kemudian diikuti para sarjana ilmu politik lainnya seperti D. White, Willoughby dan Frank Goodnow. Menurut Goodnow, ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain, yaitu politik dan adiministrasi. Politik menurut Goodnow harus membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan, sementara administrasi berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan. Konsekuensinya, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar muncul tanggung jawab serta bisa meneguhkan posisi birokrasi di hadapan .
Untuk menghindari munculnya birokrasi yang otoriter (the authoritarian bureaucracy), maka kontrol yang kuat harus benar-benar dilakukan oleh kekuatan sosial dan politik yang ada melalui lembaga legislatif agar birokrasi pemerintah tidak kebal kritik, dan merasa tidak pernah salah, serta arogan. Sedangkan sebagai lembaga pelayanan publik, agar pelayananannya kepada masyarakat dan pengabdiannya kepada pemerintah lebih fungsional, maka birokrasi perlu netral, dalam artian birokrasi tidak memihak kepada atau berasal dari satu kekuatan politik tertentu yang dominan. Selain itu, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan atau pengambilan keputusan.
Tarik-menarik politik dan kekuasaan berpengaruh kuat terhadap pergeseran fungsi dan peran birokrasi selama ini. Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan.
Sampai saat ini, pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin birokrasi memberi pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit birokrasi lainnya yang termasuk kedalam lingkar software, hardware, humanware, heartware dan N-Ach yang rendah.
Idealnya bahwa birokrasi bukan bawahan atau kepanjangan tangan pemerintah. Birokrasi merupakan alat negara yang perlu memiliki aturan main sendiri dan didukung oleh perundang-undangan tersendiri. Oleh karenanya, relasi antara birokrasi dan eksekutif harus diatur sedemikian rupa sehingga birokrasi menjadi sungguh-sungguh bekerja sebagai abdi negara dan bukan sebagai abdi kekuasaan.
Rendahnya software, hardware, humanware, heartware dan N-Ach birokrasi memerlukan adannya reformasi dalam bidang birokrasi pemerintahan.
Reformasi menurut temuan PERC terjadi di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Korea Selatan. Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000 membaik, meskipun di bawah rata-rata, yakni masinng-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun lalu yang 8,14 dan 8,7. Tahun lalu (1999), hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk.
Reformasi Birokrasi pemerintah dalam bidang penyelenggaraan pendidikan dan penyelenggaraan negara serta pembangunan baik di pusat maupun di daerah-daerah, perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut.
Pertama, demokrasi dan pemberdayaan. Hidupnya demokrasi dalam suatu negara bangsa, dicerminkan oleh adanya pengakuan dan penghormatan negara dan penyelenggara dan aparatur negara atas hak dan kewajiban warga negara, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan mengekspresikan diri secara rasional sebagai wujud rasa tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa. Demokrasi tidak hanya mempunyai makna dan berisikan kebebasan, tetapi juga tanggung jawab; demokrasi sesungguhnya keariefan dalam memikul tanggung jawab dalam mewujudkan tujuan bersama, yang dilakukan secara berkeadaban. Dalam rangka itu, birokrasi dalam mengemban tugas pemerintahan dan pembangunan, tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi mengarahkan ("steering rather than rowing"), atau memilih kombinasi yang optimal antara steering dan rowing apabila langkah tersebut merupakan cara terbaik untuk mencapai kesejahteraan sosial yang maksimal. Yang jelas sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, tidak perlu dilakukan lagi oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus dimampukan atau diberdayakan (empowered). Pemberdayaan berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan pembangunan.
Dalam rangka memberdayakan masyarakat dalam memikul tanggung jawab pembangunan, peran pemerintah dapat direinveting antara lain melalui (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan (c) pengembangan program untuk lebih mening-katkan keamampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kedua, pelayanan. Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani masyarakat ("a spirit of public services"), dan menjadi mitra masyarakat ("partner of society"); atau melakukan kerja sama dengan masyarakat ("co production, atau partnership”). Hal tersebut memerlukan perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik ("code of ethical conducts") yang didasarkan pada dukungan lingkungan ("enabling strategy") yang diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah-daerah.
Pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara, yang esensinya "melayani publik", harus benar-benar dihayati para penyelenggara pemerintahan negara.
Ketiga, transparansi. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, di samping mematuhi kode etik, aparatur dan sistem manajemen publik harus mengembangkan keterbukaaan dan sistem akuntabilitas, serta bersikap terbuka untuk mendorong para pimpinan dan seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan kode etik dimaksud, serta dapat menjadikan diri mereka sebagai panutan masyarakat sebagai bagian dari pelaksanaan pertanggungjawaban kepada masyarakat
Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan, selain (1) memerlukan keterbukaan birokrasi pemerintah, juga (2) memerlukan langkah-langkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas dan otoaktivitas mereka, serta (3) memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperanserta dalam proses penyusu-nan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Pemberdayaan dan keterbukaan akan lebih mendorong akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya, dan adanya keputusan-keputusan pembangunan yang benar-benar diarahkan sesuai prioritas dan kebutuhan masyarakat, serta dilakukan secara riil dan adil sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Keempat, partisipasi. Masyarakat diikutsertakan dalam proses menghasil-kan public good and services dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan, dan bukan semata-mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat ("empowering rather than serving"), kepercayaan masyarakat harus meningkat, dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi ditingkatkan.
Konsep pemberdayaan ("empowerment") juga selalu dikaitkan dengan pendekatan partisipasi dan kemitraan dalam manajemen pembangunan, dan memberikan penekanan pada desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan agar diperoleh hasil yang diharapkan dengan usaha negara.
Kelima, kemitraan. Dalam membangun masyarakat yang modern di mana dunia usaha menjadi ujung tombaknya, terwujudnya kemitraan, dan modernisasi dunia usaha terutama usaha kecil dan menengah yang terarah pada peningkatan mutu dan efisiensi serta produktivitas usaha amat penting, khususnya dalam pengembangan dan penguasaan teknologi dan manajemen produksi, pemasaran, dan informasi.
Dalam upaya mengembangkan kemitraan dunia usaha yang saling meng-untungkan antara usaha besar, menengah, dan kecil, peranan pemerintah ditujukan ke arah pertumbuhan yang serasi. Pemerintah berperan dalam menciptakan iklim usaha dan kondisi lingkungan bisnis, melalui berbagai kebijaksanaan dan perangkat perundang-undangan yang mendorong terjadinya kemitraan antarskala usaha besar, menengah, dan kecil dalam produksi dan pemasaran barang dan jasa, dan dalam berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan lainnya, serta pengintegrasian usaha kecil ke dalam sektor modern dalam ekonomi nasional, serta mendorong proses pertumbuhannya. Dalam proses tersebut adanya kepastian hukum sangat diperlukan.
Keenam, desentralisasi. Desentralisasi merupakan wujud nyata dari otonomi daerah, merupakan amanat konstitusi, dan tuntutan demokratisasi dan globalisasi. Dalam Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, otonomi dilaksanakan dengan pelimpahan kewenangan yang luas kepada daerah Kabupaten/Kota, dan Daerah Provinsi berperan lebih banyak dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi, termasuk urusan lintas Kabupaten/Kodya yang memerlukan penyelesaian secara terkoordinasi. Penguatan kelembagaan sangat diperlukan dalam mewujudkan format otonomi daerah yang baru tersebut, termasuk kemampuan dalam proses pengambilan keputusan. Ini adalah langkah yang tepat, sebab perubahan-perubahan yang cepat di segala bidang pembangunan menuntut pengambilan keputusan yang tidak terpusat, tetapi tersebar sesuai dengan fungsi, dan tangung jawab yang ada di daerah.
Karena pembangunan pada hakekatnya dilaksanakan di daerah-daerah, berbagai kewenangan yang selama ini ditangani oleh pemerintah pusat, diserahkan kepada pemerintah daerah. Langkah-langkah serupa perlu diikuti pula oleh organisasi-organisasi dunia usaha, khususnya perusahaan-perusahaan besar yang berkantor pusat di Jakarta, sehingga pengambilan keputusan bisnis bisa pula secara cepat dilakukan di daerah. Dengan kata lain desentralisasi perlu juga dilakukan oleh organisasi-organisasi bisnis.
Perbedaan perkembangan antardaerah mempunyai implikasi yang berbeda pada macam dan intensitas peranan pemerintah, namun pada umumnya masyarakat dan dunia usaha memerlukan (a) desentralisasi dalam pemberian perizinan, dan efisiensi pelayanan birokrasi bagi kegiatan-kegiatan dunia usaha di bidang sosial ekonomi, (b) penyesuaian kebijakan pajak dan perkreditan yang lebih nyata bagi pembangunan di kawasan-kawasan tertinggal, dan sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang sesuai dengan kontribusi dan potensi pembangu-nan daerah, serta (c) ketersediaan dan kemudahan mendapatkan informasi mengenai potensi dan peluang bisnis di daerah dan di wilayah lainnya kepada daerah di dalam upaya peningkatan pembangunan daerah.
Ketujuh, konsistensi kebijakan, dan kepastian hukum.
Dalam pada itu, pada era globalisasi, dalam ekonomi yang makin terbuka, meskipun untuk meningkatkan efisiensi perekonomian harus makin diarahkan kepada ekonomi pasar, namun intervensi pemerintah harus menjamin bahwa persaingan berjalan dengan berimbang, dan pemerataan terpelihara. Yang terutama harus dicegah terjadinya proses kesenjangan yang makin melebar, karena kesempatan yang muncul dari ekonomi yang terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah, sektor, atau golongan ekonomi yang lebih maju. Peranan pemerintah makin dituntut untuk lebih dicurahkan pada upaya pemerataan. Penyelenggara pemerintahan negara harus mempunyai komitmen yang kuat kepada kepentingan rakyat, kepada cita-cita keadilan sosial.
Kedelapan, akuntabilitas. Langkah lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dalam reformasi birokrasi adalah peningkatan akuntabilitas kinerja birokrasi dalam setiap instansi pemerintahan. Isu akuntabilitas telah banyak dibicarakan dan menjadi semakin hangat dalam era reformasi. Akuntabilitas yang sebelumnya hanya terkait pada akuntabilitas keuangan dirasakan tidak dapat memberikan rasa puas di kalangan masyarakat. Akuntabilitas yang bukan hanya menyangkut aspek keuangan harus dapat diselenggarakan oleh seluruh instansi pemerintahan. Dalam hubungan itu, masyarakat harus dapat memperoleh informasi yang lengkap mengenai kegiatan instansi penyelenggara pelayanan publik melalui laporan akuntabilitas pemerintah.
Akuntabilitas secara filosofik timbul karena adanya kekuasaan yang berupa amanah yang diberikan kepada orang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Dari pengertian di atas tersirat bahwa pihak yang diberikan amanah harus memberikan laporan atas tugas yang telah dipercayakan kepadanya, dengan mengungkapkan segala sesuatu yang dilakukan, dilihat, dira-sakan yang mencerminkan keberhasilan dan kegagalan. Dengan kata lain laporan akuntabilitas tersebut bukan sekedar laporan kepatuhan dan kewajaran pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tetapi juga termasuk berbagai indikator kinerja yang dicapai, di samping kewajiban untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang apa yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini si penerima amanah harus dapat dan berani mengungkapkan dalam laporannya semua kegagalan yang terjadi berkenaan dengan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pihak yang lebih tinggi.
Pada dimensi lain, secara internal, dapat pula diidentifikasi akuntabilitas spiritual seseorang. alam hubungan ini akuntabilitas merupakan pertang-gungjawaban orang seorang kepada Tuhannya. Akuntabilitas ini meliputi pertanggungjawaban sendiri mengenai segala sesuatu yang dijalankannya, hanya diketahui dan difahami yang bersangkutan. Semua tindakan akuntabilitas spiritual didasarkan pada hubungan orang bersngkutan dengan Tuhan. Namun apabila betul-betul dilaksanakan dengan penuh iman dan taqwa, kesadaran akan akuntabilitas spiritual ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada pencapaian kinerja kelembagaan. Itulah sebabnya mengapa seseorang dapat melaksanakan pekerjaan dengan hasil yang berbeda dengan orang lain, atau mengapa suatu instansi menghasilkan kuantitas dan kualitas yang berbeda terhadap suatu pekerjaan yang sama-sama dikerjakan oleh instansi lainnya walaupan uraian tugas pokok dan fungsinya telah nyata-nyata dijelaskan secara rinci.
Akuntabilitas dapat pula dilihat dari sisi eksternal, yaitu akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan bawahan) maupun lingkungan masyarakat. Kegagalan seseorang memenuhi akuntabilitas ekternal mencakup pemborosan waktu, pemborosan sumber dana dan sumber-sumber daya pemerintah yang lain, kewenangan, dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Akuntabilitas eksternal lebih mudah diukur mengingat norma dan standar yang tersedia memang sudah jelas. Kontrol dan penilaian dari faktor ekternal sudah ada dalam mekanisme yang terbentuk dalam suatu sistem dan prosedur kerja. Seorang atasan akan memantau pekerjaan bawahannya dan akan memberikan teguran apabila terjadi penyimpangan. Rekan kerja akan saling mengingatkan dalam pencapaian akuntabilitas masing-masing. Hal ini dapat terwujud dikarenakan ada saling ketergantungan di antara mereka. Masyarakat dan lembaga-lembaga pengontrol dan penyeimbang akan bersuara dengan lantang apabila pelayanan yang diterimanya dari birokrasi tidak seperti yang diharapkannya.
Dengan penerapan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah maka keberpihakan birokrasi pada kepentingan masyarakat akan menjadi lebih besar serta dapat mempertahankan posisi netralnya. Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah ini akan menjadi semacam sistem pengendalian intern bagi birokrasi.
SOAL KE-4
Mutu kinerja birokrasi pendidikan yang mendapat makin banyak beban dari kebingungan masyarakat umum, kekacauan dalam lingkungan elit social-ekonomi-politik, kelambanan administrasi manajemen anggaran, kejelasan peraturan pelaksanaan tentang sisdiknas, tentang Guru-Dosen, dan PP tentang Standari Nasional Pendidikan, dan kebimbangan psikologis menghadapi tindakan-tindakan para penegak hukum, tidak mungkin hanya diperbaiki dengan gaya dan konsep manajemen yang as usual melainkan wajib dengan
a. Kemampuan komunikasi eksternal secara strategik, intensif dan terbuka
JAWABAN
Suatu persyaratan penting bagi efektivitas atau kesuksesan pemimpin (kepemimpinan) dan manajer (manajemen) dalam mengemban peran, tugas, fungsi, atau pun tanggung jawabnya masing-masing adalah Kemampuan melakukan komunikasi eksternal secara strategik, intensif dan terbuka yang merupakan bagian dari kompetensi kepemimpinan. Konsep mengenai kompetensi untuk pertamakalinya dipopulerkan oleh Boyatzis (1982) yang didefinisikan kompetensi sebagai “kemampuan yang dimiliki seseorang yang nampak pada sikapnya yang sesuai dengan kebutuhan kerja dalam parameter lingkungan organisasi dan memberikan hasil yang diinginkan”.
Menurut Chowdury (2000) manajemen pada Abad 21 akan tergantung pada 3 faktor yang menopangnya, yakni kepemimpinan, proses, dan organisasi. Asset yang paling berharga bagi pemimpin Abad 21 adalah kemampuan untuk membangun impian seperti dilakukan para entrepreneurs.
Faktor pertama,
Pemimpin Abad 21 adalah pemimpin yang memiliki kompetensi berupa kemampuan mengembangkan peoplistic communication, emotion and belief, multi skill, dan juga memiliki next mentality. Pemimpin yang berhasil dalam mengejar dan mengerjakan impian-impiannya menggunakan komunikasi, dan memberikan inspirasi kepada setiap orang dalam organisasi untuk juga meyakini impiannya. Sebab itu, kompetensi sang pemimpin ditandai dengan sikap peoplistic bukan individualistic.
Diingatkan oleh Chowdury bahwa “You can have the best communication system, but if you areindividualistic as a leader the organization suffers”. Seorang komunikator yang peopulistik mengembangkan iklim yang bersahabat di mana setiap orang dapat berkomunikasi secara cepat. Dalam organisasi yang besar komunikasi dapat mengalami kegagalan karena jenjang birokrasi dan orang hanya menerima sekitar 10% dari informasi yang dibutuhkannya. “The 21st century leader will be a firm believe in such peoplistic communication, which is fast and all envolving”. Kompetensi lain menurut Chowdury adalah sentuhan emosional (emotion) dan kepercayaan (belief). Emosi dalam pengertian “You should touch the heart, touch the mind, touch the emotion”.
Komitment emosional sangat berharga bagi manajemen. Untuk mendapatkan komitmen terhadap suatu strategi baru, dapat ditempu dengan melibatkan orang-orang dalam penyusunan startegi tersebut, dan dengan mengurangi jangka waktu antara konsptualisasi strategi dan pelaksanaannya. Sedangkan mengenai believe, dikemukakan bahwa “That should be the 21st century leader’s watchword”; dan ada perbedaan mendasar antara memenrima (accepting) dan mempercayai (believing).
Bertalian denga kompetensi multi skill, Chowdury memandang bahwa “twenty first century leaders will become more multi-skilled than their 20th century predecessors”…”One of the important characteristics of multi-skill leader is the abality to encourage diversity”. Sebab, tantangan organisasional sesungguhnya pada Abad 21 bukanlah jarak geograpikal, melainkan diversitas kultural. Mengenai next mentality, yang dipandang sebagai kunci keberhasilan oragnisasi Abad 21, meliputi hard working, never satisfied, idea-centric, curious, dan persistent.
Faktor kedua,
Proses Abad 21 fokus pada kegiatan inti (core pactices), meliputi 4 area kritis berupa grass root education, fire prevention, direct interaction, dan effecrive globalization. Grass root education dimaksudkan pendidikan dan pelatihan yang melibatkan seluruh staff tanpa diskriminasi, dari pimpinan sampai staff biasa. Fire prevention dimaksudkan sebagau wawasan dan upaya untuk meningkatkan durasi kemanfaatan teknologi dalam produksi dan distribusi produk-produk tertentu.
Direct interaction, organisasi Abad 21 menekankan lebih pada entusisme pelanggan di samping kepuasannya; “Customer enthusiasism means excitement and loyalty on the part of customer, fuelled by the service and producta available to them exceeding their expectations”. Effecrive globalization; gloablisasi selalu mengandung resiko yang berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Permasalahannya adalah berapa cepat respons dalam menghadapi perubahan dramatik yang terjadi. Dalam hubungan itu, Chowdury berpandangan bahwa manajemen harus : study local culture, local market, and local competition; prepare a busisness model that effectively seves the market needs; select the right strategic local partner or group with thw bwst local market knowledge; encourage employees by maintaining local values; introduce new and innovative product, with local flavour.
Faktor ketiga,
Organisasi Abd 21 yang komit terhadap kualitas sumber daya manusia. “The driving force of behind a 21 st century organization will be it people…People manage people, inside and outside an oraganization. Effective management of people is a challlenge managers will increasingly face in the 21 st century”.
b. Kesadaran diri dan kesadaran kolektif dalam tiap satuan organisasi yangbersangkutan
JAWABAN
Pemimpin publik harus mengenali secara tepat dan utuh baik mengenai dirinya mau pun mengenai kondisi dan aspirasi masyarakat atau orang-orang yang dipimpinnya serta Kesadaran diri dan kesadaran kolektif dalam tiap satuan organisasi dan perkembangan serta permasalahan lingkungan stratejik yang dihadapi dalam berbagai bidang kehidupan utamanya dalam bidang yang digelutinya, serta paradigma dan sistem organisasi dan manajemen di mana ia berperan.
Tanggung jawab pemimpin adalah memberikan jawaban secara arief, efektip, dan produktif atas berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi zamannya, yang dilakukan bersama dengan orang-orang yang dipimpinnya.
Menurut Ulrich, masyarakat pada Abad 21 adalah suatu masyarakat mega-kompetisi. Pada Abad 21, tidak ada tempat tanpa kompetisi. Kompetisi telah dan akan merupakan prinsip hidup yang baru, karena dunia terbuka dan bersaing untuk melaksanakan sesuatu yang lebih baik. Disisi lain, masyarakat kompetitif dapat melahirkan manusia-manusia yang frustasi apabila tidak dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Masyarakat kompetitif dengan demikian, menuntut perubahan dan pengembangan secara terus menerus.
Ulrich (1998) dalam kaitan ini menawarkan empat agenda utama pengembangan kepemimpinan pada abad ke-21 agar tetap menjadi “champion”, yaitu :
(1) menjadi rekan yang stratejik,
(2) menjadi seorang pakar,
(3) menjadi seorang pekerja ulung, dan
(4) menjadi seorang “agent of change”.
c. Sasaran tentang output organsisasi yang diakui/dirasakan para stakeholder
JAWABAN
Pada abad 21 ini, khususnya birokrasi pendidikan harus bekerja sama dengan sekolah dan orang tua murid serta anggota masyarakat, menanggapi kepentingan dan kebutuhan komunitas yang beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat.
Harus menyadari bahwa tujuan pendidikan tidak mungkin dicapai tanpa melibatkan semua pihak yang berkepentingan, utamanya para orang tua murid. Manajemen sekolah adalah upaya bersama agar hal-hal yang tadinya terasa besar dan berat menjadi lebih terkendali. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Selain itu, birokrasi pendidikan harus memahami, menanggapi, dan mempengaruhi lingkungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih besar.
Birokrasi pendidikan perlu menyadari bahwa kehidupan di satuan pendidikan adalah bagian dari lingkungan kehidupan yang lebih luas. Kehidupan lain di luar satuan pendidikan ikut berpengaruh dalam upayanya mengelola satuan pendidikan dengan baik. Berpikir sistem membantunya untuk memahami posisi satuan pendidikan dalam gambaran yang lebih besar. Satuan pendidikan adalah bagian dari subsistem sosial yang terkait dengan sistem politik, ekonomi, dan lain-lainnya.
Agar mutu kinerja birokrasi pendidikan tidak mendapat beban dari kebingungan masyarakat umum, dan kekacauan dalam lingkungan elit social-ekonomi-politik, maka birokrasi pendidikan harus senantiasa. :
Mengutamakannya kemunculan yang sering, keterlibatan aktif, dan komunikasi dengan masyarakat luas.
membina hubungan dengan para pemimpin masyarakat.
Digunakannya informasi dari keluarga dan masyarakat.
Menciptakan hubungan dengan organisasi bisnis, agama, politik, dan pemerintah.
Disikapinya dengan baik orang-orang dan kelompok yang memiliki nilai-nilai dan opini yang mungkin bertentangan.
Diamankannya sumber daya masyarakat untuik membantu Satuan Pendidikan memecahkan masalah dan mencapai tujuan.
Menciptakan kemitraan dengan dunia bisnis, lembaga pendidikan lain, kelompok masyarakat di sekitar untuk memperkuat program dukungan pencapaian tujuan
Memperlakukan Anggota masyarakat secara sama, diakui dan dihargainya keberagaman.
Menciptakan dan terbinanya hubungan denghan media yang efektif.
Mengadakan program hubungan masyarakat yang komprehensif, dengan Digunakannya sumber daya publik secara tepat dan bijaksana.
Mengadakan kesempatan yang layak bagi staf untuk mengembangkan keterampil-an berkolaborasi.
· adanya upaya sungguh-sungguh untuk mempengaruhi lingkungan operasi satuan pendidikan bagi kepentingan peserta didik dan keluarganya.
· Membiasakan terjadinya komunikasi di kalangan komunitas satuan pendidikan tentang kecenderungan, isu, dan kemungkinan perubahan dalam lingkungan
· Mengadakan dialog terus-menerus dengan wakil-wakil kelompok masyarakat.
· memfungsikannya komunitas satuan pendidikan sesuai dengan kebijakan, hukum, dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dan pusat.
· mempengaruhi pembentukan kebijakan publik untuk menyediakan pendidikan yang bermutu dengan dikembangkannya jalur komunikasi dengan para pengambil keputusan di luar komunitas sekolah.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat berkinerja seperti itu adalah sebagai berikut.
Isu dan trend yang mungkin berdampak pada komunitas satuan pendidikan
Kondisi dan dinamika komunitas satuan pendidikan yang beragam dan Sumber daya masyarakat.
Hubungan masyarakat serta strategi dan proses pemasaran, Model yang berhasil tentang kemitraan, keluarga, bisnis, masyarakat, pemerintah, dan pendidikan tinggi.
· Prinsip-prinsip birokrasi pendidikan yang mendasari sistem sekolah Indonesia.
· Peranan pendidikan umum dalam mengembangkan dan memperbarui masyarakat demokratis.
· Hukum yang berkaitan dengan pendidikan dan persekolahan.
· Sistem dan proses politik, sosial, budaya, dan ekonomi yang mempengaruhi sekolah.
· Model dan strategi perubahan dan resolusi konflik seperti yang diterapkan dalam konteks politik, sosial, budaya, dan ekonomi sekolah.
· Isu-isu dan faktor global yang mempengaruhi proses pembelajaran.
· Dinamika pengembangan dan pendukungan kebijakan dalam sistem politik yang demokratis.
· Pentingnya keragaman dan persamaan dalam masyarakat demokratis.
d. Kepemimpinan yang cerdas, terbuka, memiliki driving and magnetic force dengan niyat dan sikap lillahi taa’laa secara berkelanjutan
JAWABAN
Kepemimpinan yang cerdas, terbuka, memiliki driving and magnetic force ditandai dengan sekumpulan kompetensi kepemimpinan yang dapat dilihat dari beberapa definisi kompetensi terpilih dari waktu ke waktu yang dikembangkan oleh Burgoyne (1988), Woodruffe (1990), Spencer dan kawan-kawan (1990), Furnham (1990) dan Murphy (1993), bahwa kompetensi merupakan karakteristik atau kepribadian (traits) individual yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang.
Selain traits dari Spencer dan Zwell tersebut, terdapat karakteristik kompetensi lainnya, yatu berupa motives, self koncept (Spencer, 1993), knowledge, dan skill ( Spencer, 1993; Rothwell and Kazanas, 1993). Menurut review Asropi (2002), berbagai kompetensi tersebut mengandung makna sebagai berikut :
Traits merujuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap berbagai situasi atau informasi.
Motives adalah sesuatu yang selalu dipikirkan atau diinginkan seseorang, yang dapat mengarahkan, mendorong, atau menyebabkan orang melakukan suatu tindakan. Motivasi dapat mengarahkan seseorang untuk menetapkan tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan (Amstrong, 1990).
Self concept adalah sikap, nilai, atau citra yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri; yang memberikan keyakinan pada seseorang siapa dirinya.
Knowledge adalah informasi yang dimilki seseorang dalam suatu bidang tertentu.
Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu, baik mental atau pun fisik.
Berbeda dengan keempat karakteristik kompetensi lainnya yang bersifat intention dalam diri individu, skill bersifat action. Menurut Spencer (1993), skill menjelma sebagai perilaku yang di dalamnya terdapat motives, traits, self concept, dan knowledge.
Dalam pada itu, menurut Spencer (1993) dan Kazanas (1993) terdapat kompetensi kepemimpinan secara umum yang dapat berlaku atau dipilah menurut jenjang, fungsi, atau bidang, yaitu kompetensi berupa : result orientation, influence, initiative, flexibility, concern for quality, technical expertise, analytical thinking, conceptual thinking, team work, service orientation, interpersonal awareness, relationship building, cross cultural sensitivity, strategic thinking, entrepreneurial orientation, building organizational commitment, dan empowering others, develiping others. Kompetensi-kompetensi tersebut pada umumnya merupakan kompetensi jabatan manajerial yang diperlukan hampir dalam semua posisi manajerial.
Ke 18 kompetensi yang diidentifikasi Spencer dan Kazanas tersebut dapat diturunkan ke dalam jenjang kepemimpinan berikut : pimpinan puncak, pimpinan menengah, dan pimpinan pengendali operasi teknis (supervisor). Kompetensi pada pimpinan puncak adalah result (achievement) orientation, relationship building, initiative, influence, strategic thinking, building organizational commitment, entrepreneurial orientation, empowering others, developing others, dan felexibilty.
Adapun kompetensi pada tingkat pimpinan menengah lebih berfokus pada influence, result (achievement) orientation, team work, analitycal thinking, initiative, empowering others, developing others, conceptual thingking, relationship building, service orientation, interpersomal awareness, cross cultural sensitivity, dan technical expertise. Sedangkan pada tingkatan supervisor kompetensi kepemimpinannya lebih befokus pada technical expertise, developing others, empowering others, interpersonal understanding, service orientation, building organzational commitment, concern for order, influence, felexibilty, relatiuonship building, result (achievement) orientation, team work, dan cross cultural sensitivity.
Dalam hubungan ini Kouzes dan Posner 1995) meyakini bahwa suatu kinerja yang memiliki kualitas unggul berupa barang atau pun jasa, hanya dapat dihasilkan oleh para pemimpin yang memiliki kualitas prima. Dikemukakan, kualitas kepemimpinan manajerial adalah suatu cara hidup yang dihasilkan dari "mutu pribadi total" ditambah "kendali mutu total" ditambah "mutu kepemimpinan". Berdasarkan penelitiannya, ditemukan bahwa terdapat 5 (lima) praktek mendasar pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan unggul, yaitu; (1) pemimpin yang menantang proses, (2) memberikan inspirasi wawasan bersama, (3) memungkinkan orang lain dapat bertindak dan berpartisipasi, (4) mampu menjadi penunjuk jalan, dan (5) memotivasi bawahan.
Adapun ciri khas manajer yang dikagumi sehingga para bawahan bersedia mengikuti perilakunya adalah, apabila manajer memiliki sifat jujur, memandang masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan teknikal maupun manajerial. Sedangkan Burwash (1996) dalam hubungannya dengan kualitas kepemimpinan manajer mengemukakan, kunci dari kualitas kepemimpinan yang unggul adalah kepemimpinan yang memiliki paling tidak 8 sampai dengan 9 dari 25 kualitas kepemimpinan yang terbaik.
Dinyatakan, pemimpin yang berkualitas tidak puas dengan "status quo" dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria kualitas kepemimpinan manajer yang baik antara lain, memiliki komitmen organisasional yang kuat, visionary, disiplin diri yang tinggi, tidak melakukan kesalahan yang sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi yang tinggi, manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai pendidik atau guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif, memiliki dasar spiritual yang kuat, dan selalu siap melayani.
Dalam pada itu, Warren Bennis (1991) juga mengemukakan bahwa peran kepemimpinan adalah “empowering the collective effort of the organization toward meaningful goals” dengan indikator keberhasilan sebagai berikut : People feel important; Learning and competence are reinforced; People feel they part of the organization; dan Work is viewed as excisting, stimulating, and enjoyable. Sementara itu, Soetjipto Wirosardjono (1993) menandai kualifikasi kepemimpinan berikut, “kepemimpinan yang kita kehendaki adalah kepemimpinan yang secara sejati memancarkan wibawa, karena memiliki komitmen, kredibilitas, dan integritas”.
Sebelum itu, Bennis bersama Burt Nanus (1985) mengidentifikasi bentuk kompetensi kepemimpinan berupa “the ability to manage” dalam empat hal : attention (= vision), meaning (= communication), trust (= emotional glue), and self (= commitment, willingness to take risk). Kemudian pada tahun 1997, keempat konsep tersebut diubah menjadi the new rules of leradership berupa (a) Provide direction and meaning, a sense of purpose; (b) Generate and sustain trust, creating authentic relationships; (c) Display a bias towards action, risk taking and curiosity; dan (d) Are purveyors of hope, optimism and a psychological resilience that expects success (lihat Karol Kennedy, 1998; p.32).
Bagi Rossbeth Moss Kanter (1994), dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin terasa kompleks dan akan berkembang semakin dinamik, diperlukan kompetensi kepemimpinan berupa conception yang tepat, competency yang cukup, connection yang luas, dan confidence.
Tokoh lainnya adalah Ken Shelton (ed, 1997) mengidentikasi kompetensi dalam nuansa lain., menurut hubungan pemimpin dan pengikut, dan jiwa kepemimpinan. Dalam hubungan pemimpin dan pengikut, ia menekankan bagaimana keduanya sebaiknya berinterkasi. Fenomena ini menurut Pace memerlukan kualitas kepemimpinan yang tidak mementingkan diri sendiri. Selain itu, menurut Carleff pemimpin dan pengikut merupak dua sisi dari proses yang sama. Dalam hubungan jiwa kepemimpinan, sejumlah pengamat memasuki wilayah “spiritual”. Rangkaian kualitas lain yang mewarnainya antara lain adalah hati, jiwa, dan moral. Bardwick menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah masalah intelektual atau pengenalan, melainkan masalah emosional. Sedangkan Bell berpikiran bahwa pembimbing yang benar tidak selamanya merupakan mahluk rasional. Mereka seringkali adalah pencari nyala api.
Berbagai kompetensi kepemimpinan yang telah dikemukakan terdahulu, seperti yang dikemukanan Spencer dan Kazanas, Warren Bennis, Kanter akan tetap diperlukan bagi kepemimpinan dan pemimpin Abad 21. Dalam rangka pengembangan pemikiran tersebut ada baiknya apabila kita eksplorasi dan simak kembali berbagai pandangan mengenai kepemimpinan dan pemimpin yang dikemukakan beberapa ahli. Cooper dan Sawaf (1997: p. 15), mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan seseorang pimpinan dalam merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi.
Bethel, mengemukakan bahwa, kepemimpinan merupakan pola keterampilan, bakat, dan gagasan yang selalu berkembang, bertumbuh, dan berubah. White Hodgson, dan Crainer (1997:129-163), berpendapat kepemimpinan masa depan adalah pemimpin yang terus belajar, memaksimalkan energi dan menguasai perasaan yang terdalam, kesederhanaan, dan multifokus. Oleh karena itu, dinyatakan bahwa kualitas menjadi penting dan kuantitas tidak lagi menjadi keunggulan bersaing. Mencari pengetahuan dan menggali ilmu harus terus dilakukan bagi pemimpin masa depan, hal ini sangat penting sebab ilmu pengetahuan merupakan energi vital bagi setiazp organisasi. Sejalan dengan pendapat ini, Kotter (1998), mengemukakan bahwa kemampuan seseorang pemimpin masa depan meliputi kemampuan intelektual dan interpersonal untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien.
Ronald Heifetz dan Laurie (1998) berpendapat, kepemimpinan masa depan adalah seorang pemimpin yang adaptif terhadap tantangan, peraturan yang menekan, memperhatikan pemeliharaan disiplin, memberikan kembali kepada para karyawan, dan menjaga kepemimpinannya. Ditambahkan, kepemimpinan harus selalu menyiapkan berbagai bentuk solusi dalam pemecahan masalah tantangan masa depan. Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap perubahan, ditekankan pada pemanfaatan sumber daya manusia. Untuk itu, perlu dikembangkan peraturan-peraturan baru, hubungan dan kerjasama yan baru, nilai-nilai baru, perilaku baru, dan pendekatan yang baru terhadap pekerjaan.
SOAL KE-5
Para pimpinan dan staf Manajemen Pendidikan masing-masing dan bersatu padu wajib menyadari, mewaspadai, dan menjalankan kewajiban berikut tanggung jawab stratejiknya secara ijtihady, lagi pula any time any where, sebab perubahan dapat terjadi
a. Makin luas, makin intensif dan makin cepat pada tingkat makro, messo dan mikro
JAWABAN
Perubahan dapat terjadi pada diri kita maupun disekeliling kita, perubahan berarti kita harus mengubah dalam cara mengerjakan atau berpikir tentang sesuatu yang dapat menjadi mahal dan sulit.
Perubahan sudah merupakan fenomena global yang tidak dapat dibendung, perubahan merupakan pergeseran dari keadaan sekarang menuju kepada keadaan yang diinginkan atau yang tidak diinginkan. Perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari karena kuatnya dorongan eksternal atau karena adanya kebutuhan internal.
Conner (1992:39) menilai bahwa sedikitnya terdapat tujuh isyu fundamental yang memberikan kontribusi pada peningkatan magnitude perubahan yang kita hadapi, yaitu
Penguasaan komunikasi dan pengetahuan yang semakin cepat
Penduduk dunia semakin tumbuh dan banyak
Meningkatnya interdepensi dan kompetisi
Terbatasnya sumberdaya
Terbaginya ideology politik dan keagamaan
Perubahan kekuasaan secara konstan
Kesulitan ekologis
Dewasa ini kita dihadapkan pada situasi di mana berbagai peristiwa di dunia yang biasanya mempengaruhi orang-orang secara perlahan, sekarang menimpa kita hampir secara serta merta dan sangat kuat. Sistem ekonomi global dewasa ini telah membuat sekitar satu milyar dari 5,8 milyar penduduk dunia terintegrasi melalui produk dan pasar. Kapasitas atau kompetensi mengantisipasi perubahan tersebut kini menjadi faktor pembeda antara kepemimpinan dengan manajemen. Organisasi agar berhasil harus mampu dan mau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan strategiknya (internal maupun eksternal).
Dalam tataran nasional, kompleksitas dan dinamika perkembangan lingkungan stratejik, ditandai oleh permasalahan dan tantangan yang multi dimensional, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, atau kelembagaan, yang di awal Abad 21 ini ditandai antara lain oleh lemahnya struktur dan daya saing perekonomian, lemahnya penegakkan hukum, pelaksanaan otonomi dan desentralisasi yang bablas tanpa rambu-rambu, tingkat kemiskinan dan pengangguran yang makin lebar, tuntutan demokratisasi, dan ancaman desintegrasi.
Pada tataran internasional, terdapat perkiraan bahwa perkembangan lingkungan global ditandai situasi, kondisi, tantangan dan tuntutan, yang makin kompleks, selalu berubah, penuh ketidakpastian, dan bahkan sering tidak ramah. Perkembangan lingkungan stratejik tersebut menuntut pemimpin dan kepemimpinan yang solid, mampu menganti-sipasi perkembangan ke depan, membangun visi, misi, dan strateji serta mengembangkan langkah-langkah kebijakan, sistem kelembagaan dan manajemen pemerintahan yang relevan dengan kompleksitas perkembangan, permasalahan, dan tantangan yang dihadapi.
Oleh karena itu, para pimpinan dan staf Manajemen Pendidikan masing-masing dan bersatu padu wajib menyadari, mewaspadai, dan menjalankan kewajiban berikut tanggung jawab stratejiknya secara ijtihady
b. Secara intended and un-intended, secara predictable and non predictable
JAWABAN
Perubahan dapat terjadi seperti yang diharapkan (intended) atau tidak diharapkan (un-intended ) juga perubahan tersebut dapat diramalkan sebelumnya atau bahkan tidak dapat diramalkan.
Potts dan La Marsh mengemukakan bahwa pada hakikatnya perubahan adalah bergerak dari keadaan sekarang ( the current state ) menuju ke keadaan baru ( the desired state ). Jarak antara keduanya dinamakan the delta state. Orang bereaksi pada the delta state dengan cara yang berbeda. Beberapa diantara kita tumbuh berubah, member tantangan dan energy, sedangkan bagi yang lainnya menimbulkan stress dan kebingungan. Sungguh intentded dan un-intended serta predictable dan non predictable.
Untuk membuat delta state menjadi pengalaman positif bagi yang terpengaruh perubahan adalah dengan mengelola dengan baik dan menawarkan informasi dan dukungan melalui periode transisi. Persoalan dengan delta state adalah bahwa persepsi orang dapat merasa terlalu lama atau terlalu singkat.
Orang menerima perubahan pada tingkat yang berbeda. Hidup kita paling efektif dan efisien jika kita bergerak pada kecepatan yang memungkinkan kita menerima dengan tepat perubahan yang kita hadapi ( Conner, 1992 :12 ). Manusia bergerak pada tingkat kecepatan yang bersifat fluktuatif menurut kapasitas untuk menerima penagruh dan informasi baru. Seberapa baik kita dapat menyerap implikasi perubahan secara dramatis mempengaruhi tingkat keberhasilan kita mengelola tantangan yang dihadapi.
Ketika persepsi kita tentang kemampuan dan keinginan untuk menyelesaikan tugas melebihi atau lebih rendah dari bahaya dan peluang yang kita temui, maka akan mengganggu hasil yang kita harapkan. Jika gangguan terjadi, perubahan besar akan terjadi pula.
Perkembangan dunia yang semakin kompleks meningkatkan tekanan lebih kuat untuk mengelola lebih banyak perubahan pada klecepatan yang meningkat. Untuk itu diperlukan pemahaman terhadap pola perubahan dan prinsip kekenyalan yang perlu dicapai dengan maksud mencapai kecepatan perubahan organisasi secara optimal.
Aplikasi masalah ini akan membantu mempengaruhi bukan hanya kemampuan organisasi menyerap perubahan, tetapi juga kapasitas kita menerima kapasitas social yang lebih besar dimana kita berpartisipasi.
c. Secara repetitive and liniear serta secara non repetitive and non liniear
JAWABAN
Perubahan juga dapat terjadi secara berulang-ulang, lurus dan terus menerus, Fullan ( 2004 :43 ) memberikan pemahaman tentang perubahan tersebut, bahwa
Perubahan bersipat cepat dan non linear sehingga dapat menimbulkan suasana berantakan. Akan tetapi perubahan juga menawarkan potensi besar untuk terobosan kreatif. Paradoks yang timbul adalah bahwa transformasi tidak mungkin terjadi tanpa terjadinya kekacauan
Kebanyakan perubahan dalam setiap system terjadi sebagai respons terhadap kekecauan dalam system lingkungan internal dan eksternal. Apabila respons terhadap gangguan dilakukan segera dan bersifat reflektif, seringkali tidak dapat dikelola, dan masalah lain justru dapat timbul sebagai akibatnya. Masalah juga dapat timbul ketika seseorang berusaha mengelola atau memanage perubahan
Faktor rasional dalam organisasi termasuk strategi dan operasi tidak terintegrasi dengan baik, adanya perbedaan individual, cara pendekatan, dan masalah, persahabatan dan perseteruan yang terjadi mempengaruhi system dan sub system.
Perubahan tidak dapat dimanaje atau dikelola atau dikontrol. Akan tetapi dapat dipahami dan miungkin memberikan petunjuk. Pendapat Drucker, kita tidak sekedar mengelola perubahan, akan tetapi menciptakan perubahan
Perubahan dalam skala yang sangat luas dikemukakan oleh Toffler ( 1980 :23 ) yang menyatakan bahwa telah terjadi gelombang pertama sebagai revolusi pertanian, disusul dengan gelombang kedua berupa revolusi industri, berikutnya diikuti dengan gelombang ketiga yang dengan ragu disebut datangnya masyarakat super industrial.
d. Dapat menimbulkan chaos and death atau peluang untuk second curve
JAWABAN
Abad 21 ditandai globalisasi, kehidupan manusia telah mengalami perubahan-perubahan fundamental yang berbeda dengan tata kehidupan dalam abad sebelumnya. Perubahan-perubahan besar dan mendasar tersebut menuntut penanganan yang berbeda dengan sebelumnya.
Peter Senge (1994) menyatakan bahwa ke depan keadaan berubah dan berkembang dari detail complexity menjadi dynamic complexity. Interpolasi perkembangan sebagai dasar perkiraan masa depan, menjadi sulit bahkan sering salah, bukan saja karena parameter perubahan menjadi sangat banyak, tetapi juga karena sensitivitas perubahan yang laian dalam lingkup yang luas, dan masing-masing perubahan menjadi sulit diperkirakan.
Abad ke-21 juga abad yang menuntut dalam segala usaha dan hasil kerja manusia termasuk di bidang kepemimpinan. Drucker bahkan menyatakan, tantangan manajemen pada Abad ke-21 adalah berkaitan dengan "knowledge worker", yang memerlukan paradigma manajemen baru, strategi baru, pemimpin perubahan, tantangan informasi, produktivitas pegawai berbasis pengetahuan, dan kemampuan mengelola diri sendiri (Drucker, 1999).
Oleh karena itu, jika pimpinan dan staf Manajemen Pendidikan tidak bersatu padu dan tidak menyadari, serta mewaspadai, dan menjalankan kewajiban berikut tanggung jawab stratejiknya secara ijtihady, maka pimpinan dimaksud mengenyampingkan tantangan informasi, produktivitas pegawai berbasis pengetahuan, dan kemampuan mengelola diri sendiri yang akan dapat menimbulkan kekacauan/chaos and death atau peluang untuk second curve, artinya
SOAL KE-6
Tidak boleh dilewatkan atau dilupakan bahwa kompleksitas dan chaos itu, sungguh pada hakekatnya terjadi dalam otak, perasaan atau mudghoh yang dapat berkembang dan berubah kadang-kadang sebagai qalbun maridh, qolbun lawwamah dan qolbun sawwamah
( dan kemudian nanti qolbun mutmainnah ) sehingga konsep-konsep dan kebijakan manajemen stratejik itu wajib disertai
a. Iman-islam-ihsan
JAWABAN
Setiap manusia akan dipengaruhi oleh dua bisikan ke dalam qalbunya yakni bisikan baik dari malaikat dan bisikan buruk/jahat dari iblis/syetan. Sementara itu akal kita akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang ada disekitarnya melalui penglihatan dan pendengaran yakni fenomena alam, tata nilai, adat, budaya dll. Dalam menyaring input-input ini terjadi interaksiantara akal dan kalbu.
Kalbu dengan dimensi Shadr akan mengolah hal-hal yang menyangkut aspek emosional. Shadr adalah potensi kalbu untuk menangkap seluruh nuansa alam dan manusia dari kacamata rasa, yang mencakup kepekaan atas keindahan, kesopanan, dan kelembutan. Shadr ini juga mempunyai potensi untuk mampu memberikan penghargaan atau apresiasi terhadap nilai-nilai keindahan, budaya dan menghormati orang lain.
Dimensi fu'ad/gerentes hate/kebenaran memberikan ruang untuk akal, berfikir, bertafakur, memilih dan mengolah seluruh data yang masuk dalam qalbu dan aqal manusia. Fu'ad melihat berbagai alamat (tanda) yang kemudian menjadi ilmu untuk mewujudkannya dalam bentuk amal/perilaku. Pengawal setia Fu'ad ini adalah akal, zikir, pikir, pendengaran, dan penglihatan. Fungsi akal membantu fua`ad untuk menangkap seluruh fenomena yang bersifat lahir, wujud, dan nyata dengan mendayagunakan fungsi nazhar "indra penglihatan" sedangkan hal-hal yang bersifat perenungan. pemahaman mendalam terhadap hakikat yang bersifat ghalib tidak nyata, dan tidak tampak dalam penglihatan diserahkan kepada potensi pikir dengan mendayagunakan fungsi sam`a "pendengaran". Akal berkaitan dengan keadaan untuk menangkap seluruh gejala alam yang tampak nyata.
Seorang pemimpin yang hanya berlandaskan pada IQ saja, maka visi dan misi serta orientasi kerjanya sebatas pada hal-hal yang sifatnya materialistis, matematis dan pragmatis, dengan mengenyampingkan hal-hal yang berbau spiritual dan sentuhan hati nurani (qolbun). Pencapain visi dan misi oleh pemimpin yang hanya mengandalkan IQ, dilakukan dengan prinsip just do it, sehingga segala bentuk kegagalan ataupun keberhasilan, disikapi sebagai prinsip just a game. bahkan ultimate goal nya juga masih sebatas mancari kepuasan materiil atau duniawi.
Pemimpin yang menerapkan nilai-nilai EQ akan menggunakan hatinya dalam memimpin, menjauhi qolbun maridh dan qolbun lawwamah dan mengharap qolbun sawwamah serta qolbun mutmai’nah, tidak semata-mata logika sebagaimana pendekatan IQ di atas. Penerapan EQ ini ditunjukan dengan sifat sidik (jujur), Tabligh (berani menyampaikan kebenaran), Amanah (terpercaya), dan Fatonah (berpendirian kuat) dalam memimpin.
Konon di dalam dunia pendidikan negara maju seperti Jepang, Inggris dan Amerika ada materi tambahan yang berkaitan erat dengan life skill dan leadership. Disitu aspekkejujuran, pemahaman akan individu dan masyarakat, ditambah basic technology diberikan sebagai menu sehari-hari. Namun konsep itu nampaknya masih terlepas dari nilai-nilai luhur ajaran agama, hanya sebatas pada hubungan antar sesama manusia dengan mengabaikan hubungan dengan Tuhan Pencipta Semesta Alam.
Pemimpin yang mendalami dan menerapkan nilai-nilai SQ dipadukan dengan nilai-nilai EQ, ultimate goal nya semata-mata mendapat ridha Allah SWT, dalam bentuk mengedepankan Iman, Islam dan Ihsan.
A. Terkait dengan Iman, adalah sejauhmana kesadaran hati yang menggema keseluruh ucapan dan menjelma dalam keseluruh praktek kehidupannya, serta komitmen terhadap ajaran Allah SWT dan Rasulnya dapat dilaksanakan dengan baik, sesuai dengan Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 2 :218 )
B. Terkait dengan Islam, meminta keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan
“Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS28:84)
C. Terkait dengan Ihsan, kesadaran untuk berbuat dengan indah, sadar dan mentaati ketentuan Allah SWT, sesuai dengan Firmannya. :
a. “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” (QS 2:83)
Walaupun kita tidak melihat Allah SWT tetapi Allah SWT akan melihat kita
( Al Hadist)
b. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(Al Hujuraat 13 )
c. “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”( QS 7 : 56 )
c. Berpikir aqliyah dan naqliyah
JAWABAN
Berpikir aqliyah sebenarnya berpikir secara filsafat, berdasarkan ilmu pengetahuan dan nalar kita, dimana kedudukan ilmu berdasarkan Firman Allah SWT seperti yang tertuang dalam QS 22 : 54
“ dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. “
sedangkan berpikir naqliyah berhubungan dengan konsep berpikir yang orientasinya berpikir sumber hukum yang Illahiyah ( absolute ) yaitu Al Qur’an dan As Sunnah Rasullulah SAW seperti Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali[1142]. Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata." (QS 28 : 85)
d. Contens-nya berwujud dan berisifat nilai-nilai kaoniyah dan qouliyah
JAWABAN
Konsep kaoniyah berhubungan dengan konsep berfikir kealam semestaan sebagai ciptaan Allah SWT, sedangkan konsep qouliyah berhubungan dengan konsep Qur’ani yang harus dibaca sebagai firman-firman Allah SWT.
Seseorang yang IQ nya tinggi belum tentu termasuk katagori orang yang mendayagunakan fu`ad/gerentes hate kebenaran untuk mengenal hakikat dari penciptaan langit dan bumi serta segala yang tampak. Fu`ad dengan kandungan akal, zikir dan pikir mampu mengetuk nurani untuk mengambil keputusan secara kritis, berani bertindak, dan bertanggung jawab.
Dalam mengambil sikap atau keputusan, peranan fu`ad merupakan pasukan qalbu yang paling aterdepan. Fu`ad tampil sebagai assabiqunal awwalun dari pendayagunaan potensi qalbu. Fu`ad yang berfungsi akan menyebabkan diri kita selalu terlibat dalam tanya jawab, apakah dirinya berpihak kepada kebenaran ataukah sedang berada dalam posisi yang salah.
Keseluruhan interaksi dari ketiga potensi qalbu ini kemudian akan dirangkum dalam nafs (ego) nafs inilah yang akan mengambil keputusan akhir yang akan ditindaklanjuti secara fisiologis. Hidup manusia diwarnai oleh pertarungan sengit antara malaikat dan iblis untuk memperebutkan posisi strategis di dalam nafs. Oleh karena itu semua perbuatan manusia selalu didahului pro-kontra, terutama jika perbuatan itu belum menjadi sesuatu yang lazim dilakukan oleh yang bersangkutan, kalau yang menang adalah iblis/syetan, perbuatannya sudah dapat dipastikan perbautan buruk yang akan merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Sedangkan jika yang menang adalah malaikat, maka akan terjadi sebaliknya.
Seluruh potensi qalbu harus selalu disinari cahaya illahi (Ruh kebenaran), sehingga ia akan tetap berada didalam jalan kebenaran, mengingat peranan iblis yang dengan gigih berusaha untuk memadamkan cahaya illahi dan menggantinya dengan nyala api yang bernuatan elemen-elemen rendah dan fana yang penuh dengan nafsu hewaniah, maka seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk bertanya kepada hati nurani dan menggugah hati nurani masyarakat yang dipimpinnya, sehingga dapat melaksankan berbagai kebijakan pimpinannya dengan baik. inilah inti dari pelaksanaan manajemen sialturahmi, yang mendayagunakan peran hati nurani, sehingga implementasi dari silaturahmi ini bukan hanya sekedar perbuatan lahir/fisik/jasad, tapi sudah melibatkan peran hati nurani, yang ditunjukkan dengan ketulusan untuk saling mencintai dan menyayangi sehingga timbul saling percaya, saling hormat menghormati antara pemimpin dan bawahannya.
Visi dan misinya sangat jauh kedepan karena dihasilkan dari proses memahami masa lalu (sejarah) yang sangat jauh ke belakang. Mulai dari upaya memahami penciptaan alam dan manusia sampai meyakini bahwa tujuan akhirnya tidak lain adalah akhirat. dengan demikian visinya tidak sebatas sampai akhir kehidupan dunia saja, tapi sampai pada kehidupan akhirat, dimana semua perilaku kita di dunia akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT dan kita yakin bahwa pengadilan akhirat akan kita hadapi. Oleh karena itu prinsip just do it nya adalah mengerjakan segala sesuatu dengan penuh keikhlasan karena melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai seorang pemimpin, semata-mata mengharap ridha Allah SWT, sehingga ukuran yang digunakannya bukan lagi ukuran manusia tapi sudah menggunakan ukuran Tuhan Pencipta Alam Semesta.
e. Ijtihady beserta istigfar dan du’a kepada-Nya
JAWABAN
Inherent dengan ijtihady adalah konsep berfikir mendalam yang perlu dikembangkan dengan tidak menyalahi aturan, sedangkan istigfar merujuk kepada tobat, dzikir, memohon ampun dan kesadaran diri untuk merevolusikan kesadaran yang sesadar-sadarnya kepada ketentuan Allah SWT dalam bentuk taubatan nasuha.
“dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,
(QS 30 : 31 )
“Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertaubat kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat[1170] daripada-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya,” ( QS 30 : 33 )
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: "Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka." (QS 39 : 8)